Liputan6.com, Tasikmalaya - Panorama eksotis khas pelosok, pemandangan alam yang indah, memberikan begitu banyak cerita dan kenangan, bagi yang pernah berkunjung ke area wisata Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Udaranya sejuk, dengan bangunan rumah panggung khas tahun 1950-an, seolah membawa pengunjung yang datang, kembali menjadi bagian masyarakat sunda yang hidup dulu kala. Jauh dari kesan bising, ramai dengan hiruk pikuknya kota metropolitan.
Dalam obrolan hangat dengan Liputan6.com, Ucu Suherlan (53), Ketua Himpunan Pramuwisata Kampung Naga (Himpana) bersama Endut Suganda, (51), pengurus lainnya, berbagi informasi seputar kampung buhun alias tua Kampung Naga, warisan masyarakat sunda tersebut.
Advertisement
Baca Juga
Menurut Ucu, pola hidup masyarakat adat Kampung Naga memang sudah terbangun lama warisan para leluhur mereka. Sehingga seolah tidak ada celah, bagi warga untuk melakukan kesalahan.
"Kalau orang tua kami bilang pamali ya sudah kami tidak berani melanggar," ujarnya, Sabtu (2/3/2019).
Mengenakan penutup kepala beda kelir warna, dengan ikatan Parekos Jengkol khas Kampung Naga, keduanya nampak hangat dan ceria, dalam obrolan tersebut. Sesekali nampak guyonan keluar dari mereka untuk mencairkan suasana.
"Pengunjung ke sini bukan mencari tontonan tapi tuntunan buat belajar, mengajarkan hidup kesederhanaan di alam," ujar Ucu bangga.Â
Pola kebiasanaan masyarakat yang mempertahankan kesederhanaan memang sudah terbentuk lama, warisan yang diturunkan sejak turun temurun itu, seolah menjadi aturan mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
"Begitupun para sanaga yang merupakan warga tetangga kami di sini," Endut menambahkan.
Dalam kultur masyarakat adat Kampung Naga, tatanan masyarakat dibagi menjadi dua, yakni, warga adat dan Sanaga. Pola ini sudah terbentuk lama yang merupakan kesepakatan bersama sejak lama.
Warga adat merupakan yang mendiami perkampungan Kampung Naga saat ini, sementara sanaga adalah tamu atau mereka yang masih memiliki ikatan dengan kampung Naga. "Warga sekitar kampung naga disebutnya sanaga juga," Endut menjelaskan.
Dalam prakteknya, mereka menjalani hidup rukun berdampingan, tanpa ada sekat pemisah antar status kedunya. "Yang membedakan hanya soal batas alam dan batas alam buatan, antara kampung kami dan luar," kata dia.
Bagi yang berminat menjelajahi Kampung Naga, siapkan fisik yang prima, selain lokasinya yang berada di pelosok, juga mesti melewati sekitar 444 anak tangga sepanjang hampir 500 meter dari mulai lokasi parkir kendaraan.
Namun begitu sampai di lokasi, perjuangan itu terbayar lunas, suasana lingkungan yang terbilang asri, bersih, dengan panorama indah, jauh dari kebisingan kota, bakal didapatkan selama anda di sana. "Benar-benar suasana yang masih asri," gumamku dalam benak fikiran.
Topografi Kampung Naga
Secara garis besar, topografi tanah di Kampung Naga berupa perbukitan dengan kondisi tanah subur. Di area seluas 1,5 hektar itu, sebagian besar digunakan untuk pemukiman warga adat, pekarangan, kolam, serta lahan pesawahan yang ditanami padi dan dipanen dua kali dalam setahun.
Beberapa hasil alam yang dihasilkan warga Kampung Naga adalah padi, pisang, dan sejumlah ikan hasil kolam warga. Sedangkan hasil olah tangan kerajinan, antara lain hihid (Kipas dari bambu), boboko, tolombong, aseupan, tempat tisu, hiasan lampu, tempat sampah. "Semuanya berbahan bambu," ujar Endut.
Bagi anda penguna telekomunikasi dan alat hiburan, jangan harap mendengar alunan musik selama liburan di sana, akibat tidak adanya pasokan listrik. Buat mereka aliran listrik memang tabu, sebagai ikhtiar mempertahankan tradisi masyarakat.
Sehingga kehadiran aliran musik, dikhawatirkan mengganggu kelestarian budaya masyarakat Kampung Naga. "Kalau listrik masuk kami dikhawatirkan kemajuan teknologi, komunikasi tidak bisa kami hindari lagi," ujarnya.
Khusus bidang seni budaya, masyarakat Kampung Naga memiliki kesenian tersendiri yang diwariskan sejak lama, sebut saja terbangan jenis gembrung dan sajak, angklung, beluk, dan rengkong. "Sebagian besar isinya terbangan yakni sholawat dan pelajaran hidup," kata dia.
Namun khusus kedua kesenian terakhir disebut, hingga kini sudah jarang dipentaskan khususnya generasi muda, paska pembakaran 1956 silam. "Kami semua pereumeun obor (kehilangan jejak)," ujar Ucu menambahkan.
Namun bagi warga yang menyenangi kesenian warisan masyarakat sunda lain, seperti wayang golek, tari jaipongan, degung dan lainnya, masih tetap bisa dinikmati asal jangan dilakukan di area kawasan pemukiman adat Kampung Naga.
"Kalau diluar silahkan kami tidak melarang, tetapi jika di dalam mohon maaf (dilarang)," ujarnya mengingatkan.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement