Sukses

Budaya Menghormati Harimau dari Aceh Hingga Bengkulu

Harimau sejak dulu telah hidup berdampingan dengan manusia.

Liputan6.com, Aceh - Harimau sejak dulu telah hidup berdampingan dengan manusia. Peter Boomgaard, dalam bukunya Frontiers of Fear: Tigers and People in the Malay World, 1600 -1950, menceritakan bagaimana harimau menjadi teman manusia sejak 1600-an dalam kehidupan.

Di Kepulauan Sumatera, terdapat kelompok masyarakat yang hidup berdampingan dengan harimau. Mereka juga menghormati satwa tersebut layaknya nenek moyang. Suasana damai itu telah menjadi bagian dalam kehidupan di masyarakat Aceh, Kerinci, Sumatera Utara, Minangkabau, dan Bengkulu.

Adat, kepercayaan, serta cerita penuh moral tentang harimau disampaikan secara turun- temurun sehingga sampai saat ini beberapa kelompok masyarakat di Sumatera masih menghormatinya.

Aceh

Masyarakat Aceh menghomati harimau atau biasa disebut rimueng, karena memiliki nilai-nilai mistis seperti yang ditulis oleh penulis asal Belanda Henri Carel Zentgraff dalam bukunya yang berjudul “Atjeh”.

Zentgraaff menuliskan tentang harimau hitam dan harimau putih sebagai penjaga makam tokoh-tokoh yang diyakini keramat. Dalam bukunya, diceritakan makam milik Teuku Cot Bada di daerah Pidie yang sesekali didatangi oleh rimueng menjelang maghrib.

Kerinci

Penghormatan harimau menjadi bagian dari budaya masyarakat Kerinci. Mereka percaya bahwa ketika sopan saat memasuki hutan, maka sang rimau -panggilan harimau di Kerinci- tidak menganggu. Saat ditemukan harimau mati, mereka akan menggelar tarian yang disebut “Ngagah Harimau”.

Tarian ini memiliki arti: “menghibur roh harimau” dan dipentaskan sebagai kegiatan ritual agar harimau dan masyarakat tetap damai tiada konflik.

Mitos Cindaku si manusia harimau juga menyebabkan masyarakat enggan memburu rimau. Menurut kepercayaan, Cindaku adalah manusia yang dapat berubah wujud menjadi manusia setengah harimau yang berdiri tegak seperti layaknya manusia.

Sumatera Utara

Di Sumatera Utara, harimau dihormati sehingga dipanggil Ompung yang berarti kakek dalam Bahasa Batak. Sebutan ini merupakan tanda hormat untuk orang yang dituakan. “Babiat Sitelpang” juga menjadi legenda bagi orang Batak. Babiat Sitelpang adalah harimau pincang yang menjaga ibu serta seorang anak yang diasingkan di dalam hutan.

Legenda tersebut mempengaruhi perilaku masyarakat Sumatera Utara, sehingga saat memasuki hutan atau membuka ladang, mereka akan meminta izin terlebih dahulu kepada Babiat Sitelpang sebagai penguasa hutan.

Sedangkan menurut kepercayaan masyarakat Batak Mandailing, ketika mereka melihat harimau masuk ke dalam kampung berarti ada warga yang telah berbuat dosa.

Minangkabau

Harimau dihormati oleh masyarakat Minangkabau sehingga hewan itu dipanggil Datuak atau Inyiak. Datuak kemudian menjadi inspirasi aliran ilmu bela diri yaitu silek (silat) harimau. Bela diri ini menggunakan senjata yang disebut “kurambik”, pisau kecil seperti cakar harimau. Ada pula mitos yang mengatakan bahwa pesilat yang menguasai aliran ini dapat berubah wujud menjadi harimau.

Bengkulu

Masyarakat Bengkulu memiliki kepercayaan ketika harimau jelmaan menampakkan diri, berarti kondisi masyarakat sedang kurang baik. Mereka pun percaya ketika harimau memakan hewan ternak, secara langsung hal tersebut merupakan bentuk peringatan bagi warga setempat.

Saksikan video pilihan berikut ini: