Liputan6.com, Jakarta - Pulau Waigeo, Misool, Batanta, Kofiau dan Salawati merupakan bagian dari Kabupaten Raja Ampat yang memiliki habitat terestrial berbagai flora dan fauna endemik. Raja Ampat memiliki luasan yang mencangkup darat dan laut sebesar 46.108 km persegi dengan jumlah pulau sebanyak 2.713.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Barat dan organisasi Fauna & Flora International – Indonesia Programme (FFI-IP), keanekaragaman hayati di Pulau Waigeo, Batanta, Salawati, Misool, serta Kofiau berupa 186 jenis burung, 40 jenis amfibi, 13 jenis reptil, 32 jenis mamalia, 350 jenis pohon kayu dan palem, 57 jenis anggrek, dan 5 jenis kantong semar.
Menurut Kepala Balai Besar KSDA Papua Barat R. Basar Manullang, masih ada fauna dan flora endemik yang perlu diteliti. Sebut saja burung cendrawasih botak (Cicinnurus republica), cendrawasih merah (Paradisea rubra), maleo waigeo (Aepypodius bruijinii), kuskus waigeo (Spilocuscus papuensis), serta anggrek Dendrobium azureum.
Advertisement
Baca Juga
"Keberadaan flora dan fauna endemik tersebut menjadikan Kabupaten Raja Ampat sebagai kawasan prioritas dalam mendukung konservasi. Namun, penebangan liar dan perburuan untuk jual-beli hingga konsumsi rumah tangga masih kerap ditemukan di berbagai wilayah," jelas Basar.
Jenis burung yang sering diburu yaitu jenis kakatua koki (Cacatua galerita), kasturi kepala hitam (Lorius lory) dan nuri bayan (Eclectus roratus). Ancaman pada jenis penyu yaitu konsumsi telur dan daging sebagai bahan makanan dalam keluarga atau acara peringatan di kampung.
Setelah menjadi kabupaten pada 2003, Raja Ampat terus mengalami perkembangan pembangunan. Pertambahan infrastuktur dan pembangunan fasilitas dasar kebutuhan masyarakat dipacu untuk mengejar ketertinggalan. Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Raja Ampat Abdul Rahman Wairoy, pariwisata menjadi salah satu sektor dalam pembangunan ekonomi Raja Ampat. Keindahan alam bawah laut dan daratan sudah menjadi pariwisata yang terkenal di mancanegara.
"Data dan hasil kajian yang telah dilakukan oleh BBKSDA dan FFI-IP dapat dijadikan referensi dasar untuk perencanaan pembangunan, penataan ruang dan pengembangan ekowisata berkelanjutan dengan tetap menjaga alam sekitar di Kabupaten Raja Ampat," jelas Abdul.
Sebagai upaya meneruskan pembangunan serta tanggungjawab dalam menjaga kekayaan alam Raja Ampat, telah diadakan lokakarya yang berjudul “Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan di Kabupaten Raja Ampat” pada 5-6 Maret 2019 di Gedung Dolphin Cottage, Waisai, Kabupaten Raja Ampat. Lokakarya ini merupakan hasil kerjasama antara Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Raja Ampat, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Barat, dan Fauna & Flora International – Indonesia Programme (FFI-IP).
Peserta lokakarya terdiri dari Fraksi Otonomi Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat (Otsus DPR PB), DPRD Kabupaten Raja Ampat, masyarakat adat, dinas-pemerintahan di Kabupaten Raja Ampat dan lembaga swadaya masyarakat.
Menurut Direktur Pemolaan dan Informasi Konservasi Alam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Listya Kusumawardhani, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengapresiasi kegiatan konservasi di Raja Ampat.
Ia mengingatkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi, khususnya cagar alam dapat berupa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan lingkungan dan konservasi, perdagangan karbon, dan mendukung wisata alam terbatas dengan memperhatikan kaidah konservasi.
“Upaya konservasi harus berkolaborasi multipihak dengan landasan mutual respect, mutual trust dan mutual benefit, sehingga tercipta sinergi dalam pelestarian alam juga untuk kesejahteraan masayarakat setempat,” jelas Listya dalam presentasinya.
Anggota Otsus DPR PB Abraham Goram Gaman menekankan tentang amanah dalam UU No 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan Papua Barat. “Pembangunan di Papua dan Papua Barat dilakukan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian lingkungan, manfaat, dan keadilan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah,” paparnya.
Terkait sumber daya alam Raja Ampat, permasalahan dirasakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat adat Suku Maya yang menggunakan sumber alam secara langsung. Menurut Dewan Adat Suku Maya Raja Ampat Kris Thebu, filosofi masyarakat adat Papua terhadap sumber daya alam yaitu memandang “tanah sebagai mama, laut sebagai bapak, dan pesisir sebagai anak”, sehingga tanah, laut, dan pesisir merupakan satu konektifitas yang perlu dilindungi, dilestarikan serta dikelola secara arif dan bijaksana.
“Saat ini banyak kerusakan di Raja Ampat. Sebut saja belum maksimalnya hukum yang mengatur mengenai aturan bagaimana melindungi hutan. Masih banyaknya penangkapan secara berlebihan yang bisa berakibat jenis ikan terancam, masih diberikannya ijin operasi tambang terbuka hingga perizinan konsesi hutan. Ada masyarakat kampung dan orang luar yang tidak mengerti bahwa daerah lindung perlu dijaga,” jelas Kris.
Untuk menyeimbangkan antara pembangunan dan konservasi alam Raja Ampat, maka dibuatlah rekomendasi yang disusun bersama Otsus DPR PB, DPRD Kabupaten Raja Ampat, Kepala Bappeda Raja Ampat, Dinas Pariwisata, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Barat, Ketua Adat Suku Maya, dan Fauna & Flora International – Indonesia Programme.
Rekomendasi untuk Raja Ampat
Enam rekomendasi dan rencana tindak lanjut lokakarya, meliputi:
1.Tata Ruang berupa revisi Tata Ruang dan Perencanaan Pembangunan yang mendukung pengembangan Raja Ampat menjadi sektor utama pariwisata dan perikanan kelautan berbasis masyarakat dan melibatkan masyarakat adat, Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi.
2.Kelembagaan & Kebijakan Otonomi Khusus berupa percepatan kebijakan Peraturan Daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, peta wilayah adat dan pembangunan berkelanjutan, serta dibentuknya kelembagaan yang kuat dan efektif seperti Peraturan daerah Otonomi Khusus (Perdasus) Masyarakat Adat dan Konservasi yang mengatur pengakuan dan memperkuat masyarakat adat, termasuk peran pengawasan dalam pelaksanaan program, dan penyaluran dana ke kampung;
3.Prioritas Pembangunan Berkelanjutan dengan mempertegas peran masyarakat adat sebagai pelaku utama pembangunan ekonomi melalui percepatan pemenuhan layanan publik dasar dan prasarana dasar serta pengaturan penerimaan pendapatan asli daerah dan bea masuk agar dapat meningkatkan perbaikan pelayanan publik dan lingkungan.
Di tingkat tapak, diperlukan upaya untuk menyelesaikan status penyangga terkait dengan lokasi-lokasi wisata yang sudah berjalan dan upaya untuk mengakses skema Pemindahan Fiskal Ekologis atau Ecologycal Fiscal Transfer (EFT) untuk skala nasional.
4. Alih Fungsi Kawasan untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Masyarakat Adat berupa usulan dibentuknya Taman Nasional yang dapat digunakan untuk pengembangan pariwisata berbasis masyarakat; pembentukan tim perencanaan ruang dan pembangunan yang berkelanjutan serta usulan perubahan fungsi Cagar Alam menjadi Taman Nasional;
5. Penguatan Monitoring Dampak dan Potensi Keanekaragaman Hayati Raja Ampat berupa monitoring terkait Lingkungan Hidup Raja Ampat berupa darat dan laut karena menjadi pendukung utama keberlanjutan Pariwisata dan Kelautan/Perikanan, serta keselamatan masyarakat asli Papua; pelaksanaan sistem monitoring mengikuti kaidah yang telah berlaku berdasarkan undang-undang; peningkatan kapasitas para pihak dalam monitoring dampak dan potensi keanekaragaman hayati Raja Ampat; peningkatan monitoring resiko bencana terhadap alam dan masyarakat.
6.Cagar Biosfer yang diharapkan akan membangun kepercayaan dunia untuk pengembangan pariwisata biosfer. Sebagai langkah awal melalui pembentukan Tim Usulan Cagar Biosfer yang akan didukung Tim Nasional Man and Biosphere (MAB) Indonesia.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement