Liputan6.com, Bandung - Mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengakui pernah bertemu dengan CEO Lippo Group, James Riady. Selain James, pria yang akrab disapa Aher itu juga pernah bertemu dengan Bupati Bekasi non-aktif, Neneng Hasanah Yasin.
Aher mengungkapkan hal itu dalam sidang lanjutan kasus suap perizinan proyek Meikarta, dengan terdakwa Bupati Neneng di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung, Rabu, 20 Maret 2019.
Persidangan dipimpin ketua majelis hakim Tardi, hakim anggota Judijanto Hadilesmana dan Lindawati.
Advertisement
Awalnya, Aher dicecar hakim Lindawati soal pertemuan dengan pihak Lippo untuk membahas proyek Meikarta. Aher kemudian menjawab tidak pernah.
Baca Juga
Hakim pun kembali meyakinkan maksud pertanyaannya dengan menanyakan tentang petinggi Lippo Group. Aher pun menjawab James Riady.
"Pernah ketemu dengan James Riady?" tanya hakim.
Aher pun mengaku pernah bertemu dengan James Riady di acara pernikahan putri Joko Widodo di Kota Solo, Jawa Tengah.
Dalam pertemuan tersebut, Aher menjelaskan, dirinya sempat berbincang dengan James terkait proyek Meikarta. Namun, perbincangan itu tidak merinci pembangunan hunian di kawasan Bekasi tersebut.
"Hanya bincang-bincang menyinggung [Meikarta]. Saya sampaikan, diproses sesuai aturan saja," kata Aher.
Selanjutnya, Aher dicecar hakim terkait pertemuan Aher dengan terdakwa Bupati Neneng. Hakim meminta Aher menjelaskan soal pertemuan tersebut.
Aher mengatakan, pertemuan dengan Bupati Neneng terjadi secara kebetulan. Saat itu, kedatangannya ke Moskow atas undangan Kementerian Perindustrian terkait perhelatan bisnis ekonomi di kota itu. Aher juga mengaku tidak tahu bila Neneng turut diundang.
"Pertemuan di Moskow itu kebetulan. Artinya tidak ada agenda pertemuan dengan Neneng. Kami bertemu di hotel di Moskow saat sarapan pagi," tuturnya.
Hakim lalu bertanya, apakah dalam pertemuan secara kebetulan itu dibahas soal Meikarta.
"Bu Neneng yang membuka. Waktu itu juga saya sampaikan, urus [perizinan Meikarta] sesuai prosedur dan aturan yang berlaku," ujar Aher.
Neneng pun sebenarnya sudah pernah mengungkap pertemuannya dengan Aher itu. Neneng mengakui berbincang dengan Aher soal Peraturan Daerah (Perda) Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan di Jabar. Saat itu Neneng mengaku bertanya kepada Aher soal rekomendasi tersebut.
"Pas di Moskow saya tanya aplikasi implementasi rekomendasi ini batasnya bagaimana dan beliau tidak bisa menjawab. Dia malah bilang banyak banget iklannya [Meikarta]," aku Neneng.
Tak Tahu Soal IPPT
Dalam sidang, Aher mengatakan, pihaknya mengeluarkan rekomendasi berupa keputusan gubernur (Kepgub) untuk membahas perizinan proyek Meikarta.
Rekomendasi itu ditujukan ke Dinas Perizinan dan Penanaman Modal Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Jabar dan Badan Koordinasi Pemanfaatan Ruang Daerah (BKPRD) Jabar yang diketuai oleh Deddy Mizwar.
Dalam sidang, hakim Lindawati menanyakan kepada Aher, apakah saat mengeluarkan rekomendasi itu ia tahu soal Izin Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IPPT) telah diterbitkan oleh Bupati Neneng.
Aher pun menjawab tidak tahu. "Itu kan kewenangan daerah [Pemkab Bekasi]," kata Aher.
"Loh kenapa Bapak tidak menegur? Di dalam Perda Nomor 12/2014, Bapak punya kewenangan. Kenapa bapak tidak tanya ke Bu Neneng yang telah mengeluarkan IPPT tanpa rekomendasi?," tanya hakim.
Aher pun menjawab, "Ya, saya tidak detail," ujarnya.
"Ya sudah, kami tidak memaksa. Yang pasti, bapak tidak menegur dan tidak menginstruksi untuk mencabut IPPT. Itu nanti jadi pertimbangan kami terhadap terdakwa [Neneng]," ujar hakim.
Seperti diketahui, jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Bupati Neneng bersama empat pejabat Pemkab Bekasi menerima suap terkait perizinan proyek Meikarta. Total suap yang disebut dalam dakwaan adalah Rp16,182 miliar dan SGD270 ribu.
Rinciannya, Neneng Hasanah Yasin menerima Rp 10.830.000.000 (Rp10,8 miliar) dan SGD90 ribu; Jamaludin sebagai Kepala Dinas PUPR Pemkab Bekasi Rp1,2 miliar; Dewi Tisnawati sebagai Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) Pemkab Bekasi Rp1 miliar dan SGD 90 ribu; Sahat Maju Banjarnahor sebagai Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Pemkab Bekasi Rp952.020.000 (Rp952 juta); dan Neneng Rahmi Nurlaili selaku Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Pemkab Bekasi menerima Rp700 juta.
Neneng dan empat anak buahnya didakwa melanggar Pasal 12 huruf a dan/atau Pasal 12 huruf b dan/atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Â
Simak video pilhan berikut ini:
Advertisement