Liputan6.com, Jakarta Mari berbincang tentang puisi tradisional. Puisi yang dilantunkan melalui lagu, sebagai sebuah pesan kearifan lokal.
Suku Pakpak punya kebudayaan unik berupa nyanyian khas bernama odong-odong. Namun, jangan salah paham dulu. Ini bukan odong-odong yang biasa memutari perkampungan dan jadi hiburan anak-anak, melainkan tradisi lokal yang memiliki makna sangat dalam.
Pakpak merupakan suku bangsa yang terdapat di Pulau Sumatera. Orang Pakpak tersebar di beberapa kabupaten atau kota di Sumatera Utara dan Aceh, yaitu di Kabupaten Pakpak Bharat, Dairi, Humbang Hasundutan, Tapanuli Tengah yang masuk dalam Provinsi Sumatera Utara serta Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulsalam (Provinsi Aceh).
Advertisement
Baca Juga
Bambang Sunarjo Banurea, Kepala Dinas Pariwisata Pakpak Bharat, mengatakan secara umum masyarakat luas mengenal suku Pakpak sebagai bagian dari suku Batak. Meski demikian, menurut dia, sekarang ada semangat menguatkan identitas diri bahwa Pakpak bukan Batak.
"Sebab, kalau suku Batak itu kan yang berdiam di sekitar Danau Toba," ucapnya beberapa waktu lalu.
Bambang menjelaskan, suku Pakpak memiliki nyanyian khusus untuk mengungkapkan perasaan, menggambarkan kehidupan dari kehidupan penyanyi, dan pengantar tidur anak-anak. Adapun odong-odong merupakan nyanyian khas yang mirip tembang dan berisi perasaan si penyanyi, terasa melankolis dan sangat puitis kala dinyanyikan.
Suara si penembang odong-odong naik turun, berdinamika, dan cukup memainkan perasaan yang mendengarkan. Bambang menjelaskan, banyak lagu Pakpak yang merupakan adaptasi dari odong-odong, yaitu lagu bernada minor dengan lirik yang lazimnya menggambarkan sesuatu yang romantis.
Jelas, lagu-lagu itu adalah sastra lisan atau puisi lisan.
Simak video baca puisi seniman Semarang berikut ini:
Pelestarian
Awalnya, odong-odong adalah sebuah nyanyian ratapan dari seorang pengambil getah kemenyan di hutan belantara. Seorang pengambil kemenyan seringkali pergi berhari-hari masuk ke dalam hutan. Mereka melakukan pekerjaannya dengan pola dan cara yang sama. Seperti orang menginap, para pengambil kemenyan perlu diberangkatkan oleh keluarga, dilengkapi dengan segala kebutuhan sehari-hari untuk tinggal di hutan, termasuk golok dan alat untuk mencongkel getah kemenyan.
Odong-odong selalu dinyanyikan di tempat sunyi, di tempat hutan rimba kayu. Saat berada di atas pohon kemenyan, si penyanyi menumpahkan semua kerinduan dan harapan yang mengalir di nadinya.
"Barangkali karena sendirian dan dalam jangka waktu lama di tempat sunyi, para pengambil kemenyan menumpahkan semua kerinduan melalui nyanyian," ucap Bambang yang juga orang Pakpak asli.
Bambang lalu bernyanyi. Dia menyanyikan nyanyian odong-odong sebagai contoh.
"Otong kabang mi urang julu ko lebbe manuk-manuk, pesoh mo giam teddoh mi ate mendahi si buyung I tengah rambah en ngo bapa merkemenjen, giam burju-burju ia mersikola, bang mu juma mengengani inangna. Odong… odong…odongggg.”
Syair itu bermakna, ‘terbang ke urang julu (ke daerah hulu) lah kau terbang, sampaikan rindu hati ke si buyung (anak) bapaknya di tengah hutan mencari kemenyan, mudah-mudahan dia baik-baik ke sekolah atau ke ladang menemani ibunya. Odong…odong…odongggg.’
Sebagai salah satu kearifan lokal, odong-odong kini dapat perhatian serius dari pemerintah daerah. Selain mempertahankan originalitasnya, kesenian odong-odong mulai diperkenalkan ke sekolah-sekolah melalui pelajaran muatan lokal.
Ada pula festival kegiatan kebudayaan yang dilaksanakan setiap tahun, seperti Festival Njuah-Njuah di Kabupaten Dairi. Juga ada pembuatan film dokumenter tentang kesenian odong-odong yang melibatkan komunitas setempat. Bambang pun berharap, dengan adanya inovasi-inovasi baru dalam cara dan pagelaran budaya, semakin banyak anak muda yang mau menjaga kelestarian budaya setempat.
Advertisement