Sukses

Susah Payah D Zawawi Imron Menulis Puisi 'Ibu'

Menulis puisi yang bagus itu susah, tapi berkesan saat dibaca. Dan puisi yang yang buruk itu mudah menulisnya, tapi tak berkesan saat dibaca.

Liputan6.com, Sumenep Sejak puisi pertamanya berhasil menembus redaksi Harian Bhirawa pada 1976, penyair D. Zawawi Imron, sampai kini telah menerbitkan 15 antologi puisi. Semerbak Mayang yang terbit pada 1977 adalah antologi puisi pertamanya.

Pria kelahiran Madura pada 1943 ini termasuk penyair produktif. Setelah Semerbak Mayang, nyaris tiap tahun Zawawi menerbitkan kumpulan sajak: Madura Akulah Darahmu (1978), Dusun Siwalan (1979), Celurit Emas (1980), Bulan Tertusuk Ilalang (1982), Nenek Moyangku Airmata (1985), Derap-derap Tasbih (1993) dan Berlayar di Pamor Badik (1994). 

Namun, bagi Zawawi puncak produktivitas dalam menulis terjadi saat didapuk menjadi penyair tamu di rumah puisi milik penyair Taufik Ismail. Selama dua bulan, antara Desember 2008 hingga Januari 2009, dia menulis 110 sajak saat bermukim di Aie Angek, Tanah Datar, Sumatera Barat, bersama Novelis Ahmad Tohari. Hasilnya kemudian dibukukan pada 2013 dengan judul: Mengeja Bukit, Mengaji Danau.

"Saya merasa ada puisi dalam setiap peristiwa," ujarnya dalam sebuah bincang santai di rumahnya Desa Batang-batang Laok, sebelah utara Kabupaten Sumenep, beberapa waktu silam.

Tentu Zawawi juga mengalami masa surut dalam menulis. Pernah berbulan-bulan tak satu puisi pun ditulisnya. Dia mengalami itu, ketika menerbitkan Berlayar di Pamor Badik pada 1994 sepulang dari Kota Makassar. Berbulan-bulan setelahnya tak satu puisi pun berhasil ditulisnya. Hingga kini, Zawawi mengaku tak tahu penyebab dia stuck dalam berpuisi saat itu.

Setelah lama vakum, dia baru menulis lagi setelah membaca sayembara menulis puisi dalam rangka HUT RI yang diadakan ANTV pada 1995. "Dialog Bukit Kamboja", judul puisi yang ditulis Zawawi untuk lomba itu menjadi pemenang pertama. "Hadiahnya 7,5 juta," kenang dia.

Bertahun-tahun setelahnya, sajak itu menjadi sangat identik dengan sosok Zawawi juga tentu puisi 'ibu' yang fenomenal itu. Di Madura, bila ada lomba baca puisi dalam rangka HUT kemerdekaan atau memeringati hari ibu. Puisi 'dialog bukit Kamboja' dan sajak 'ibu' jadi bacaan wajib peserta.

 

2 dari 2 halaman

Proses Berdarah-darah

Kenapa dua sajak itu bisa jadi menjadi identitas melekat pada sosok Zawawi. Mungkin yang menbedakan dengan puisi lainnya adalah proses pembuatannya lebih rumit, lebih menguras tenaga dan pikiran penulisnya.

Zawawi mengenang ia bersusah payah menulis "Dialog Bukit Kamboja" padahal telah membaca pengumuman sayembara lomba di ANTV itu tiga bulan sebelum batas akhir pengiriman naskah. Namun, selama itu tak satu baris pun puisi ditulisnya. Sajak itu baru rampung dua pekan sebelum batas akhir pengiriman.

Setelah jadi pun, Zawawi harus merampingkan puisi itu karena syarat lomba membatasi panjang puisi hanya 50 baris. Ia pun 'killing the darling' 30 baris puisinya agar sesuai syarat. Dan mungkin di situlah kelebihan Zawawi. Ia bisa jadi penulis sekaligus editor yang kejam pada naskahnya sendiri. Sehingga "Dialog Bukit Kamboja" berhak atas hadiah Rp 7,5 juta.

Perjuangan menulis sajak "Ibu" pun tak kalah melelahkan bagi Zawawi. Inspirasinya muncul didorong rasa rindu pada sang ibu ketika dia merantau ke Banyuwangi pada 1964. Namun, puisi itu baru rampung justru setelah dia kembali Madura dan berkumpul lagi dengan ibunya.

"Berbulan-bulan puisi "Ibu" tidak rampung, karena saya kehabisan kata untuk melukiskan kasih sayangnya," katanya dengan nada puitis.

Maka benarlah ungkapan bahwa menulis puisi yang bagus itu susah, tapi berkesan saat dibaca. Dan puisi yang yang buruk itu mudah ditulisnya, tak berkesan saat dibaca.

Dan Zawawi punya versinya sendiri. Dari 15 kumpulan sajaknya, "Bulan Tertusuk Ilalang" dianggap sebagai antologi terbaik. Namun dia heran, karena buku itu tak pernah memenangkan penghargaan apa pun. Malah buku Nenek Moyangku Air Mata dan Celurit Emas yang sering dapat penghargaan.

Namun, Zawawi merasa bangga ketika Bulan Tertusuk Ilalang mengilhami sutradara Garin Nugroho membuat film dengan judul yang sama.

"Saya sadar, penilaian saya akan buku itu tidak akademis, jadi biarlah buku mana saja yang dianggap bagus oleh orang lain," ungkap dia.

Simak video pilihan berikut: