Liputan6.com, Semarang - Semarang sering dianggap sebagai kota yang tak ramah terhadap dinamika seni budaya, khususnya sastra. Padahal, dari kota ini lahir sastrawan sekelas NH Dini, Triyanto Triwikromo, Eko Tunas, dan Darmanto Jatman. Puisi-puisi dan cerpen dahsyat lahir dari rahim kreativitas mereka.
Khusus untuk peta puisi, Semarang juga sangat unik. Handry TM, Ketua Dewan Kesenian Semarang yang juga seorang penyair, novelis, dan cerpenis, menilai bahwa untuk bersastra yang mampu menembus kutub yang disebut pusat, penyair tak hanya butuh kemampuan teknis.
"Karya bagus, semangat tinggi, tapi tak memiliki jaringan, hampir pasti akan tenggelam. Berapa banyak anak-anak muda potensial asal Semarang yang tak sempat lahir karena minimnya jaringan," kata Handry di rumahnya.
Advertisement
Baca Juga
Handry TM mengaku merasakan hal itu. Sejak muda ia sudah mendapat berbagai gelar dan pengakuan secara nasional. Gelar penulis novelet terbaik majalah Gadis pernah ia raih. Sahabat dekatnya, almarhum Agoes Dhewa, juga pernah mendapat pengakuan dari paus sastra Indonesia saat itu, HB Jassin, sebagai penyair muda paling berbakat.
Karena tinggal di Semarang dan menerbitkan karya-karyanya justru secara indie, Handry maupun Agoes Dhewa dianggap banyak kalangan kurang bergaung. Penyair terakhir yang mampu menembus dominasi jaringan ibu kota adalah Triyanto Triwikromo.
Tentang tren puisi, Handry mengaku bahwa ia memang menjaga jarak dari semua pro dan kontra yang terjadi seputar puisi. Sejak lama Handry memang dikenal sosok yang tertutup dan tak pernah terlibat konflik secara karya dengan siapa pun.
"Kalau konflik yang sifatnya pribadi, tak ada hubungan dengan puisi, sastra, atau bahkan seni, saya kira semua orang pernah mengalami. Mungkin saya ini termasuk sosok yang penakut jika berkonflik," katanya.
Â
Melahirkan Banyak Seniman Besar
Agak berbeda dengan Handry TM, penyair alumni Persada Study Klub (PSK) asuhan Umbu Landu Paranggi, Eko Tunas, menyebutkan bahwa Semarang sesungguhnya memiliki potensi dahsyat. Banyak karya-karya hebat yang lahir dari Kota Semarang.
"Ketika mereka berekspresi di luar Semarang, akan sangat meledak. Meskipun di Semarang sebenarnya tergolong biasa saja," kata Eko.
Eko Tunas bersama Emha Ainun Nadjib dan Ebiet G Ade dan EH Kartanegara adalah empat serangkai yang sangat diperhitungkan dalam dunia perpuisian. Ebiet memilih melantunkan puisi-puisinya menjadi sebuah lagu. Itu sebabnya Ebiet pernah menolak disebut penyanyi dan merasa nyaman disebut penyair.
Apa yang disampaikan Eko Tunas memang sangat benar. Semarang melahirkan banyak seniman-seniman hebat. Tak terkecuali penyair.
Ganug Nugroho Adi, seorang penulis budaya yang bermukim di Solo menilai, apa yang disampaikan Eko Tunas benar. Namun, orang-orang hebat di Semarang ini besar dan tak memberi pengaruh signifikan dalam peta perpuisian nasional.
"Triyanto itu mampu menembus jaringan nasional karena pertemanannya sendiri, bukan karena Semarang memiliki kekhususan. Ini bisa dimengerti karena Semarang tak punya sejarah panjang dalam proses para penyairnya yang sudah menasional," kata Ganug.
Ganug mencontohkan bahwa almarhum Darmanto Jatman ketika berada di Semarang ia sudah selesai dalam berproses. Eko Tunas juga sudah selesai ketika berproses di Yogya bersama Emha Ainun Nadjib dan lainnya.
Ganug lalu mencontohkan iklim di Yogya. Teater Gandrik dinilai Ganug menjadi laboratorium banyak penulis. Ketika Heru Kesawa Murti meninggal, mereka masih memiliki Indra Tranggono, kemudian lahir Agus Noor.
"Di Semarang itu ada penggemar puisi, ada juga penulis puisi. Mereka saling mendukung. tapi itu hanya cukup untuk Semarang, dari jaringan nyaris tak ada yang mencoba membangun jaringan," kata Ganug.
Â
Simak video menarik berikut :
Â
Advertisement
Puisi Sudah Jadi Milik Publik
Berbeda dengan Ganug dan Handry TM, Triyanto Triwikromo yang namanya masuk sebagai salah satu penyair angkatan 2000 menyebutkan bahwa saat ini di Semarang, puisi sudah menjadi milik publik. Siapa pun bisa menjadi penyair atau membuat puisi dan dikenal sebagai penyair, sesempit apa pun cakupannya.
"Banyak acara-acara baca puisi di komunitas-komunitas itu menunjukkan bahwa puisi memang sudah menjadi milik publik. Kalau dulu Chairil Anwar berujar, 'Yang bukan penyair tidak ambil bagian', nah sekarang semua bisa ambil bagian," kata Triyanto.
Triyanto sendiri masuk lima besar penerima anugerah Kusala Sastra Katulistiwa 2014-2015. Ia juga mendapat anugerah Tokoh Seni Pilihan Tempo 2015 (Sastra-Puisi) setelah menulis Kematian Kecil Kartosoewirjo. Dia diganjar Penghargaan Sastra 2009 Pusat Bahasa untuk buku kumpulan cerpen Ular di Mangkuk Nabi. Adapun Surga Sungsang (buku cerita terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2014) masuk lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2013-2014.
"Tapi untuk menjadi penyair yang benar-benar penyair memang akan melalui seleksi alam. Tentunya intensitas, proses berkarya, juga konsistensi sangat berpengaruh. Dulu di Semarang kalau ada kata kunci puisi, orang akan ingat Timur Sinar Suprabana, Djawahir Muhammad, Untung Surendro, Beno Siang Pamungkas, Basa Basuki, Agus Dhewa dan lain-lain. Nah, sekarang kata kunci puisi bisa menjadi milik siapa saja," katanya.
Kemudahan mendokumentasikan karya menjadi pintu yang mempermudah penerbitan buku. Ini berbeda dengan jaman dulu yang untuk menerbitkan buku atau mendokumentasikan karyanya dan mempublikasikannya sangat sulit dan butuh saringan.
Lalu di mana letak puisi dan sastra Semarang dalam sastra Indonesia? Bukankah ada Handry TM yang karyanya sudah diakui hingga ASEAN? Ada Timur Sinar Suprabana yang sangat elok membacakan puisi-puisinya? Ada Beno Siang Pamungkas yang menjadi pentolan Revitalisasi Sastra Pedalaman bersama Wijang Warek Al Mauti, Kusprihyanto Namma, Triyanto Triwikromo?
Ya. Barangkali tak perlu mempersoalkan letak puisi dan sastra Semarang. Sebaiknya karya-karya sastra dari Semarang diapresiasi secara intens agar bisa menjadi ciri dan identitas tersendiri. Itu pun tak harus.