Sukses

Dongeng Amad Rahmayang si Anak Durhaka dari Aceh

Amad Rahmayang segera menepis tangan Mak Minah yang hendak merangkulnya. Matanya mendelik kepada para pengawal-pengawalnya.

Liputan6.com, Aceh - Perempuan itu masih berdiri di tepi dermaga sambil memandang ke arah kapal berlalu. Hingga senja kembali ke tetirah, barulah perempuan itu beranjak pulang.

Hati Mak Minah sebenarnya hancur lebur. Betapa tidak, Amad Rahmayang, anak semata wayangnya, satu-satunya keluarga yang dia miliki, pergi saat usia Mak Minah sudah senja.

Hingga menjelang tengah malam, Mak Minah tak beringsut dari atas dipan di depan gubuknya yang reyot. Ia masih bersedih selepas ditinggal merantau oleh anaknya.

Rindunya mewujud dalam nyanyian pengantar tidur yang sering ia lantunkan buat Amad Rahmayang, saat anaknya itu masih kecil. Di tengah alunan lagu itu, pikirannya menerawang, mengingat permintaan anaknya pada sore yang masih tergiang di telinganya.

"Sekuat itukah keinginanmu untuk merantau hingga kau tega meninggalkan makmu ini dalam kepapaan?" ucap Mak Minah kala Amad Rahmayang mengutarakan niatnya untuk merantau.

"Mak, bukan begitu..." Amad Rahmayang menatap wajah Mak Minah dengan penuh kelembutan menampakkan betapa pertalian cinta antara ibu dan anak itu begitu kuat.

"Anak mana pula yang tega meninggalkan maknya seorang diri jika bukan karena sesuatu yang mendesak, Mak. Ananda ingin mengubah hidup, Mak. Demi kebaikan kita juga, kelak," Amad mencoba meyakinkan Mak Minah dengan suara agak terbata-bata takut-takut hati ibunya akan terluka.

Penghasilan sebagai seorang buruh tani yang menghamba pada seorang tuan tanah rupanya mulai dianggap kurang memadai bagi Amad Rahmayang. Timbullah niatnya untuk menyambung nasib di rantau orang setelah mendengar cerita sukses orang-orang yang hidup di perantauan.

"Tapi, di sini kau kan masih bisa mencari rezeki? Kenapa pula mesti pergi jauh-jauh ke negeri orang?".

Namun, keinginan Amad Rahmayang rupanya sudah bulat. Mak Minah tak mampu membendung hasrat anaknya tersebut.

"Jangan lupa beribadah," demikian ia berpesan kepada Amad Rahmayang saat mengantar anaknya itu ke dermaga. Ia hanya bisa menangis kala kapal berangkat dan menghilang di ufuk sana, menyisakan buih-buih bekas jejak lintasan kapal yang diterpa cahaya senja kemerah-merahan.

 

2 dari 3 halaman

Amad si Anak Durhaka

Suatu hari, ketika itu genap sepuluh tahun ia meninggalkan ibunya, terbetik kabar Amad Rahmayang telah sampai di dermaga. Air muka Mak Minah yang biasanya kuyu sepeninggal anaknya seketika kembali berseri.

"Amad pulang dengan kapal besar. Sudah gagah. Anak Mak Minah sudah jadi orang besar. Cepat, pergilah ke dermaga," kata seseorang kepada Mak Minah.

Demi mendapat kabar tersebut, lekas-lekas Mak Minah berangkat. Rasa rindu sepuluh tahun tidak berjumpa dengan Amad Rahmayang kini terobati.

Berkat ajaran sang bunda, Amad Rahmayang tumbuh menjadi seorang pekerja keras dan telaten. Kelak, itu menjadi modal yang membuat ia bisa sukses di rantau orang.

Awalnya, ia menjadi kuli panggul lalu dipercaya menjadi pengawas. Sifat jujur Amad Rahmayang bikin seorang saudagar kaya raya menaruh simpati lantas mengawinkan putrinya yang cantik jelita dengan pemuda dari negeri seberang itu.

"Kanda, Dinda ingin sesekali bertandang ke kampung halaman Kanda. Ingin pula Dinda melihat seperti apa rupanya kampung halaman Kanda yang katanya permai itu, terutama bertemu dengan Ibunda, orang yang melahirkan Kanda," pinta istri Amad Rahmayang suatu hari.

Amad Rahmayang tidak pernah menyangka istrinya akan melontarkan permintaan seperti itu. Ia mengaku kepada mertuanya kalau dirinya berasal dari trah bangsawan dan bergelar Tuanku Amad Rahmayang.

Apa pula yang akan dikatakan keluarga istrinya nanti jika mengetahui ia hanya seorang Amad Rahmayang yang berasal dari keluarga papa, beribu seorang tua renta yang kini tengah sakit-sakitan. Namun, demi menjaga muruah dan kepercayaan keluarga mertua, ia putuskan menuruti permintaan sang istri.

Hari itu, orang-orang mulai berkerumun di dermaga. Mereka penasaran dengan kedatangan Amad Rahmayang yang katanya sudah menjadi saudagar kaya raya di negeri orang.

Amad Rahmayang bersama rombongan turun dari kapal. Pernak-pernak perhiasan yang melekat di tubuh istrinya membuat orang-orang terkesima, pun tak kalah dengan Amad Rahmayang yang tampak gagah dengan pakaian bersulam emas.

Dari kejauhan, seorang wanita berteriak memanggil-manggil namanya. Perempuan berpakaian lusuh itu menyibak kerumunan lalu berdiri tepat di hadapannya.

"Siapa wanita ini, Kanda?" tanya istri Amad Rahmayang.

Sepuluh tahun harusnya terlalu lama untuk sebuah rindu yang terpendam, tetapi mulut sang anak kiranya terasa berat untuk menyambut orang yang telah mengandung dan menyapihnya itu. Niat hati hendak memeluk sang bunda sambil berurai air mata terhalang malu dan harga diri.

"Mengakui berarti bukit jadi paya," bisik setan di telinga Amad Rahmayang.

Amad Rahmayang segera menepis tangan Mak Minah yang hendak merangkulnya. Matanya mendelik kepada para pengawal-pengawalnya.

"Siapa kau perempuan tua tak tahu malu. Jangan dekatkan tubuh kotormu itu ke tuan kami," hardik seorang pengawal sembari menghalau perempuan renta berbaju compang-camping itu dari hadapan Amad Rahmayang. Perempuan ringkih itu terpental ke tanah.

"Amad? Ini aku makmu, Nyak...," Amad Rahmayang malah berlalu begitu saja.

"Di sini tak ada ibuku. Dia tak ada di sini. Ayo kembali," perintahnya.

"Tapi, Kanda," tahan istrinya.

"Tidak. Ibuku tidak ada di sini. Dan itu, perempuan tua bau tak punya malu itu mana mungkin ibuku. Najis tanganku dipegangnya. Tak mungkin aku lahir darinya. Tak mungkin darahku berasal dari darahnya," perkataan Amad Rahmayang bak petir pada siang bolong.

Hati Mak Minah hancur mumur, persis ketika ia melepas anaknya itu sepuluh tahun yang lalu. Bahkan, kali ini sakitnya tak tepermanai hingga rasa kasih sayangnya berubah amarah dan kutukan.

"Aku tidak mungkin salah, Nyak. Biar mata ini telah rabun. Biar kau berpakaian bak raja begitu. Hatiku ini hati seorang ibu, Nyak. Dan hati ini membenarkan kaulah Amad-ku. Amad yang terlahir dari rahimku, yang kususui dan kumandikan dengan tanganku. Kau sudah pasti Amad yang sepuluh tahun lalu kulepas dengan air mata dan doa di dermaga ini," Mak Minah bergumam lirih sambil menitikkan air mata, sementara rombongan Amad Rahmayang memunggung, meninggalkannya.

 

 

3 dari 3 halaman

Bukit Kapal di Leuen Lhok

Ini penggalan dongeng Amad Rahmayang atau Amad Si Anak Durhaka dari negeri Serambi Makkah yang sudah dinarasi ulang oleh Liputan6.com dengan tidak mengubah inti cerita. Kisah ini secara garis besar tidak jauh berbeda dengan kisah Malin Kundang dari Sumatera Barat.

Jika jejak kisah Malin Kundang konon berupa bentuk batu di Pantai Air Manis, Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat, maka Amad Rahmayang berupa Gle Kapai atau dalam bahasa Indonesianya, bukit kapal yang terdapat di kawasan pantai Leuen Lhok, Kabupaten Aceh Besar.

Di situ, tepatnya sekitar 1 kilometer dari bibir pantai, terdapat sebuah karang besar yang dipercaya merupakan kapal Amad Rahmayang. Kapal bersama seluruh isinya, termasuk Amad Rahmayang berubah menjadi batu.

Belum diketahui kenapa terdapat kesamaan isi dan alur cerita antara Amad Rahmayang di Aceh dan Malin Kundang di Padang. Beberapa orang percaya karena Aceh dan Padang memiliki hubungan historis yang kuat.

"Malin Kundang dan Amad Rahmayang hanyalah salah satu nilai yang ditanam agar anak-anak tak durhaka kepada orang tua. Jangan tanya dari siapa kisah itu dimulai dan yang memulai," kata pemuda yang sedang berkecimpung dalam bidang sejarah Aceh, Muchlis Ade Putra, kepada Liputan6.com, di Nagan Raya, Rabu siang (20/3/2019).

"Yang perlu kita catat, penyebaran Islam di Padang tidak lepas dari para mubalig dari Aceh pada zaman dahulu kala. Kedua kisah ini muncul di dua tempat berbeda tentu ada sesuatu? Tapi, yang pasti, lahir untuk yang saya sebut sebelumnya, yakni menanamkan nilai tadi," dia menambahkan.

Kisah Amad Rahmayang dahulu menjadi salah satu dongeng klasik yang menjadi pengantar tidur bagi anak-anak di Aceh. Saat itu, dongeng Amad Rahmayang menjadi cara ampuh untuk menanamkan nilai-nilai agama, terutama pentingnya bakti seorang anak kepada orangtua.

"Bek melawan ureueng chik. Enteuk lage Amad Rahmayang jeut keu batee. Tamong neuraka (Jangan melawan orangtua nanti kayak Amad Rahmayang berubah jadi batu. Masuk neraka). Demikian pesan orangtua setelah dongeng selesai dituturkan," imbuh Muchlis.

Dongeng Amad Rahmayang saat ini sudah sangat jarang, Bahkan, dapat dikatakan tak pernah dituturkan lagi. Zaman kiranya telah menciptakan para orang tua yang lebih memercayakan pembelajaran moral hanya kepada guru atau tengku (ustaz), sehingga lupa kalau pendidikan itu lebih utama diajarkan oleh orang tua, salah satunya melalui dongeng.

 

Simak video pilihan berikut ini: