Sukses

22 Tahun Jadi Penyintas, Novi Ernawati Berbagi Jurus Hidup dengan Kanker

Pada akhir 1996, Novi Ernawati divonis dokter mengidap kanker rektum.

Liputan6.com, Yogyakarta Pada akhir 1996, Novi Ernawati divonis dokter mengidap kanker rektum. Beberapa bulan sebelumnya, ia sempat merasakan sakit perut yang luar biasa.

Semula, ia memeriksakan penyakitnya, tetapi tidak diketahui penyebabnya. Sampai akhirnya, hasil tes menunjukkan  kanker yang menyerang bagian anus sudah stadium 3B.

Dokter memberitahukan secara langsung hasil tes kepada Novi saat itu. Namun, tidak dijelaskan stadiumnya.

"Pertama kali dengar, saya marah, marah dengan diri saya sendiri, kenapa harus saya," ujarnya saat ditemui seusai peluncuran buku "Saya Kanker dan Saya Bertahan" di Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta, Sabtu, 30 Maret 2019.

Pemeriksaan lanjutan menyebutkan sel kanker yang terdapat di dalam tubuhnya termasuk langka. Bahkan, dokter mengatakan tidak lebih dari lima orang yang mengidap kanker dengan jenis sel itu bisa bertahan hidup.

Novi memutuskan untuk menjalani pengobatan. Proses pengobatan berjalan lima tahun. Ketika itu masih menjadi mahasiswa jurusan Matematika di UNS pada 1997.

Selama pengobatan ia menjalani operasi kolostomi, radioterapi sebanyak 30 kali, dan kemoterapi secara berkala mulai dari seminggu sekali sampai sebulan sekali.

"Pada 2001, saya dinyatakan sudah bersih dari kanker padahal semula kemoterapi diprediksi tanpa batas waktu dan di tahun yang sama saya juga berhasil lulus kuliah," ujar bungsu dari sembilan bersaudara ini.

 

2 dari 4 halaman

Kanker Muncul Lagi

Ia bercerita selama pengobatan rasa sakit yang menderanya begitu terasa. Pengobatan yang dijalani di RSUP Dr Sardjito itu membuatnya kerap membolos saat kuliah.

"Sehari setelah kemoterapi pasti saya tidak kuliah karena seluruh kulit telapak kaki saya mengelupas sampai sakit dipakai jalan," ucapnya.

Sekalipun sudah dinyatakan bersih dari kanker, perempuan berusia 42 tahun ini tetap mengecek kondisinya setiap setahun sekali. Pengecekan rutin ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada sel kanker yang kembali tumbuh.

Bertahun-tahun hidup bebas dari kanker, Novi kembali dinyatakan mengidap kanker yang sama pada 2013. Namun, karena pengecekan berkala, kanker serupa itu diketahui lebih dini dan berada di stadium dua.

Pengobatan kali ini lebih cepat, hanya enam bulan, tidak melewati penyinaran, serta mengonsumsi obat secara oral. Pada kanker yang terdahulu, ia membutuhkan suntikan untuk pengobatan.

"Karena sudah pernah berada di stadium dan proses yang lebih berat, saya lebih ringan menjalani pengobatan kanker yang kedua ini," ujar perempuan yang saat ini berprofesi sebagai Branch Manager Area Jawa Tengah dan DIY PT IMA Global Link.

Saat ini, Novi sudah dinyatakan bebas kembali dari kanker dan pengecekan berkala tahunan pun tetap dilakukannya.

 

3 dari 4 halaman

Pernah Nyaris Menyerah

Sepintas saat menceritakan pengalamannya Novi terlihat bersemangat dan memberi kesan positif. Namun, dia mengakui pernah nyaris menyerah ketika menjalani pengobatan kanker.

"Kemoterapi yang menyakitkan dan melelahkan, saya pernah bilang ke dokter untuk berhenti saja, tetapi dokter-dokter saya justru yang menyemangati saya, akhirnya saya kembali berobat, begitu terus," kata Novi.

Tekadnya yang begitu besar untuk sembuh juga ditanamkan ke dalam diri sendiri. Ia harus menerima keadaan tubuhnya dan berjuang. Menurut Novi, ia tidak ingin menjadi domba yang ketakutan. Ia Ingin menjadi singa sehingga sekalipun tidak mengetahui apa yang akan terjadi ia memiliki harapan yang positif.

Ia juga tidak menganggap kanker sebagai sesuatu yang harus dimusuhi. Kanker ada di dalam dirinya dan ia berpikir jika memusuhi kanker sama saja dengan memusuhi diri sendiri. Ia berusaha hidup dengan kanker dan mengikuti proses pengobatan.

Berpikir positif berarti juga harus membentangi diri dari hal-hal yang membuat mental jatuh. Hal itu juga dilakukan Novi.

Ia meminta tolong kepada dokter untuk tidak dijenguk beberapa orang. Alasannya, orang-orang itu cenderung membicarakan hal-hal yang membuat Novi tertekan secara psikis.

"Dokter saya tidak hanya membantu pengobatan fisik, tetapi juga jadi konsultan saya secara psikis, dan mereka mendukung itu karena memang perasaan pasien kanker tidak boleh tertekan," tuturnya.

Novi juga dikenal sebagai orang yang memiliki kepedulian terhadap pengidap kanker. Pada 2009, banyak pengidap kanker, keluarga pengidap kanker, yang berbagi cerita dengannya. Mereka saling memotivasi dan memberi dukungan.

 

4 dari 4 halaman

Berbagi Pesan Lewat Buku

Selama sakit, Novi kerap menuangkan perasaan dan pengalamannya lewat tulisan. Ia memang gemar menulis.

Hal itu yang membuatnya mengumpulkan tulisan-tulisan lamanya dan menerbitkannya ke dalam bentuk buku setebal 169 halaman. Buku itu bercerita soal pengalaman dan tipsnya menjalani hidup sebagai penyintas kanker.

"Harus cuek, jangan pedulikan omongan orang yang justru bikin kita down, itu yang jadi alasan saya tidak mau ditengok oleh beberapa orang juga," ujarnya.

Ia mencontohkan komentar orang-orang yang bikin down, antara lain, komentar soal perubahan fisik yang makin kurus, rambut rontok, dan sebagainya, serta alasan terkena kanker.

Novi menilai pertanyaan-pertanyaan dan komentar semacam itu tidak bermanfaat bagi pengidap kanker. Ia merasa perlu menjaga perasaannya karena itu berpengaruh terhadap pengobatan.

Alasan terkena kanker, misalnya, Novi merasa selama ini menjalani pola hidup sehat, banyak makan buah dan sayur serta minim mengonsumsi makanan instan.

"Kemungkinan saya karena faktor genetik, adik dan kakak ibu saya ada juga yang terkena kanker," kata Novi.

Melalui buku ini, Novi juga memotivasi orang yang hidup dengan kanker untuk tidak terus menerus memikirkan penyakitnya. Sebaliknya, bersikap serta berperilaku seperti bukan orang hidup dengan kanker. Caranya, sembari menjalani pengobatan tetap beraktivitas seperti biasa.Â