Liputan6.com, Cilacap - Udara semakin panas seturut meningkatnya aktivitas industri dan berkuranganya serapan karbon lantaran hutan yang semakin gundul. Kekhawatiran soal pemanasan global itu disuarakan oleh berbagai kalangan, termasuk penghayat kepercayaan di Cilacap, Jawa Tengah.
Udara yang sudah panas ini serasa bertambah panas dengan meningkatnya suhu politik Indonesia menjelang Pemilu 2019. Perbedaan pilihan terkadang membuat antartetangga tak saling bertegur sapa.
Kondisi ini memantik penghayat kepercayaan di Kabupaten Cilacap untuk menggelar ruwatan hawa atau ruwat udara (atmosfer) pada Rabu pon bulan Sadran (Sya’ban) tahun 2019 ini. Ruwatan digelar di Sanggar Kencana, yang juga sekretariat Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Cilacap, Rabu, 3 April 2019.
Advertisement
Baca Juga
Pengurus MLKI Kabupaten Cilacap, Kuswanto Heriyanto mengatakan ruwat hawa ini merupakan ajaran leluhur untuk merawat alam, termasuk udara yang begitu dibutuhkan makhluk hidup. Kini, udara semakin panas dan butuh dirawat atau diruwat.
"Kabupaten Cilacap itu sudah yang ketiga kalinya. Wong sudah lama sih, ada nyanyian 'Bumi Semakin Panas'. Udara di bumi ini perlu dirawat," katanya, Rabu malam, 3 April 2019.
Bagi penghayat kepercayaan, selain meruwat udara secara harfiah berupa kampanye pelestarian alam, ruwat hawa yang digelar tahun ini juga merupakan simbol untuk menyejukkan iklim politik yang kian memanas menjelang Pemilu 2019.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Simbol 3 Bunga
"Hawanya kok sepertinya panas. Untuk mengantisipasi hawa-hawa panas tersebut ya. Harapan kita semua, acara ruwatan hawa tersebut, agar kita membawa kesejukan," dia menerangkan.
Ruwat udara itu disimbolkan lewat tumpeng dan tiga jenik bunga, yakni bunga awaribang atau kembang sepatu yang menyimbolkan warna kehidupan dunia, bunga dan bunga gandul (pepaya) yang menyimbolkan ketergantungan hidup manusia kepada Tuhannya, serta bunga teratai yang menyimbolkan kekuatan berpijak dan kelenturan sikap.
Simbol lainnya adalah daun andong yang menyimbolkan bahwa manusia hanya menumpang hidup atau dondon urip. Adapun tumpeng, adalah simbol manunggaling kawulo lan gusti atau bersatunya manusia dengan Tuhannya.
"Tidak bertindak merusak alam dan bersikap rendah hati," ujarnya.
Ruwat yang digelar penghayat kepercayaan di Cilacap tahun ini adalah kali ketiga. Sebelumnya, ruwat udara digelar pada 2014 dan 2016. Tahun ini ruwat hawa atau udara itu digelar tepat pada Rabu pasaran Pon, bulan Sadran atau Syakban.
Tahun sebelumnya, pada 2014, ruwatan hawa digelar pada Sabtu atau Setu pasaran Pahing. Sedangkan pada 2016, ruwatan digelar pada Sabtu pasaran Manis. Penentuan hari ruwatan hawa disesuaikan dengan tahun dalam kalender Jawa.
Dia berharap masyarakat juga tergerak untuk turut mengampanyekan pelestarian alam. Seniman, bisa mengungkapkan kerisauannya lewat nada, lagu atau lukisan. Ilmuwan, bergerak untuk melestarikan alam dengan bidang keilmuannya.
"Semuanya bisa menjaga kelestarian alam, kita perlu merawat udara," dia menjelaskan.
Advertisement