Liputan6.com, Magelang - Buto dalam kultur masyarakat Jawa dianggap sebagai simbol kejahatan. Itulah sebabnya secara visual digambarkan seram. Mata melotot besar, mulut bertaring dan tak bisa menutup, hidung yang pesek dengan lubang besar, rambut panjang tak beraturan.
Rahwana, Bethara Kala, Bethari Durga adalah nama-nama yang dianggap simbol kejahatan itu. Tak sedikit yang kemudian mendefinisikan simbol ini. Misalnya budayawan Sudjiwo Tejo yang menyebut dalam sosok Rahwana ternyata bermukim perasaan cinta suci kepada Sinta.
Koalisi Untuk Rakyat Madani (KURMA) juga melakukan interpretasi ulang terhadap simbol ini. Presentasi akan digelar dalam pementasan Ruwatan Buto Angkoro Obong. Menurut Sekjen Kurma Aris Munandar, interpretasi dilakukan karena ada kekhawatiran masyarakat terjebak dalam simbol yang salah.
Advertisement
Baca Juga
"Perilaku politisi yang halus, lembut namun nyolongan itu jelas lebih jahat. Kalau buto itu kejahatannya lebih ksatria. Nah para politisi ini kejahatannya double karena dilakukan dengan kesadaran penuh bertindak munafik. Pura-pura baik tapi mematikan," kata Aris Munandar.
Perhelatan itu akan digelar bersamaan dengan pelaksanaan debat pilpres 2019, 13 April 2019 di Pendopo Candran Danurejo, Mertoyudan Magelang. Tujuannya untuk pembelajaran publik.
"Debat menjadi tak begitu penting, karena kebenaran yang disampaikan pasangan calon tetap akan diragukan oleh pendukung pasangan lawannya. Menutup diri dari kebenaran pihak lain dan sikap permisif atas kejahatan dari teman, itu yang kami kritisi," kata Aris Munandar.
Simak video pilihan berikut:
Lembut Itu Bisa Jahat
Nindito Nugroho, pelaku teater di Kabupaten Magelang menambahkan, butuh kecerdasan dan kejernihan hati untuk bisa membedakan kejahatan dan kebaikan.
"Buto itu meskipun digambarkan seram, namun ada nilai estetis secara seni rupa. Bahkan ketika berbuat jahat, ia mendeklarasikan diri hendak berbuat jahat. Ada kesantunan pula, yakni ketika akan membunuh lawannya ia akan bertanya nama dan alamatnya agar bisa mengantar jenasah atau memberi kabar keluarganya," kata Nindito Nugroho.
Sementara itu, para politisi kadang sangat baik terutama menjelang pemilu. Mereka akan menghamburkan hadiah kepada pemilihnya, bisa berupa uang, fasilitas, atau janji-janji lain.
"Tapi hakekatnya adalah mencari legitimasi saja untuk apapun yang diperbuatnya," kata Nindito.
Berpijak dari pemahaman itu, Ruwatan Buto Obong digelar. Buto sebagai simbol kejahatan kasar akan dibakar sehingga hanya akan menyisakan estetika dan kelembutan saja.
"Barangkali ini yang terjadi ketika Buto tersinggung dan terhina. Karena mereka tetap dianggap jahat tanpa melihat sisi baiknya. Celakanya yang menganggap jahat adalah manusia yang ternyata kejahatannya lebih berbahaya," kata Nindito.
Aswarun, salah satu pemain mengaku tertarik pada konsep ini. Magelang sangat kaya dengan kesenian rakyat, dan sangat egaliter terhadap semua penghuni semesta.
"Masyarakat Magelang juga sangat open mind terhadap kemungkinan-kemungkinan pemikiran baru. Ini yang membuat nyaris setiap RW memiliki kelompok kesenian rakyat. Sama-sama jatilan antara RW satu dengan lainnya sudah memiliki perbedaan. Dan ini menguntungkan bagi kehidupan," kata Aswar.
Pesan utama Ruwatan Buto Obong ini menurutnya adalah agar masyarakat tidak mudah terjebak dalam penilaian baik buruk berdasarkan penampakan.
Sementara itu, Aris Suyuti, sebagai ketua panitia pelaksana berharap pementasan ini bisa juga menjadi hiburan. Selain sebagai hiburan juga sebagai sambutan penutup atas kerja Koalisi Untuk Rakyat Madani yang terus memberi pemahaman kepada publik bahwa harmoni kebangsaan diatas segalanya. Jauh lebih penting dibanding sekadar pemilu.
"Apalagi semakin hari antar pendukung calon presiden makin kuat bergesekan," katanya.
Advertisement