Liputan6.com, Blora - Di Kabupaten Blora, Jawa Tengah tepatnya di Kelurahan Beran RT 04 RW 02 terdapat lokasi yang dianggap warga sekitar tempat keramat 'Asem Roboh'. Di lokasi, tumbuh dua pohon yang berhimpitan antara pohon beringin yang tumbuhnya tinggi menjulang dengan pohon asam yang tumbuhnya kesamping.
Ada cerita rakyat yang masih menjadi misteri disana. Sekitar bulan April 2018, pohon asam itu roboh menimpa pondasi rumah salah satu warga yang baru dibangun. Ternyata hingga saat ini tidak dipotong tetapi justru pondasi rumah warga tersebut dihentikan.
Pada bulan Januari 2019, berganti pohon beringin yang tumbang. Warga setempat pun memberlakukan hal yang sama dengan membiarkan batang pohon berukuran diameter sekitar 90 cm tersebut tergeletak begitu saja.
Advertisement
"Hingga saat ini warga masih mengeramatkan dua pohon di kompleks Asem Roboh. Memotong dan memanfaatkan kayunya dianggap pantangan. Yang berani akan mendapat bendu," ujar Martono, pemerhati budaya setempat kepada Liputan6.com, Jumat (5/4/2019).
Bendu, dalam istilah Jawa adalah malapetaka yang menimpa keluarga maupun kerabatnya karena melanggar sebuah pantangan.
Dan setiap malam jumat ada saja warga yang membakar merang (batang padi yang dikeringkan), memberikan sesaji, dan kembang setaman.
"Ini kekhasan yang secara simbolik menjelaskan orientasi pengeramatan bertendensi pada kehidupan agraris," jelasnya.
Menurut cerita, keberadaan Asem Rubuh bersamaan dengan awal berdirinya Desa Beran. Dulu wilayah Desa Beran bertanah gersang dan tandus sehingga tidak cocok dijadikan perkampungan dan lahan pertanian.
Dalam bahasa setempat, tanah yang tandus dan tidak dimanfaatkan untuk pertanian dinamakan tanah bero. Istilah tanah bero inilah awal cikal bakal masyarakat Blora menamakan ‘tanah beroan’ (tanah luas dan dibiarkan terbengkalai begitu lama) dan dalam pengucapan berubah menjadi beran.
"Penduduk Beran merupakan eksodus dari desa Kedungkluwih yang letaknya 1 km di sebelah selatan wilayah Beran," jelas Martono.
Cerita Pernikahan Sutamtama dan Nini Semi
Desa Kedungkluwih yang letak desanya dekat dengan Beran merupakan wilayah pertanian yang makmur karena warganya mampu memanfaatkan Sungai Corah untuk pengairan.
Suatu pagi, warga Kedungkluwih geger karena di tepi Sungai Corah tergeletak seorang pemuda bernama ‘Sutamtama’ dalam keadaan pingsan dan terluka parah. Dengan pakaian lusuh, Sutamtama hanya membawa bungkusan yang berisi sebuah kenong, alat musik khas Jawa yang bentuknya seperti gong tetapi lebih kecil diameternya yaitu sekitar 25 cm.
Tidak ada satu wargapun yang berani menolong karena khawatir dia seorang tentara pemberontak. Kala itu, ada janda tua bernama Nyai Jambul yang merasa kasihan dan memberanikan diri merawat Sutamtama.
Kesehariannya Nyai Jambul hidup bersama keponakan perempuannya bernama Nini Semi. Keadaannya yang miskin menyebabkan Nyai Jambul tidak mampu membawa Sutamtama berobat ke tabib maupun dukun. Luka Sutamtama hanya diolesi dengan tumbukan daun pohon Kemlanding (Lamtoro) dan memberinya minum dengan perasan daun pohon asam.
Rupanya takdir memihak Sutamtama, nyawanya terselamatkan dan lukanya semakin membaik. Ketelatenan Nyai Jambul dan Nini Semi berbuah manis, Sutamtama sembuh dan sehat seperti semula. Badannya kekar dengan paras yang tampan dan kulit kuning langsat.
Diam-diam Nini Semi menaruh hati. Terlebih Sutamtama juga rajin bekerja. Dari pagi sampai sore Sutamtama mencari kayu ke hutan Semanggi dan pulang membawa kijang hasil buruannya. Cinta Nini Semi tidak bertepuk sebelah tangan, Sutamtama melamarnya.
Pada malam pernikahan, Sutamtama diusir oleh pemuda kampung dengan alasan Desa Kedungkluwih akan diserbu pasukan dari Kotaraja. Tapi Sutamtama menolak dan melawan puluhan pemuda tadi. Banyak pemuda yang berhasil dibuatnya pingsan sehingga yang lainnya ketakutan.
Tetapi demi keselamatan Nini Semi, ia memutuskan menyerah. Dengan bekal seadanya keduanya meninggalkan Desa Kedungkluwih.
Advertisement
Sumber Air
Di sebuah tanah lapang yang tandus mereka berhenti karena Sutamtama merasakan demam dan panas di tubuhnya. Sampai keesokan harinya keadaanya tidak berubah. Akhirnya mereka berdua berteduh di bawah rumpun bambu.
Sutamtama merasa haus dan sang istri berusaha memberinya minum. Tapi sayang airnya tumpah, Sutamtama pun tak sampai hati melihat wajah istrinya yang merasa bersalah. Akhirnya ia mengambil tanah yang masih basah itu dan memasukkan ke mulut sambil menghisapnya.
Ajaib, tidak berapa lama demam dan panasnya sembuh. Tanah tersebut dianggap berkhasiat atau ampuh. Tradisi makan tanah ini berlanjut, kegiatan makan tanah tersebut dikenal sebagai tradisi Ngampuh dan daerahnya disebut dengan desa Ngampuhan atau Ngampon.
Setelah sembuh, Sutamtama berusaha mencari sumber air dengan cara menancapkan ranting beringin dan menanam biji asem di beberapa tempat.
Setelah beberapa hari hanya ada satu tempat yang bisa menumbuhkan biji asem dan menyemaikan ranting beringin tersebut. Di tempat itulah akhirnya mereka berdua tinggal. Ternyata sumber air di bawah pohon beringin dan pohon asem tersebut sangat melimpah sehingga cukup pula mengairi tanah di sekitarnya.
Anehnya bersamaan dengan itu kekeringan beralih melanda Desa Kedungkluwih, air Sungai Corah mengering. Para pemuda yang dulunya menentang pernikahan Nini Semi dengan Sutamtama minta maaf.
Dengan menahan malu meraka minta agar diijinkan tinggal di sekitar sumber air. Sutamtama mengijinkan dan mulailah mereka membagi-bagi tanah.
Sutamtama memilih tinggal di dekat rumpun bambu yang kemudian menjadi dusun Ngampon.
Untuk menghormati jasa Sutamtama dan menandai keberadaanya di Beran maka Kenong peninggalannya digantung di pohon asem yang masih muda sehingga lama kelamaan pohon asem menjadi melengkung seperti roboh. Tempat tersebut di kenal sebagai 'Asem Rubuh'.
Setiap tahun sekali, pada hari Rabu Wage di bulan Selo (nama bulan dari 12 nama bulan Jawa), warga setempat mengadakan kegiatan Gas Deso (sedekah bumi) sebagai pesta kelahiran Desa Beran.
Saksikan video pilihan berikut ini: