Liputan6.com, Garut Setelah pengiring seni dan pawang mempersilakan, tampak Ferdi (12), pemain seni Lais asal Garut, Jawa Barat, langsung menaiki sebilah pohon bambu yang telah disiapkan panitia dengan cakap.
Sebuah permainan seni Lais memang cukup menghibur penonton. Deretan aksi akrobatik nan berbahaya kerap disuguhkan tanpa satu pun alat pengaman tersemat di tubuhnya.
Dadang, salah satu pelatih seni Lais Garut mengatakan, perkembangan seni Lais sudah berlangsung lama di masyarakat.
Advertisement
“Awalnya di Sukaweing sejak tahun 1925,” ujar dia saat ditemui Liputan6.com, di sela-sela festival Pesona Garut, Minggu (7/4/2019) lalu.
Menurut dia, seni Lais merupakan perpaduan seni olah fisik dengan kekuatan supranatural yang diperoleh dengan cara belajar. “Kunci utamanya ya belajar dan kerja keras,” kata dia.
Ketahanan fisik dan keberanian yang dimiliki pemain Lais sangat dibutuhkan dalam penerapan seni tradisional lawas asal Garut itu, saat mentas di tengah masyarakat. “Kalau ragu jangan dilakukan, intinya harus yakin dulu,” ujarnya.
Baca Juga
Ia mencontohkan Ferdi yang masih terbilang anak bau kencur di teman sebayanya, mampu menampikan atraksi yang mengundang decak kagum dengan dukungan fisik dan keberanian yang mumpuni.
”Ini mungkin sudah gerenasi keempat dari keluarga saya,” kata dia bangga.
Saat aksi berlangsung, kedua tangan dan kaki Ferdi terlihat lihai memanjat pohon layaknya seekor kera yang tengah mengejar mangsa. Tidak terlihat rasa takut sama sekali, yang ditunjukkan pemain lais belia pelajar kelas satu sekolah menengah pertama (SMP), asal Kampung Cibunar, Kecamatan Cibatu, Kabupaten Garut ini.
Beberapa saat kemudian, diiringi tepuk tangan penonton, ia sudah berada di atas puncak batang pohon bambu tanpa pengaman sedikit pun. Dengan penuh keseimbangan, Ferdi mulai menjalankan sejumlah aksi berbahaya.
Terlihat sejumlah aksi berbahaya mulai tiduran dengan santai, gelantungan, memutar tubuh yang terlilit seutas tali tambang, hingga berjalan tanpa pengamanan, ia pertontonkan dengan penuh suka cita laiknya anak kecil yang tengah mengekspresikan kegembiraan diri tanpa beban.
Itulah gambaran mengenai seni Lais khas Garut yang sudah populer sejak 1920-an silam. Kesenian yang mampu menggabungkan aksi akrobatik dengan balutan mistik yang mengundang decak kagum penonton.
Sejarah Lais
Dadang menyatakan, sejarah seni Lais pertama kali diperankan Laisan, seorang warga lokal kampung Nangka Pait, Sukawening wilayah Garut utara, saat jaman penjajahan Belanda.
“Kalau cerita dari orangtua, Pak Laisan itu kerap naik pohon kelapa dengan cepat tanpa bantuan alat sedikit pun,” kata dia.
Laisan yang saat itu mulai dikenal warga sekitar dengan keberaniannya, justru semakin berani untuk memamerkan keahliannya.
“Makanya dalam pertunjukan diusahakan ada buah kelapa untuk menghormati, tetapi jika pun tidak ada tidak masalah,” ujarnya.
Akhirnya kesenian itu dipelajari dengan mahir oleh Kurdi dan Ahmadi, hingga dalam perjalanan selanjutnya kedua orang itulah yang mengenalkan secara luas kesenian uji nyali dan adrenalin tersebut.
“Buat sebagian besar guru lais ya kedua orang itu,” ujarnya.
Awalnya pertunjukan ini kerap menggunakan area tanah perkebunan, ladang yang memiliki pohon kelapa cukup banyak, tapi saat ini telah berubah.
“Mungkin sekarang karena pohon kelapa sulit diperoleh, jadi cukup pakai bambu saja,” ujarnya.
Ada beberapa ketinggian pohon bambu yang sering dipentaskan di masyarakat mulai paling rendah 7 meter hingga paling tinggi 12 meter. “Biasanya bertahap, namun paling tinggi biasanya sekarang di kisaran 12 meter,” ujarnya.
Ferdi yang menemani sang paman mengakui jika seni Lais sangat mengasikan, meskipun berbahaya, namun baginya hal itu justru menjadi hiburan tersendiri. “Enak saja, mungkin karena sudah biasa,” ujarnya.
Menurutnya, seni Lais membutuhkan konsentrasi cukup tinggi, sehingga dalam setiap mentas, dibutuhkan keyakinan terhadap kemampuan yang kita miliki.
“Kalau sudah naik (di atas ketinggian) kita serahkan saja pada kekuasaan Alloh, berdoa saja,” ujarnya.
Ia mengakui dalam setiap gelaran seni Lais yang dipentaskan, ada beberapa ritual yang harus dilakukan, namun hal itu semata untuk menjaga keselamatan.
“Tidak ada yang aneh, intinya kita harus belajar dan bekerja keras untuk meraihnya,” ujar dia dengan senyum manisnya.
Advertisement
Rahasia Latihan Seni Lais
Dadang menambahkan, kunci utama kesenian Lais terletak pada konsentrasi dan keseimbangan tubuh si pemain. “Semua orang bisa mempelajari, asal yakin pasti bisa,” ujarnya mengungkapkan salah satu rahasia seni Lais.
Warga masyarakat yang tertarik mempelajari Lais, biasanya mengalami beberapa tahapan belajar, untuk menghasilkan keseimbangan tubuh. “Bertahan dulu mulai empat meter, enam meter, hingga paling tinggi 12 meter,” ujarnya.
Setiap pemain Lais ujar dia, dituntut konsentrasi terutama untuk menjaga keseimbangan tubuh, saat tengah melangsungkan sebuah pementasan.
“Kalau sudah konsentrasi mau gerakan apapun bisa, itu bisa diperoleh dengan latihan,” ujar Ferdi, sang pemain Lais.
Menurutnya. Seni Lais tidak melulu didukung faktor mistik dan kekuatan supranatural semata, namun dibutuhkan upaya latihan yang tekun untuk mencapai keseimbangan tubuh.
“Saya kebetulan latihan sejak kecil,” ujar Feri membuka sedikit rahasianya.
Tak heran meskipun berada di atas ketinggian, ia takan ragu untuk menampilkan sejumlah atraksi yang berbahaya. “Kalau konsentrasi atau keyakinnanya sedang tidak fit, jangan memaksakan,” kata dia.
Hasilnya, dalam setiap kali pementasan di setiap daerah yang didatangi, mayoritas penonton merasa terhibur dengan atraksi seni Lais yang di tampikan. “Hampir seluruh Jabodetabek sudah kita datangi, tetapi paling sering ke Jakarta,” ujarnya.
Harapan Kepada Pemerintah
Di tengah sulitnya regenarasi dan ancaman kepunahan seni Lais, ia berharap pemerintah Garut memberikan perhatian bagi penggiat seni tradisional lawas tersebut.
“Jangan dibiarkan begitu saja, mohon bimbingannya,” ujar dia berharap.
Saat ini, ruang dan area latihan lais yang dimiliki, masih terbilang sederhanan tanpa bantuan pemerintah. “Padahal kami sudah menjadi kebanggaan, tetapi kostum saja tidak punya,” ujarnya.
Tak mengherankan dalam setiap gelaran seni Lais, ia hanya mengenakan konstum seadanya, menggunakan setelah pangsi hitam layaknya pemain silat.
“Tolong buat paguron plus peralatannya yang memadai agar kami semangat,” kata dia.
Sementara sejumlah dana yang diperoleh dari pementasan jumlahnya tidak seberapa dibanding dengan pengorbanan yang telah dilakukan selama ini.
"Memang ada tetapi hanya untuk kebutuhan sehari-hari, lagian jadwa mentas kan tidak setiap hari," ungkap Dadang.
Selain itu, dibutuhkan sosiaslisasi bagi masyarakat terutama generasi muda, agar mereka mencintai dan merasa memiliki kesenian daerah tersebut. “Ada mata pelajaran mulok atau muatan lokal,” kata dia.
Terakhir, dengan semakin minimnya peminat lais, ia berharap pemerintah memberikan pembinaan dan perhatian yang memadai, dengan dukungan sejumlah permodalan. “Minimal kami bisa membangun sendiri peralatan yang kami butuhkan,” harap dia.
Advertisement