Sukses

Membakar Angkara Pemilu dengan Ruwat Buto Angkara

Pemilu selalu diwarnai dengan angkara. Melalui tradisi ruwatan ini diharapkan ruwatan akan lenyap dan yang tertinggal adalah buto-buto lucu yang menghibur.

Liputan6.com, Magelang - Berita bohong atau hoaks semakin deras mengguyur ranah publik mendekati hari pemilihan umum. Bukan hanya menyasar salah satu calon presiden, tetapi juga menyerang keduanya. Publik disulut nafsu angkaranya dengan produksi berita bohong beruntun itu.

Debat calon presiden putaran terakhir, Sabtu, 13 April 2019 diperkirakan akan berlangsung lebih panas. Gimmick menjelang hari pencoblosan selalu memanas. Atas dasar itulah, Koalisi Untuk Rakyat Madani (KURMA) menggelar ritual Ruwatan Buto Angkara sebelum nonton bareng debat capres di Pendopo Candran Danurejo, Mertoyudan, Magelang.

Sekjen DPD KURMA Kabupaten Magelang, Arist Munandar, menyebut bahwa indikasi munculnya angkara dalam pelaksanaan pilpres sudah kelihatan. Baik dari calon maupun dari para pendukung.

"Kami berharap pertunjukan yang kami sajikan bisa mendinginkan suasana," kata Arist Munandar, Kamis (11/4/2019).

Ritual itu akan melibatkan sejumlah teaterawan, penari, musikus, dan spiritualis Jawa. Aswarun, produser acara itu, menyebut bahwa Magelang sangat kaya dengan kesenian rakyat. Maka, pihaknya mengambil ruh kesenian rakyat sebagai materi pertunjukan, meskipun dalam kemasan teater modern.

"Buto itu sering dianggap simbol angkara. Namun, di Magelang, makhluk buto yang tak jelas ini justru menjadi hiburan bagi rakyat," katanya.

Agar tetap bisa menghibur, maka buto-buto angkara diruwat dengan cara diobong (dibakar). Diharapkan nantinya akan tertinggal buto-buto yang lucu dan menghibur. Berita bohong adalah salah satu bentuk angkara.

Simak video tentang ruwatan ini di tautan berikut:

 

2 dari 2 halaman

Buto Lebih Sportif?

Sementara itu, Nindito Nugroho selaku sutradara menyebut bahwa sosok buto sebenarnya memiliki sikap yang sportif. Meskipun simbol angkara, buto sejatinya masih memiliki etika ketika akan berbuat jahat.

"Dalam pewayangan, ketika seorang ksatria akan berperang melawan buto, maka si buto itu akan menanyakan nama, alamat, dan meminta sang ksatria berhati-hati karena ia akan membunuh. Bahkan, cara membunuh lawan pun diungkap tegas oleh Buto. Misalnya ia menyebut akan menggigit leher sebelum benar-benar menggigit," kata Nindito.

Sebaliknya, seorang ksatria seringkali tanpa mempedulikan etika langsung membunuh lawannya. Ksatria dalam pewayangan itu, meskipun disimbolkan sebagai kebaikan, masih menyisakan naluri jahat kemanusiaan.

"Misalnya Arjuna itu, dengan ketampanannya kadang ia menggoda istri orang lain. Bahkan, istri dewa," katanya.

Nindito menyebutkan bahwa dibakarnya buto angkoro berarti hanya membakar keangkaramurkaan saja. Sosok buto sebagai makhluk ciptaan Tuhan tetap dibiarkan hidup. Bagaimanapun semua ciptaan Tuhan berhak hidup di alam semesta ini.

"Angkara paling mengerikan selalu dalam dunia politik. Ia bisa menjelma kecurangan, bisa menjelma peperangan, bisa menjelma apa saja yang merugikan semesta," kata Nindito.

Sedangkan Aris Suyuti sebagai ketua panitia pelaksana berharap agar pementasan ini bisa menjadi katarsis sebelum pemilu. Apalagi dilanjutkan nonton bareng debat capres.

"Semoga bisa menjadi katarsis bagi masyarakat sebelum menentukan pilihannya. Setidaknya kami mencoba menghilangkan anasir-anasir jahat dari perhelatan politik kali ini," kata Suyuti.

Selain sebagai hiburan, juga sebagai sambutan penutup atas kerja Koalisi Untuk Rakyat Madani yang terus memberi pemahaman kepada publik bahwa harmoni kebangsaan di atas segalanya dan jauh lebih penting dibanding sekadar pemilu.