Liputan6.com, Yogyakarta Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fisipol UGM merilis hasil penelitian soal peta potensi politik uang dalam Pemilu 2019, Senin (15/4/2019). Ada tiga objek yang diteliti terkait isu tersebut. Salah satunya, survei pemilih terhadap politik uang.
"Sebenarnya ini bukan topik baru, isu politik uang mulai mengganas sejak 2014," ujar Mada Sukmajati, peneliti sekaligus dosen DPP Fisipol UGM.
Ia mengungkapkan, selain alasan ekonomi, politik uang bisa terjadi karena tiga faktor lainnya.
Advertisement
Baca Juga
Pertama, faktor politik. Politik uang terjadi karena calon legislatif (caleg) tidak memiliki program tetapi ingin menang. Sementara, partai politik yang mengusung tidak berperan banyak selain membantu pencalonan.
"Di sini bisa dilihat kegagalan partai dan kandidat dalam membangun program," ujarnya.
Kedua, faktor hukum. Menurut Mada, lemahnya regulasi tentang politik uang pada pemilu tahun ini menjadi sebuah kemunduran jika dibandingkan dengan pilkada. Ia membandingkan salah satu poin, pada pilkada, pemberi dan penerima terkait politik uang sama-sama mendapat sanksi.
"Di pemilu sekarang hanya pemberi saja yang mendapat sanksi," ucapnya.
Ketiga, faktor budaya. Ada kebiasaan yang sudah membudaya di Indonesia, yakni tidak pantas jika menolak pemberian dan terbiasa membalas pemberian. Instrumen kultural ini dimanfaatkan oleh politisi untuk menjalankan politik uang.
Mada berpendapat politik uang bisa dilawan dengan solusi jangka panjang dan jangka pendek. Solusi jangka panjang yang dimaksud seperti strategi budaya atau memasukkan materi politik uang ke sub materi antikorupsi dalam kurikulum sekolah.
"Sekarang ini yang terpenting solusi jangka pendek, karena pemilu sudah tinggal besok," kata Mada.
Menurut Mada, solusi jangka pendek mengatasi politik uang, antara lain, bawaslu aktif mengawasi pemilu, pemilih juga bersikap partisipatif selama proses pemilu berlangsung, sesama peserta pemilu juga dapat saling mengawasi, termasuk saling mengawasi antar peserta pemilu dari partai yang sama.
Masyarakat Bipolar?
Mada melakukan survei terhadap 800 responden di DIY terkait politik uang. Penelitian ini sudah berlangsung pada 8 sampai 13 Maret lalu.
Ketika ditanya soal boleh atau tidak menerima bantuan barang atau uang dalam pemilihan legislatif, sebanyak 79,38 persen responden menjawab tidak boleh, 17,38 persen boleh, dan 3,25 persen tidak menjawab atau tidak tahu.
"Berarti, secara normatif, orang paham politik uang tidak diperbolehkan," tuturnya.
Namun, pada pertanyaan tentang bersedia menerima bantuan barang atau uang dan bersedia diarahkan untuk memilih salah satu kandidat saat pemilihan legislatif, jawaban responden menunjukkan inkonsistensi.
Sebanyak 60,12 persen menjawab tidak menerima, 34,5 persen menerima, dan 5,38 persen tidak menjawab.
"Ada ketidaksinkronan antara kognisi dan praktik, ini mengingatkan pada perilaku pemilih yang tidak nyambung," kata Mada.
Ia mencontohkan, pada saat pilgub DKI lalu, kepuasan terhadap kinerja Ahok tinggi, akan tetapi elektabilitasnya rendah.
"Apakah ini menunjukkan pemilih atau masyarakat kita ini bipolar, berkepribadian ganda," ucapnya.
Mada menegaskan perlu didiskusikan tekanan terhadap politik uang yang begitu besar sehingga membuat masyarakat mudah berkompromi. Terlebih, mendekati hari H pemilu, isu politik uang semakin kencang.
"Kita semua perlu mengawal politik uang sampai TPS ditutup," ujar Mada.
Advertisement
Santer di Twitter
Wakil Dekan DPP Fisipol UGM Wawan Mas'udi menganalisis percakapan di Twitter perihal politik uang dalam rentang waktu 10 hari, mulai 2 April sampai 12 April 2019.
Ia mendapati 7.647 kicauan di Twitter tentang politik uang dari 1.817 lokasi yang terdeteksi. Lokasi nyaris merata, di seluruh pulau di Indonesia, meskipun didominasi oleh Jawa.
"Ini berarti isu politik uang menjadi perhatian bersama," kata Wawan.
Perbincangan politik uang didominasi kata amplop sebanyak 2.732 kicauan. Ini mengindikasikan politik uang masih identik dengan pembagian amplop.
Pembicaraan soal politik uang mencapai puncaknya pada 11 April, yakni sebanyak 2.921 kicauan.
"Kalau dikaitkan dengan momentum, sepertinya penangkapan calon legislatif dari partai Golkar menjadi pemicunya," ujar Wawan.
Tidak sampai di sini, isu politik uang juga dikaitkan dengan pilpres dan menyudutkan salah satu capres. Sebab, penangkapan calon anggota legislatif itu berasal dari partai politik yang mendukung salah satu paslon dalam pilpres.
Saksikan video pilihan berikut ini: