Sukses

Pasang Surut Pengolahan Sampah di Palembang

Pengolahan sampah organik menjadi pupuk tidak terlalu diminati masyarakat.

Liputan6.com, Palembang - Menumpuknya volume sampah di Kota Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel) kini sudah mencapai 7 ton per hari. Berbagai cara dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang maupun masyarakat untuk menekan menggunungnya sampah.

Salah satu gerakan pengolahan sampah di Palembang yaitu adanya Bank Sampah. Seperti di Jalan Urip Sumoharjo, Kecamatan Kalidoni Palembang.

Instalasi Pengolahan Sampah 3 R (Reuse, Reduce, Recycling) ini sudah berjalan sejak tahun 2017. Para penggerak Instalasi Pengolahan Sampah ini juga menjadi salah satu wadah Bank Sampah Sriwijaya Bersatu di Palembang.

Namun Bank Sampah yang diharapkan bisa menurunkan tumpukan sampah terutama plastik mengalami pasang surut.

Mustaqim (45), pengelola Instalasi Pengelolaan Sampah 3R Palembang mengatakan, kontribusi masyarakat terhadap Bank Sampah membuat mereka kesulitan untuk menggerakkan program ini.

Bank Sampah yang baru didirikan sejak 1,5 tahun terakhir, tidak mendapat respon baik dari warga sekitar. Mereka kesulitan untuk mendapatkan bahan baku, karena masyarakat masih enggan memilah sampah plastik yang masih bisa dijual dan sampah rumah tangga.

"Kita kekurangan bahan baku, persaingan juga ketat. Ada tempat lain yang sudah dibuat dari awal, jadi banyak juga yang ke sana. Warga juga masih malas untuk memilah jenis-jenis sampah," ujarnya kepada Liputan6.com, Jumat (26/4/2019).

Dari awal pendirian Bank Sampah, saat ini hanya beberapa warga saja yang memanfaatkan Bank Sampah. Yaitu dengan mengumpulkan sampah plastik jenis botol kemasan, lalu ditimbang dan hasil penjualan akan diambil sebulan sekali.

Untuk menutupi kekurangan bahan baku, mereka membeli sampah plastik botol kemasan ke pengepul hingga 4 ton per bulan. Bahan baku tersebut langsung dicacah dan dijual kembali ke pabrik pengolahan sampah plastik.

"Dalam satu kilogram, kita hanya untung Rp 1.000 atau Rp 1.500, itu jika beli di pengepul. Kalau di warga kan bisa lebih banyak untungnya, tapi masyarakat kurang berminat," katanya.

Instalasi Pengelolaan Sampah 3R Palembang ini juga kesulitan untuk memenuhi biaya operasi. Karena pengolahan sampah organik menjadi pupuk tidak terlalu diminati masyarakat.

<p><em><strong>* Ikuti Hitung Cepat atau Quick Count Hasil Pilpres 2019 dan Pemilu 2019 <a href="https://www.liputan6.com/pages/quick-count-pilpres-2019">di sini</a></strong></em></p>

2 dari 3 halaman

Pupuk dari Sampah

Dalam satu bulan, mereka mengelola sekitar sampah organik hingga menghasilkan 2 ton Pupuk Organik Padat (POP) dan 100 liter Pupuk Organik Cair (POC). Namun mereka sulit menjual pupuk organik hasil pengolahan sampah organik.

Meskipun dijual dengan harga yang sangat terjangkau, yaitu Rp 15.000 untuk 1,5 liter POC dan Rp 3.000 untuk 1 Kilogram POP, minat masyarakat juga sangat kurang.

"Jual pupuk seperti ini di perkotaan sangat sulit. Bahkan pernah dalam satu bulan, tidak ada yang membeli," ujarnya.

Program menurunkan volume sampah lainnya yaitu dengan memproduksi Bahan Bakar Gas (BBG) alternatif dari pengolahan sampah plastik, seperti kantong kresek yang lama terurai di tanah. BBG alternatif ini bisa menjadi alternatif pengisian gas elpiji.

"Tapi antara biaya produksi dan penjualan tidak seimbang. Mesin pengolahan sampah jadi minyak hanya berkapasitas 5 liter, yang membutuhkan biaya operasi sebesar Rp 40.000. Namun minyak yang dihasilkan hanya bisa terjual Rp 30.000. Ini yang juga menjadi kendala kami," katanya.

Diakuinya, program pengolahan sampah ini bisa menekan jumlah sampah yang akan dikirim ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), dari 3 unit truk sampah menjadi 2 unit truk sampah.

Namun jika hasil pengolahan sampah tak kunjung mendapat respon masyarakat, pengelola pun kebingungan untuk meneruskan usaha ini. Dalam satu bulan, pengelola instalasi ini harus mengeluarkan biaya operasi sekitar Rp 2,65 Juta.

"Untuk menutupi biaya operasional, kami memberlakukan pembayaran petugas sampah mandiri yang membawa gerobak. Jika ingin membuang sampah ke sini, mereka wajib bayar Rp 250.000 per bulan. Namun itu hanya ada 9 gerobak yang bayar," ujarnya.

3 dari 3 halaman

Budidaya Pakan Ternak

Diakuinya, hingga saat ini biaya awal pembangunan Pengolahan Instalasi Sampah 3R berasal dari dana pribadi Camat Kalidoni Arie Wijaya. Namun sampai sekarang, pemerintah belum mengucurkan bantuan untuk pengolahan sampah ini.

Mustaqim pun pesimis jika pengolahan sampah ini bisa berjalan dalam jangka waktu panjang. Namun dia berupaya untuk mengelola usaha lainnya, yaitu dengan membudidayakan ulat pangan untuk ternak.

"Kita masih uji coba untuk pangan ternak ini, karena bahannya juga dibeli dari luar kota. Kalau ini berhasil, mungkin Instalasi Pengolahan Sampah 3R ini bisa kembali berjalan. Jika tidak, kita juga bingung harus bagaimana lagi," katanya.

Camat Kalidoni Arie Wijaya mengungkapkan, di kawasan pengolahan sampah ini bisa menampung satu kontainer per harinya, namun mereka kesulitan memilah sampah dari masyarakat.

Program ini dinilainya baru sebatas edukasi saja, belum sampai pada tahap produksi besar-besaran. Kedepannya mereka harapakan bisa meningkatkan semua itu. Seperti pengembangbiakan ulat menggunakan sampah sisa sayur mentah untuk bahan makannya.

"Saya berharap tentunya dengan adanya usaha dan upaya seperti ini bisa menjadika terobosan baru bagi Pemkot Palembang sendiri. Khususnya mengelolah sampah sesuai jenisnya sehingga bisa bermanfaat kedepannya," ucapnya.

Video Terkini