Liputan6.com, Aceh - Aceh memang anomali. Fase sejarah yang dilewatinya terbilang pelik, kekayaan alam yang dimilikinya adalah magnet, budayanya melawan arus utama.
Serambi Makkah pernah melewati masa perang yang cukup lama, yang berkisar antara 1873-1904. Perang Aceh dengan Belanda selama 31 tahun itu tercatat sebagai salah satu dari 10 perang dengan durasi terlama di dunia.
Perang Aceh disandingkan dengan Perang Vietnam, Perang Besar Utara, Perang Punic Pertama, Perang Peloponesia, Perang Mawar, Perang 30 Tahun, Perang Saudara Guatemala Perang Yunani-Persia, dan Perang 100 Tahun.
Advertisement
Lepas dari rundungan Belanda, Aceh berhadapan dengan Jepang. Pascakemerdekaan, provinsi paling barat ini kembali bergejolak sebab Daud Beureueh memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1953.
Sebelumnya, juga sempat terjadi perang saudara, yang terkenal dengan sebutan 'Perang Cumbok'. Perang ini terjadi antara Kaum Ulee Balang (trah bangsawan) dengan ulama berkisar antara 1946-1947, tak lama setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.
Baca Juga
Belasan tahun kemudian, Hasan Tiro memproklamasikan berdirinya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kepada dunia dari Bukit Tjokkan, pada tanggal 4 Desember 1976. Kemudian, 28 tahun sesudahnya, Aceh damai, ditandai dengan ditandatanganinya nota kesepahaman RI-GAM pada 15 Agustus tahun 2005 lalu.
Dari segi kekayaan sumber daya alam, sejak dulu Aceh dikenal sebagai penghasil rempah. Pascakemerdekaan, Aceh tampil sebagai daerah produksi pertanian, kawasan kehutanan, penghasil mineral, dan bahan bakar.
Provinsi ini juga kaya akan minyak bumi dan gas. Daerah operasi migas berada di bagian utara dan timur meliputi daratan seluas 8.225,19 kilometer persegi dan di lepas pantai Selat Malaka 38.122,68 kilometer persegi.
Penelusuran Liputan6.com, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bersama lembaga riset geologi dan kelautan Jerman (BGR) beberapa tahun lalu mengungkap, terdapat potensi migas di timur laut Pulau Simeulue. Diprediksi, ini bisa menjadi penganti cadangan minyak Arun di Aceh Utara.
Cadangan migas dalam jumlah raksasa di cekungan busur muka Simeulue diperkirakan mencapai 320 miliar barel. Jumlah ini termasuk spektakuler dibanding Saudi Arabia yang mempunyai cadangan hanya sebesar 264,21 miliar barel.
Di samping berbagai kekayaan alam non logam di atas, Aceh memiliki bermacam-macam bahan galian logam. Cadangan emas yang ada di Nagan Raya diprediksi memiliki sumber daya sebesar 93 juta ton, yang terdiri dari 1,24 miliar pon tembaga, 373.000 ons emas, 5,7 juta perak, plus sebanyak 20 juta pon molibdenum.
Aceh juga memiliki beraneka ragam potensi sumber energi untuk pembangkit tenaga listrik terdiri dari potensi air, dan panas bumi, bahkan yang polutan sekali pun, seperti batubara. Ini tentu saja belum termasuk potensi sumber daya alam lainnya.
Â
Provinsi Garis Keras?
Jika dapat digambarkan, Aceh bak seorang puteri nan cantik jelita dengan kesempurnaan yang nirmala, di samping banyak mendapat kecaman karena dinilai terlalu konservatif terutama dalam hal menegakkan syariat. Nilai-nilai keislaman memang dominan di provinsi ini.
Lantas, seberapa 'garis keras' provinsi yang berada di ujung utara Pulau Sumatera ini? Mengingat, Mahfud MD belum lama ini melontarkan pernyataan Aceh termasuk salah satu provinsi yang dulunya diidentifikasi sebagai provinsi garis keras, selain Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan.
Pernyataan pakar hukum tata negara asal Madura itu keluar saat wawancara di salah satu stasiun tv nasional. Ia saat itu menjelaskan perihal kemenangan antara Jokowi dan Prabowo.
"Dan, itu diidentifikasi tempat kemenangan Pak Prabowo itu adalah diidentifikasi yang dulunya dianggap provinsi garis keras dalam hal agama misal Jawa Barat, Sumatera Barat, Aceh dan sebagainya, Sulawesi Selatan juga," begitu potongan wawancara Mahfud MD dalam video yang tersebar luas di media sosial.
Mahfud MD tidak sepenuhnya salah. Terlebih, mantan ketua Mahkamah Konstitusi yang pernah mengambil Jurusan Sastra Arab di Universitas Gadjah Mada (UGM) ini juga telah mengklarifikasi maksud dari lakab 'garis keras' tersebut.
Sebelumnya, telah disinggung bahwa nilai-nilai keislaman menjadi pedoman yang mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Aceh. Atas dasar agama pula, rakyat Aceh pernah mati-matian memperjuangkan tanah nenek moyang mereka dari cengkeraman penjajah.
Sejarah mencatat, Aceh satu-satunya daerah di Indonesia yang tidak pernah mengakui kedaulatan Hindia Belanda. Aceh disebut sebagai daerah modal bagi perjuangan bangsa Indonesia karena selama revolusi fisik, Aceh satu-satunya wilayah yang tidak dapat diduduki Belanda.
Belanda memang mendirikan benteng-benteng dan menjalankan roda pemerintahannya di Kutaraja. Namun, tak pernah secara de facto menguasai Aceh.
Siang malam, rencong pejuang Aceh masih mengincar prajurit marsose hingga petinggi Belanda. Pun sama, ketika Jepang yang dikira bersahabat memaksa rakyat Aceh melakukan ritual 'sekeirei', menyembah sang Tenno Heika.
Alasan Daud Beureuh memberontak dan berniat mendirikan Negara Islam di bawah kepemimpinan S.M Kartosoewirjo sedikit banyak juga karena hukum syariah dinilai telah dikebiri saat itu. Ketika Hasan Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), agama juga yang menjadi spiritnya.
"Aceh sedari dulunya merupakan pusat pengembang dakwah Islam dan penyebar nilai-nilai kebebasan. Ia tidak dapat membiarkan sebuah bangsa yang rakyatnya ditindas dan dikungkung oleh penguasanya," kata Ketua Ketua Center of Information for Samudra Pasai Heritage, Abdul Hamid, kepada Liputan6.com, Minggu malam (29/4/2019).
Sekali lagi, agama bagi rakyat Aceh adalah suplemen yang melahirkan spirit elementer perjuangan. Sang mair adalah kepastian, di mana jihad bermuara surga, demikian yang tersurah dalam bait 'Prang Sabi', hikayat sekaligus doktrin yang membuat Belanda mengambil sikap hendak memusnahkannya, layaknya tentara memberangus buku-buku berhaluan kiri.
"Namun sebagai mana ibadah lainnya, jihad juga memiliki syarat dan rukunnya, inilah yang membedakan jihad dangan penaklukan dan tindak barbarian," kata Hamid.
Â
Advertisement
Narasi Mahfud adalah Narasi Barat
Sosiolog, Affan Ramli, tidak setuju label Islam garis keras dikaitkan dengan kemenangan Prabowo-Sandi di Aceh. Baginya, rakyat Aceh punya kebiasaan yang cenderung keluar dari arus utama.
"Tidak bisa langsung dihubungkan dengan Islam garis keras. Aceh punya tradisi keluar dari arus utama. Misal, ketika masa Golkar mendominasi, di sini, PPP yang menang," kata kepada Liputan6.com, Minggu malam (29/4/2019).
"Tapi kalau dibilang orang Aceh punya imajinasi darul Islam, iya. Tradisi sufisme di Aceh concern pada isu-isu seperti ketidakadilan, dan kezaliman. Islam Aceh mengarah pada isu-isu akhlak komunal. Itu yang kemudian disebut dengan prinsip-prinsip negara darussalam," lanjutnya.
Belakangan, prinsip tersebut berubah. Pergeseran paradigma ini terjadi ketika prinsip darul Islam mulai diperkenalkan oleh Daud Beureueh yang saat itu bercita-cita mendirikan negara Islam ditandai dengan meletusnya pemberontakan DI/TII di Aceh.
Kendati telah redam, ekspektasi terbentuknya sebuah negara seperti imaji Daud Beureueh masih ada sampai saat ini. Kondisi ini melahirkan stigma yang menegasi bentuk negara lain yang dinilai tak memedomani Islam.
Selain itu, lakab 'garis keras' Mahfud MD dinilai tak ubah narasi orientalis yang dibangun dunia barat atas negara-negara Muslim. Salah satu contohnya, saat negara barat memberi label garis keras terhadap Iran, ketika negeri para Mullah itu berhasil mendirikan negara Islam.
"Mahfud dalam hal ini bias. Salah dalam membangun narasi. Mahfud salah satu representasi bagaimana elite pusat di Jakarta seringkali salah dalam memahami peristiwa politik di Aceh," tutup Affan.
Â
Simak video pilihan berikut ini: