Liputan6.com, Pekanbaru - Rencana pemindahan ibu kota negara kembali menjadi perbincangan hangat setelah Presiden Joko Widodo mewacanakan lagi beberapa waktu lalu. Rencana sejak zaman orde lama ini kemudian mengerucut ke tiga pulau, yaitu Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera.
Kalimantan mendapat peluang besar karena Presiden Sukarno pernah mengutarakan niat memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Palangkaraya. Posisinya juga diuntungkan karena berada di tengah-tengah lima pulau terbesar di Indonesia.
Namun begitu, Pulau Sumatra tidak bisa dilupakan, khususnya daerah di pantai timur yang meliputi sebagian Sumatera Utara dan Riau. Terutama Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu punya sumbangsih besar terhadap kemerdekaan RI.
Advertisement
Baca Juga
Dari segi bahasa, Melayu menjadi cikal bakal bahasa Indonesia. Jika pilihan jatuh ke Riau, khususnya Pekanbaru sebagai ibu kota, bahasa takkan menjadi kendala berarti karena bahasanya mudah dipahami oleh warga daerah lain yang nantinya menjadi pendatang.
Di sisi lain, Siak sebagai salah satu kerajaan terbesar di Riau pernah memberi modal kepada Sukarno untuk perjuangan Indonesia setelah merdeka. Sultan Syarif Kasim II menyerahkan uang sekitar 13 juta Gulden Belanda atau setara dengan Rp1.000 triliun.
Tak hanya uang, Kerajaan Siak juga menyatakan wilayah kekuasaannya yang meliputi Melayu Deli, Serdang, Bedagai, hingga Provinsi Riau dan Kepulauan Riau, masuk ke Indonesia.
Wacana pemindahan ibu kota negara oleh Presiden Joko Widodo mendapat apresiasi dari Datuk Allah Azhar, Ketua Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu Riau. Dia pun mengulas seberapa besar peluang Riau dipilih menjadi ibu kota negara.
Berbicara Sumatera bagian tengah tadi, Al Azhar menyebut peluang Medan sangat kecil karena pemindahan ibu kota ke sana sama saja dengan membuat Jakarta baru. Pasalnya, Medan selama ini merupakan salah satu kota paling padat di Pulau Sumatra.
"Sementara Langkat, Deli Serdang sudah menjadi kota satelit dari Medan, ibarat Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi," katanya, Kamis (2/5/2019).
Â
Jalur Perdagangan Internasional
Khusus Riau, terang Al Azhar, dalam berbagai segi punya alasan kuat untuk terpilih. Pertama, Riau punya Pulau Bengkalis, Rangsang, Rupat, Selat Panjang, dan Kota Dumai sebagai kawasan terdepan jalur perdagangan internasional.
Kawasan tersebut masuk dalam zona ekonomi ekslusif dan dekat dengan Selat Malaka sebagai jalur perdagangan ramai kedua di dunia. Sejak dahulu, selat ini menjadi pusat globalisasi dengan perdagangan emas dan rempah-rempahnya.
"Dan selama ini, keuntungan Indonesia di sana sangat kecil. Paling diuntungkan pertama adalah Singapura dan kedua Malaysia. Bisa jadi dengan pemilihan Riau (sebagai ibu kota), keuntungan akan besar karena menjadi pusat," terang Allah Azhar.
Potensi kedua, Riau terbuka untuk pembangunan kawasan pelabuhan internasional dengan geografisnya yang dekat dengan negara ASEAN lainnya. Ada empat sungai besar, seperti Siak dan Kampar yang bermuara ke Selat Malaka.
Misalnya di Siak, saat ini ada pelabuhan peti kemas perusahaan bubur kertas. Begitu juga halnya dengan kawasan Putong yang punya pelabuhan tersendiri. Sama halnya dengan pelabuhan Kota Dumai yang bisa diproyeksikan sebagai pelabuhan antar-Samudera.
"Jadi kalau dilihat dari sisi perdagangan, Riau itu berada di pusatnya. Beda halnya kalau dilihat dari peta Indonesia yang memang berada di barat, sehingga jauh dengan Pulau Sulawesi dan Papua," jelas Al Azhar.
Peluang Riau juga sangat terbuka dengan rencana strategis Presiden Jokowi soal pembangunan Tol Trans Sumatera dan rel kereta api. Keduanya kalau selesai dibangun akan menjadikan Riau sebagai pusat jaringan.
"Kemudian tanah di Riau itu masih luas, walaupun sebagian besar sudah berizin untuk kepentingan perkebunan dan hutan tanaman industri," sebut Al Azhar.
Â
Â
Advertisement
Melayu Budaya yang Encer
Dari segi budaya, Al Azhar menyatakan Melayu itu sangat kuat. Melayu secara budaya tidak hanya dipandang secara lokal, tetapi sudah global karena ada beberapa negara juga satu rumpun dengan Riau.
Melayu sejak zaman dahulu punya kemampuan adaptasi serta menyaring perkembangan serta kemajuan teknologi, sehingga tidak ada kekhawatiran terjadinya kesenjangan menghadapi perubahan.
"Melayu itu budaya yang encer dan sangat berpotensi survive di tengah kemajuan teknologi yang cepat berubah, ada mekanisme adaptasi tinggi di kebudayaan Melayu," ungkap Al Azhar.
Al Azhar sendiri adalah orang yang menolak anggapan yang menyebut sebuah budaya merupakan hal yang terbelakang ataupun primitif. Menurutnya, pemahaman budaya primitif dilakukan orang yang tidak pernah memahami sebuah kebudayaan.
"Menganggap sebuah budaya tidak kuat, berarti belum memahaminya secara jauh. Tidak ada yang primitif, itu karena belum masuk lebih jauh saja," tegas Al Azhar.
Terlepas daerah mana nantinya ditunjuk sebagai ibu kota negara baru, Al Azhar menyebut permasalahan penting bagi Riau itu adalah keadilan serta perlakuan penguasa di pusat memperlakukan Riau sejak dahulu.
"Kalau ditunjuk Riau jadi ibu kota negara ya silahkan, kalau tidak yang bisa dimaklumi. Namun terlepas terpilih dan tidaknya itu, yang penting itu adalah keadilan pusat terhadap Riau," imbuh Al Azhar.
Salah satu contoh keadilan yang tidak didapat Riau itu, sebut Al Azhar, tidak seimbangnya infrastruktur di Riau dengan apa yang telah disumbangkan selama ini. Riau dari dahulu dikenal dengan penyumbang minyak dan gas terbesar di Indonesia.
"Itu tidak seimbang dengan yang Riau terima, itu poin pentingnya. Itu contoh ketidakadilan yang dirasakan," sebut Al Azhar.
Al Azhar berharap tembok pemisah antara daerah dan pusat itu dirobohkan. Sudah saatnya pemerintah pusat membangun "jembatan" yang mengintegrasikan setiap daerah sehingga semua daerah mendapat perhatian yang sama.
Â
Simak video pilihan berikut ini: