Liputan6.com, Blora - Ada satu panggilan di Kabupaten Blora, Jawa Tengah yang terdengar tak biasa di telinga masyarakat pada umumnya. Sapaan itu adalah 'Tro'.
Usut punya usut, 'Tro' itu adalah akronim dari Mitro, yang berarti dulur atau rekan yang sangat akrab dan dekat sehingga hubungan emosionalnya seperti keluarga sendiri. Panggilan 'Tro' kemudian sangat populer digunakan oleh masyarakat di Blora sebagai dieksis persona atau kata ganti orang kedua (jamak) dan juga sebagai kata panggilan.
Sapaan 'Tro' pun semakin menjamur dalam bahasa pergaulan, mulai dari obrolan sehari-hari sampai salam pembuka dalam acara resmi, ketika anak muda maupun yang lebih tua menegur seseorang di jalan, warung kopi, bahkan juga ketika berada di kebun dan tempat-tempat lainnya.
Advertisement
Kata 'Tro' dianggap sebagai sapaan yang cukup nyaman dan biasa digunakan oleh masyarakat hingga sekarang ini, baik untuk lelaki maupun perempuan. Dalam penerjemahan sederhana, kata 'Tro' memang bisa diartikan sebagai teman-teman.
Baca Juga
Setelah diselisik kata 'Tro' mulanya dipopulerkan di Blora sekitar tahun 2007 hingga 2010 oleh mantan Bupati Blora yang bernama R.M. Yudhi Sancoyo pada masa jabatannya.
Tokoh ini merupakan seorang orator handal yang memulai karir dari bawah dengan menjadi seorang juru penerang di Departemen Penerangan yang kemudian beralih memilih berkarir dalam bidang politik yang mengantarkannya menjadi tokoh yang dikenal banyak orang.
Saat memberikan sambutan maupun saat menyapa, sapaan 'Tro' sering ia gunakan. Itu membuat mantan bupati Blora ini merasa lebih dekat dengan masyarakat baik saat masih menjabat maupun ketika menjadi orator dalam kampanye terbuka.
"Setelah secara batin dan emosional menjadi dekat maka memudahkan untuk menyampaikan visi, misi maupun program pemerintah Kabupaten Blora waktu itu," kata Yudhi kepada Liputan6.com, Rabu, 1 Mei 2019.
Yudhi tidak pernah menyangka bahwa sapaan itu kemudian akan menjadi panggilan akrab untuk masyarakat di Kabupaten Blora. Menurut dia, sapaan Tro itu menghilangkan batasan antara seorang pejabat dengan masyarakat yang dipimpinnya.
"Panggilan 'Tro' juga meniadakan kesan atasan dan bawahan, rakyat dengan pejabat. Semua terasa menjadi kawan akrab bahkan seperti keluarga dekat," Yudhi Sancoyo mengungkapkan pada akhir pembicaraan.
Saksikan juga video menarik berikut ini:
Panggilan 'Tro' Lebih Mengakar
Sementara itu, menurut salah seorang aktivis dan pengurus Partai Politik Golkar Kecamatan Blora, Maryono, panggilan Tro juga diadopsi oleh tokoh politik dari beragam partai.
"Pak Yudhi dulu sering menggunakan kata 'Tro' dalam kampanye tetapi kenyataannya panggilan 'Tro' itu kemudian meluas juga ke warung-warung kopi sehingga sangat populer dan merakyat," katanya.
Menurut salah seorang pengajar dari SMP 3 Ngawen Blora, Tri Martana, tidak mudah membuat panggilan seperti 'Tro' karena ia harus punya akar kultural dalam masyarakat sehingga menjadi fungsional secara komunikasi.
"Yang tidak kalah sulit adalah bagaimana panggilan itu secara etis memenuhi standar moral, adat ketimuran dan keagamaan. Ada panggilan yang seakan-akan akrab tapi secara etis kurang, misalnya 'Cuk'. Ada juga panggilan 'Bro' tetapi itu tidak berakar dari budaya kita," jelasnya.
Advertisement