Liputan6.com, Garut Kisah mengharukan datang dari Erwin Utama (9), siswa kelas 2 Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al Muttaqin, Desa Cinta Nagara Kecamatan Cisurupan, Garut, Jawa Barat. Dia rela menggendong gerobak siomay untuk menghidupi biaya sekolahnya.
Langkahnya yang gontai akibat beban gerobak yang harus ia bawa, tak mengendurkan semangatnya untuk tetap belajar ke sekolah. Sesekali ia nampak berhenti sambil menghela nafas panjang, akibat beban berat gerobak yang ia bawa dari rumahnya yang berjarak sekitar 200 meter dengan halaman sekolah.
Ibarat si Budi dalam lirik nyanyian balada Iwan Fals yang berjualan koran. Nasib Erwin pun tak jauh berbeda, ia harus merelakan masa kecil yang indah bermain bersama anak sejawatnya, diharus ditukar dengan beban penderiaan yang ia rasakan sejak dini.
Advertisement
Bahkan tak jarang ledekan, cibiran bahkan sekedar senda gurau, kerap ia kerap ia dapatkan saat berjualan dagangan siomay ke teman sejawatnya, di halaman sekolah yang selama ini ia tempati.
“Jualan saat istirahat saja,” ujar dia sambil melayani pembeli yang sebagian besar siswa MI, yang selama ini menjadi rekan sejawatnya di sekolah tersebut Jumat (3/5/2019).
Menurutnya, ihtiar jualan siomay milik tetangganya, terpaksa Erwin tempuh untuk mendapatkan uang jajan demi meringankan beban orang tuanya sebagai petani. Meski terbilang mungil, namun badannya sanggup membawa gerobak yang diperkirakan seberat tubunya itu.
Baginya, perjuangan itu sungguh mulia tanpa harus menambah beban orang tua. Bahkan selama jualan, Erwin tidak pernah tercatat bolos sekolah, akibat aktifitas niaganya itu. “Kalau ada pelajaran saya masuk dulu,” ujarnya.
Dengan sistem jualan berdasarkan presentase dari sang pemilik gerobak, ia mengaku hanya mendapatkan jatah keuntungan sebesar 30 persen, dari seluruh dagangan siomay yang berhasil ia jual. “Kadang dapat Rp 5 ribu, atau Rp 6 ribu, uangnya buat jajan,” ujar dia sambil tersenyum ramah.
Tekad Kuat
Kepala Sekolah MI Al Muttaqin, Isop Sopiah, mengaku bangga dengan perjuangan anak pasangan Imas dan Uyus Isnaeni ini, namun hal itu tidak bisa menghentikan kewajiban dirinya untuk tetap belajar. “Waktunya belajar ya harus belajar, kalau istirahat baru bisa jualan," katanya.
Awalnya ia terenyuh melihat perjuangan yang dilakukan salah satu siswa didiknya, beberapa kali dirinya meminta Erwin untuk berhenti berjualan, namun tekad kuatnya meluluhkan seluruh rayuan yang datang. “Tidak tega juga,” kata dia.
Meskipun penderitaan belum reda setelah berjualan, namun semangatnya tetap membara, ia nampak bersemangat melanjutkan mata pelajaran di ruang kelas sekolah, untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dari guru yang membimbingnya.
Setali mata uang dengan beban hidup Erwin, kondisi sekolahnya tempat belajar selama ini, ternyata sangat mengkhawatirkan dan tidak layak pakai. Terlihat beberapa kerusakan terjadi di beberapa ruangan tempat belajar siswa.
Nampak plester tembok dinding ruangan kelas terlihat terkelupas, namun minimnya anggaran pendidikan yang dimiliki pihak sekolah, menyebabkan pengelola sulit melakukan sejumlah perbaikan.
Tal ayal Erwin bersama rekan sejawatnya, terkadang belajar dengan lesehan, akibat tidak adanya bangku dan kursi untuk menulis. “Saya sudah laporkan ke Kementerian Agama, namun sampai saat ini belaum ada respon juga,” ujarnya.
Advertisement