Sukses

Madura Kejawan, Orang Madura Berbahasa Jawa

Mereka -orang Madura yang tak akrab dengan bahasa Madura ini-- disebut Madura Kejawan.

Liputan6.com, Bangkalan - Dusun Jarat Lanjang di Pulau Madura sungguh unik. Meski penduduknya 100 persen berdarah Madura, namun mayoritas tidak fasih berbahasa Madura. Bahasa Jawa justru menjadi 'bahasa ibu', dipraktikkan mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi, dari balita sampai manula. Mereka -orang Madura yang tak akrab dengan bahasa Madura ini-- disebut Madura Kejawan.

Secara administratif, Jarat Lanjang masuk wilayah Desa Sukolilo di Kecamatan Labang, sebelah selatan Kabupaten Bangkalan, masuk kawasan kaki jembatan Suramadu. 80 persen penduduknya adalah nelayan. Sisanya jadi pegawai, guru dan pedagang. Letak geografis ini punya kaitan erat dengan membudayanya bahasa jawa di dusun yang luasnya seukuran lapangan sepakbola itu.

"Di sini anak yang baru lahir langsung berbahasa Jawa," kata Sofyan Hadi, warga Jarat Lanjang, menggambarkan betapa akrabnya mereka dengan bahasa yang identik dengan medok ini.

Pria 41 tahun ini memakai istilah Jawa "Ingsun Siro" sebagai ciri khas bahasa Jawa yang dipakai dalam percakapan Madura Kejawan. Sekaligus pembeda dengan bahasa Jawa suroboyoan atau Jawa halus yang biasa dipakai orang Jawa Tengah maupun Jogjakarta.

"Kalau di Surabaya, saya itu Kulo, kami pakai ingsun. Untuk kata kamu, kami pakai Siro, sementara Surabaya itu koen. Untuk uang kami menyebutnya Icis bukan Duwet," Sofyan menerangkan.

Perbedaan lain pada logat, bahasa Jawa Madura Kejawan tidak 'ngebas' seperti umumnya gaya bicara orang Jawa. Susunan kalimatnya juga berbeda, struktur Madura Kejawan adalah bahasa Madura yang dijawakan.

"Siro merene pek laku OPO? (kamu kesini untuk apa?) Kalau bahasa suroboyoan bentuknya begini, awakmu merene apela OPO?," Lulusan STIKP Bangkalan ini memberi contoh.

 

2 dari 4 halaman

Bukan hanya di Jarat Lanjang

Madura Kejawan bukan hanya di Jarat Lanjang. Ahmadi, pemuka agama dan tokoh masyarakat di sana menyebut setidaknya ada enam dusun atau desa 'kejawan' di Bangkalan. Dua desa di Kecamatan Socah, dua desa di Kecamatan Labang dan dua dusun di Kecamatan Kamal.

Di Socah ada Desa Junganyar dan Dusun Kejawan di Desa Socah. Di Kamal ada Kampung Kejawan dan Desa Tanjung Jati. Di Labang sendiri selain Jarat Panjang, juga ada dusun Kejawan di Desa Sukolilo Timur.

"Di semua desa itu, bahasa Jawa jadi bahasa sehari-hari," tutur Ahmadi.

Di Bangkalan dan di banyak daerah lain di Indonesia ada kampung yang identik dengan identikan etnis tertentu misalnya Pecinan. Istilah ini jadi penanda bahwa kampung itu mayoritas warganya merupakan cina pribumi.

Namun menurut Ahmadi, Madura Kejawan berbeda dengan Pecinan. Dia menegaskan Madura Kejawan adalah orang Madura asli dan bukan keturunan orang Jawa. "Kalau lebaran kami tidak mudik ke Jawa, leluhur kami orang Madura, tidak punya leluhur di Jawa," ucap dia.

Bila kemampuan berbahasa Jawa warga Jarat Lanjang merata, sebaliknya kemampuan berbahasa Madura terbagi dalam tiga kategori: ada yang fasih, hanya bisa dan sama sekali tidak bisa. Mereka yang fasih bahasa jawa dan madura sekaligus mayoritas sudah manula. Yang muda, tentu fasih berbahasa Jawa, namun sebagian tidak bisa bahasa madura, mereka hanya sebatas mengerti bila orang berbahasa Madura namun sendirinya sulit berkacapa pakai bahasa madura.

Sementara yang masih belia rata-rata tak bisa berbahasa Madura. Mereka umumnya belajar bahasa Madura otodidak di sekolah karena bergaul dengan anak-anak dari desa lain. Karena otodidak, mereka kikuk bahkan tak bisa bahasa Madura halus.

"Istri saya tidak bisa bahasa Madura, tapi paham kalau ada orang bicara Madura, kalau Madura halus sama sekali gak faham dia," ungkap Sofyan.

 

3 dari 4 halaman

Bahasa warisan tentara Majapahit

Cerita umum di Jarat Lanjang dan diyakini bahkan menjadi cerita rakyat turun temurun. Kepiawaian berbahasa jawa di kampung 'madura kejawan' adalah warisan tentara Majapahit yang kalah perang dan melarikan diri ke Madura.

Namun mereka tidak tahu saat itu Majapahit dipimpin siapa dan melarikan diri karena kalah dalam perang apa. Dalam sejumlah literatur, salah satu cerita pasukan majapahit lari ke Madura saat Majapahit dipimpin Raden Wijaya.

Menurut Ahmadi, Jung anyar di Kecamatan Socah adalah Desa pertama yang ditempati pasukan Majapahit begitu berhasil mencapai pulau Madura. Setelah bermukim lama, mereka pindah ke Desa Socah, mereka menempati satu kampung yang hingga kini disebut kampung Kejawan.

Dari Socah mereka pindah ke Kamal, juga daerah pesisir Bangkalan. Mereka menyebar di desa Kamal dan Tanjung Jati. Dari Kamal inilah mereka ke Kecamatan Labang, tepatnya di Desa Sukolilo dan menempati dua kawasan yang kemudian di kenal dengan nama Dusun Jarat Lanjang dan Kejawan.

Dinamai jarat lanjang karena di kampung itu terdapat tiga makam kuno dengan panjang tiga meter lengkap dengan parasastinya. Kuburan itu diyakini peninggalan tentara Majapahit.

Ahmadi menduga tentara Majapahit itu bermukim lama sebelum memutuskan pindah ke daerah lain. situasi itu membuat orang-orang pribumi Madura, perlahan-lahan belajar bahasa Jawa dan kemudian keterusan menjadi bahasa percakapan sehari-hari karena mungkin ada tentara Majapahit yang memilih menetap.

"Begitu cerita yang saya dengar dari guru saya," tutur Ahmadi yang kini berusia 75 tahun.

Jarat lanjang adalah tempat migrasi terakhir sisa pasukan Majapahit itu di Bangkalan. Mereka kemudian menyeberang ke daerah Kenjeran di Surabaya dan menetap di satu desa bernama Sukolilo.

"Entah bagaimana ceritanya saya kurang paham, Nama Sukolilo di Kenjeran juga menjadi nama desa Sukolilo di Bangkalan," ungkap Ahmadi.

Menurut Ahmadi, warga Sukolilo Kenjeran merupakan satu-satunya wilayah di Surabaya yang tetap memakai bahasa Jawa 'ingsun Siro'. Namun kini mulai pudar karena terpengaruh bahasa Jawa suroboyoan. "Bawean juga masih pakai bahasa jawa Ingsun Siro". katanya.

 

4 dari 4 halaman

MCK dan Sampah jadi masalah

Seperti kebanyakan kampung nelayan, pemukiman di Jarat Lanjang sangat padat. banyak sepeda motor diparkir di lorong karena tak bisa dimasukkan ke dalam rumah pemiliknya. dermaga, tempat perahu nelayan ditambatkan terletak di belakangan pemukiman. tangkapan utamanya adalah udang.

Tiap selesai melaut, nelayan memasukkan segenggam udang hasil tangkapannya ke dalam ember di pinggir dermaga. "itu semacam pajak," kata Ahmadi. Ahmadi jugalah yang bertugas mengumpulkan udang itu untuk kemudian dijual ke pasar. uang hasil penjualan lalu dicatat dan dikumpulkan. bila dermaga butuh peremajaan, uang itulah yang dipakai membeli bahan yang dibutuhkan.

Dari ujung dermaga, jembatan suramadu terlihat jelas. pemadangan sore hari sangat mengesankan. Menurut Sofyan, pada hari tertentu terdengar suara tembakan. maklum dusun ini berbatasan langsung dengan Labinsen, tempat pembuatan amunisi milik TNI.

Sayang berlama-lama di dermaga agak terasa ganjil, karena cukup banyak warga hilir mudik ke dermaga. namun bukan untuk menikmati senja melainkan untuk buang hajat. kakusnya hanya berupa dinding semen setengah badan dan tak beratap. Menurut Sofyan, masih banyak warga belum punya kakus sendiri.

"Kalau bulan puasa yang asik, habis berbuka yang ke kakus antri, riuh sekali kayak pasar," kata Sofyan sembari tertawa.

Masalah lain adalah sampah. tepi pantainya tertutup timbunan sampah. dan itu bukan sampah kiriman dari Australia, tapi sampah rumah tangga, Sofyan mengakuinya. Kalau masalah MCK dan sampah itu diatasi, senja akan lebih indah di pesisir Jarat Lanjang.

 

Video Terkini