Liputan6.com, Aceh - Bercak air di dinding tampak kentara. Warna cat terlihat kusam dan mengelupas di beberapa bagian, pertanda usia bangunan itu tak lagi muda.
Papan deret ditata tak simetris mengayomi teras bangunan. Sebuah kubah bertumpang limas dan bawang yang diapit dua kubah limasan berdiri di atasnya.
Baca Juga
Kubah utama juga berbentuk limas dihiasai lisplang kerawang setiap sisinya. Pola lengkungan lisplang berbahan kayu yang menjuntai di pinggiran kubah menampilkan kesan artistik.
Advertisement
Masing-masing kubah memiliki mustaka yang menjulang tanpa hiasan bulan bintang di atasnya. Mustaka kubah utama didesain mirip obelisk dihiasi bulatan berhentuk vas dengan tongkat kecil di atasnya.
Arsitektur bangunan semakin terlihat indah dengan adanya minaret. Tempat sang muazin menyerukan azan yang berada di sisi kanan atas mihrab.
Dinding dalam bangunan bercat hijau 'medium aqua marine' dengan langit-langit yang dibiarkan terbuka. Sebuah tiang kayu terpacak di tengah, menyangga kuda-kuda bangunan masjid tua itu.
Tiga buah ceruk yang merupakan mihrab dibangun permanen. Tengahnya berbentuk undakan, tempat khatib berkotbah.
Bangunan semi permanen yang merupakan Masjid Gunong Kleng ini didominasi kayu. Namun tak rusak dimakan zaman semenjak dibangun pada 1927 silam.
Masjid ini dahulu kala menjadi tempat ibadah sekaligus dakwah orang Aceh. Para musafir sering beristirahat di rumah ibadah yang pada masa itu bernama Masjid Nurul Hidayah.
Tak Bisa Dirobohkan
Masjid bersejarah ini dibangun secara swadaya atas prakarsa ulama setempat. Desain masjid katanya direplikasi dari Masjid Baiturrahman yang ada di Banda Aceh, meski hasilnya tidak mirip.
Di antara para ulama yang membangun masjid tersebut adalah Tengku Arsyad dan Tengku Tayeb. Keduanya bersama rombongan saat itu menuju Kutaraja, sekarang Banda Aceh, untuk melihat langsung dan mempelajari bentuk Masjid Baiturrahman.
"Warga masyarakat Desa Gunong Kleng. Tokoh-tokoh zaman dulu. Tengku-tengku atau ulama-ulama zaman dulu yang membangun," sebut kepala desa setempat, Zulkifli (55), kepada Liputan6.com, Senin (13/5/2019).
Kayu untuk kontruksi masjid adalah kayu ketapang (Terminali catappa), sementara tiang utama terbuat dari kayu merbau (Intsia bijuga). Bahannya diambil dari hutan desa setempat.
Jumlah kubah masjid tersebut sengaja dibangun sebanyak lima buah, termasuk kubah minaret. Lima kubah disebut juga 'Tampong limong', merujuk pada hukum Islam, yakni, syahadat, salat, zakat, puasa, dan berhaji bagi yang mampu.
Setengah bangunan jajar genjang berdinding beton, terbuat dari adonan pasir dan putih telur, dengan ketinggian dari tanah sekitar setengah meter lebih. Selebihnya berdinding papan beratapkan seng.
Karamah para ulama yang membangun masjid dipercaya membuat umur bangunan terjaga. Masjid tersebut masih kokoh berdiri meski telah berumur hampir 100 tahun, padahal tidak pernah direnovasi, kecuali atapnya.
"Kalau diminta hujan-hujan, kalau kemarau-kemarau," Zulkifli bercerita soal karamah para ulama yang membangun masjid tersebut.
Di depan Masjid Gunong Kleng telah dibangun masjid baru yang ukurannya jauh lebih besar. Konon, warga pernah berusaha merobohkan masjid tersebut untuk memperluas bangunan masjid yang baru, namun gagal.
Advertisement
Eksis Hingga Kini
Masjid tersebut menjadi sentral peribadatan pada masanya. Selain juga menjadi tempat singgah musafir yang datang dari arah selatan Aceh.
"Ada beberapa desa yang salat di situ. Desa Peunaga Pasi, Peunaga Cut, Peunaga Rayeuk ke situ sembahyang," sebut Zulkifli.
Belanda pada awalnya menduga masjid tersebut istana kecil. Tak jarang serdadu Belanda dan Jepang saat itu beristirahat di masjid tersebut.
Masjid Gunong Kleng terletak di pinggir jalan nasional Meulaboh-Tapak Tuan, atau sekitar 8 kilometer dari pusat kota. Tepatnya di sebelah kanan jembatan tak jauh dari persimpangan Alue Peunyareng menuju Kampus Universitas Teuku Umar (UTU).
Tak ada tanda khusus bahwa masjid tersebut merupakan peninggalan bersejarah. Kecuali sebuah plang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menjelaskan bahwa masjid tersebut merupakan situs cagar budaya.
Masjid ini sejatinya mewakili perkembangan masjid tradisional dari masa ke masa. Terutama bentuk atap tumpang dan kubah dengan polesan arsitektur tradisional yang akulturatif antara motif hias lokal dengan ajaran Islam.
Simak juga video pilihan berikut ini: