Liputan6.com, Jayapura - Gedung tingkat tiga yang terletak di Jalan Percetakan Negara nomor 126, Kota Jayapura, tak lagi terlihat seperti masjid. Bangunan dominasi warna hijau, sepintas lebih mirip gedung sekolah bertingkat. Padahal, di lantai tiga bangunan itu terdapat Masjid Jami’, masjid tertua di Kota Jayapura.
Berdiri di atas lahan seluas 1.440 meter persegi, Masjid Jami’ berukuran luas 12 x 12 meter dibangun pada 1943, tepatnya saat Belanda masih menguasai tanah Papua.
Pasang surut Masjid Jami’ terjadi beberapa kali. Bahkan, Masjid Jami’ pernah ditinggali jemaahnya yang kebanyakan pekerja buruh Pelabuhan Jayapura.
Advertisement
"Dulu, depan Masjid Jami’ ilalang tumbuh setinggi tubuh orang dewasa, bahkan menyerupai semak belukar. Tak seperti saat ini, terlihat lebih terang, tanpa ilalang," kata Ketua Takmir Masjid Jami’ Kota Jayapura, H. Suyono.
Baca Juga
Lelaki paruh baya ini pun bertahan menjaga masjid yang telah diubah tiga kali pada zamannya. Walau tak lagi menyerupai bentuk aslinya, Masjid Jami’ tak pernah ditinggalkan jemaahnya.
"Saat salat Jumat, pasti masjid ini penuh, 400-an umat bisa salat di masjid ini. Penuh sampai saat ini," kata Suyono.
Dulu, kata Suyono, Masjid Jami’ menjadi satu-satunya tempat ibadah bagi buruh kasar di Pelabuhan Jayapura atau pedagang kaki lima dan pekerja di toko yang terletak di jantung Kota Jayapura. Sampai saat ini pun, Masjid Jami’ masih didatangi oleh pekerja toko atau masyarakat di sekitarnya.
Suyono mengisahkan, zaman Holandia dulu, banyak buruh pelabuhan yang bergeser lokasi kerjanya ke daerah Abe Pantai dan Masjid Jami’ makin jarang dikunjungi. Akibat dari perpindahan itu, buruh pelabuhan dan masyarakat Muslim di daerah Abe Pantai membangun masjid sendiri bernama Masjid Al Fatah, di situlah masjid kedua dibangun di Kota Jayapura.
Dengan berkembangnya penduduk, akhirnya pada 1975, pemerintah membangun Masjid Raya Baiturrahim di Paldam, Kota Jayapura. Dengan berdirinya Masjid Raya Baiturrahim, pelaksanaan salat Jumat yang sebelumnya dilakukan di Masjid Jami’ sempat dihentikan, dengan maksud semua jemaah dapat berkumpul di masjid terbesar di Kota Jayapura.
Letak Masjid Jami' dan Masjid Raya Baiturrahim memang hanya 200-an meter, jemaah masjid Jami' tinggal menyeberang untuk menuju Masjid Raya Baiturrahim.
Tak ingin hanya kenangan, Suyono bersama dengan pengurus Masjid Jami’ pada 1996 mendatangi Binmas Islam Departemen Agama Irian Jaya, meminta agar salat Jumat tetap diadakan di Masjid Jami’.
Saat itu, Kepala Bidang Binmas Islam mempersilahkan keinginan pengurus masjid dan akhirnya sampai saat ini salat Jumat dan tarawih tetap dilaksanakan di Masjid Jami’.
Berkembang Bersama Pendidikan
Kesan keramat Masjid Jami’ lebih kepada umurnya yang mencapai 76 tahun. Dalam bentuk fisiknya, Masjid Jami’ masih semringah, mungkin karena dikelilingi banyak candaan dan tawa gembira dari siswa SD dan SMP di komplek yang dipagari itu.
Jalan tangga ke atas lantai 3 menuju masjid itu pun banyak ditanami pepohonan yang diletakkan dalam wadah pot. Suasana tampak asri di sekitaran Masjid Jami’.
Suyono menyebutkan untuk operasional masjid ditangani oleh Nahdatul Ulama (NU) dan kantor NU Papua pun menempel jadi satu, bersama dengan Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif, sebagai yayasan pengembangan pendidikan.
Awalnya, LP Ma’arif mendirikan Madrasah Diniyah pada 1966. Dua tahun kemudian nama Madrasah Diniyah berganti menjadi Madrasah Ibtidaiyah pada tahun 1968, lalu dikembangkan juga SD Nurul Huda pada tahun 1970 dan pada 1985 terbentuklah SMP Nurul Huda.
Karena peminat sekolah makin tinggi, LP Ma’arif mendirikan SD Nurul Huda II yang sampai saat ini aktivitas belajar dan mengajarnya masih menumpang di Masjid Raya Baiturrahim.
Kata Suyono, dalam prosesnya, Yapis membantu LP Ma’arif dalam izin operasi sekolah. Namun, tanah dan bangunan tetap milik LP Ma’arif.
"Di dalam kompleks Masjid Jami’ juga banyak organisasi yang bernaung, ada NU, ada Muhammadiyah, ada organisasi Islam lainnya, semua jadi satu. Perkembangan zaman cepat dan pemahamannya ya seperti itu, semua akur saja," jelasnya.
Dengan banyaknya peminat pelajar di sekolah itu, lambat laun Masjid Jami’ dibongkar total dan berpindah lokasi ke lantai 3 bangunan itu. Saran dan pendapat terkait pemindahan masjid ke lantai tiga, dimaksudkan agar siswa sekolah tak mengganggu waktu sembahyang jemaah.
"Saran dari sesepuh masjid, karena enggak mungkin masjid berada di bawah, sementara sekolah berada di atas. Tidak etis lah," kata Suyono.
Saat itu, tahun 1985, bersamaan dengan berdirinya SMP Nurul Huda, pemindahan Masjid Jami’ dilakukan atas swadaya masyarakat Muslim yang peduli. Awalnya renovasi pada bagian atap masjid, karena banyak yang bocor, lalu dibongkar total.
Bangunan Masjid Jami' saat ini dipagari keliling dengan teralis besi, menghindari pencuri yang banyak masuk mengincar kotak amal di dalam masjid.
"Pencuri sudah tiga kali masuk ke dalam masjid, mencari kotak amal. Walaupun sudah diteralis, dikunci, pencuri tetap biasa masuk lewat samping tangga belakang. Kadang juga pencuri nyongkel kunci. Palingan tetangga dekat yang iseng, walaupun pelaku belum pernah tertangkap," kata Suyono.
Suyono dan pengurus masjid lainnya berencana kembali memindahkan Masjid Jami’ ke lokasi semula, atau di bawah dan terpisah dari gedung sekolah. "Wacana ini sudah dua kali ada, bahkan PBNU mau buat permanen masjidnya. Kenyataannya, sampai hari ini rencana itu belum juga terealisasi," dia menandaskan.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement