Sukses

Cerita Pengusaha Garut Banting Setir Mengelola Pesantren

Berawal dari mimpi anaknya yang terus menerus untuk dibangunkan pesantren tahfiz, akhirnya Aceng Sayyid Zaman, pengusaha perabotan dapur banting setir membuka pesantren tahfiz Alquran.

Liputan6.com Garut Mimpi yang kerap dialami salah satu anaknya, untuk membangun pesantren tahfiz Al-Quran, mendorong Aceng Sayyid Zaman (45), seorang pengusaha perabotan dapur, asal Garut, Jawa Barat, banting setir mendirikan pesantren Tahfiz al-Zamani.

Posisinya yang tengah daun dalam menggerakan usaha perabotan dapur rumah tangga, langsung berbalik 180 derajat menjadi seorang ustaz di pesantren, mengurusi santri untuk mempelajari dan menghafal alquran secara seksama.

“Kurang lebih ada sekitar lima tahun saya mulai jalan, Alhamdulillah mobil lima, serang (sawah) saya jual buat pesantren ini,” ujar Aceng, mengawali pembicaraannya dengan Liputan6.com, Jumat (17/5/2019) petang lalu.

Angin semilir khas pesawahan, dengan pemandangan dan lingkungan pesantren yang terbilang bersih, sangat mendukung menghasilkan generasi cinta qurani sebagai tahfiz alquran.

“Ya sehari-hari di sini saja mengurusi para santri,” ujar Aceng membuka aktifitas keseharian, setelah meninggalkan dunia usaha secara total.

Menurut Aceng, jalan pintas yang ia ambil untuk mendirikan pesantren tahfiz al-Zamani, terbilang berani. Padahal saat itu, kondisi pabrik penghasil perabotan dapur seperti citel, sosodok, kastrol, panci masak dan lainnya, tengah berada di puncak kesuksesan.

“Jika dulu saat usaha, mobil ada lima, uang banyak tetapi ada yang hilang, capek tapi tidak bungah (capek namun tidak memiliki kebahagiaan),” kata dia.

Bermodalkan ilmu pengetahuan agama sebagai keturuan kiai, ia kemudian melangkahkan tekad merealisasikan keinginan anaknya, mendirikan pesantren tahfiz Al-Quran.

"Akhirnya saya jual seluruh asset berharga satu persatu untuk membangun pesantren ini," ujar dia sambil menunjukan bangunan tiga lantai itu.

Awalnya Aceng mengakui cukup berat, apalagi seluruh biaya operasional pendidikan tidak dipungut dari santri. Namun perlahan pasti, rencana itu mulai membuahkan hasil.

Beberapa masyarakat sekitar, termasuk dukungan keluarga ikut membangkitkan pesantren. "Lumayan cukup membantu," kata dia.

Kondisi itu sejalan dengan dukungan penuh sang istri, ia tidak rewel dengan rencana mulia suami mendirikan pesantren tahfiz al-Zamani tersebut.

“Istri saya ikhlas sekalipun tidak diberikan nafkah demi pesantren ini,” ujar dia berkelakar.

Kini dalam lima tahun pertama pendirian, jumlah santri pun terus bertambah. “Sekarang ada 60 santri yang kami urus, dua diantaranya sudah berhasil menjadi tahfidhoh 30 juz al-quran,” kata dia bangga.

Bahkan beberapa kejuaraan hafiz al-quran yang digelar di Garut kerap disabet anak didiknya. “Ini deretan piala yang berhasil diraih para santri kami,” ujarnya sambil menunjukan deretan piala kejuaraan.

2 dari 4 halaman

Target Terdekat

Aceng menyatakan, seiring dengan semakin bertambahnya santri didik, ia berharap pesantren tahfiz yang ia rintis, bisa segera rampung tahun ini. “Tinggal pemasangan baja ringan, saya targetkan rayagung (musim haji) selesai,” kata dia.

Saat ini dari 60 santri yang tengah dibina, ada 11 santri putra-putri berusia belasan tahun yang sudah bermukim atau tinggal di pesantren. “Mereka akhirnya tidur di mushola, sebab tidak ada ruangan,” ujarnya.

Bahkan saat jam pelajaran tengah penuh, tak sedikit para santri yang terpaksa belajar menggunakan karpet di halaman pesantren, akibat terbatasnya ruangan. "Bersyukur mereka tidak rewel dan tetap ceria untuk menghafal Al-Quran," kata dia.

Para santri tidak pernah mempersoalkan kondisi itu, terlebih situasi dan kondisi pesantren tahfiz sangat kondusif bagi mereka. “Karena kebanyakan santri kami perempuan, tengah berupaya bagimana keamanan mereka,” ujarnya.

Di tengah kondisi tersebut, lembaganya terkadang dilema saat banyak orang tua santri ingin menitipkan anaknya mondok di pesantran tahfiz al-Zamani.

“Bukan kami menolak tapi istilahnya kami tahan dulu, sebab mau dimana tinggalnya,” ungkap dia.

Dengan semakin bertambahnya santri, lembaganya berencana mendirikan lembaga pendidikan setaraf Sekolah Dasar yang khusus menerapkan kurikulum tahfid al-quran.

“Minimal SD ya setahun satu juz jadi setelah lulus dia mampu menghafal enam juz atau lebih,” kata dia.

Saat ini rata-rata lembaga pendidikan setingkat SD masih jarang yang menggunakan kurikulum itu, sehingga dibutuhkan upaya untuk memulainya.

“Paling kan hanya juz ama atau surat-surat pendek, sementara yang standar tahfiz belum ada,” kata dia.

Hal ini perlu untuk dimulai agar menjadi mesin penggerak lembaga pendidikan lainnya, untuk memasukan tahfiz Al-Quran dalam kurikulum pendidikan sekolah.

3 dari 4 halaman

Mulai Membuahkan Hasil

Meskipun terbilang baru, namun jangan salah lembaga pesantren tahfiz al-Zamani ini, mulai menjadi pembicaraan dengan sejumlah prestasi gemilang siswa didiknya. “Saya kemarin juara satu dalam kejuaraan tahfiz kelas remaja,” ujar Widi Asniya Dewi (16), salah satu santri al-Zamani.

Siswi kelas kelas 10 SMAN 15 Garut ini, kini telah menguasai hafalan 22 juz Al-Quran secara fasih, sejak pertama kali menginjakan kaki di pesantren kelas VI lalu. “Tinggal 8 juz lagi (khatam) pinginnya tahun sekarang selesai,” kata dia.

Menurutnya pola bimbingan tahfiz yang diberikan ustaz Aceng cukup efektif dalam mendidik para santri. “Kuncinya belajar dan mau menghafal,” kata dia.

Hal senada disampaikan Vinna Raudatul Jannah, 16 tahun. Santri pertama tahfiz Al-Quran 30 juz ini mengaku bangga menjadi bagian dari awal pendirian pesantren al-Zaamni. “Saya mulai belajar menghafal sejak kelas VI dan khatam (30 juz) pada saat SMP,” kata dia.

Saat ini siswi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Garut ini, kerap menyabet penghargaan bergengsi dari setiap kejuaraan lomba tahfiz Al-Quran yang diselenggarakan di Garut. “Memang awalnya agak susah, tetapi lama kelamaan menjadi lebih mudah,” kata dia.

Tak mengherankan dengan sejumlah prestasinya itu, ia bersykur kerap mendapatkan beasiswa dari perusahaan untuk melanjutkan pendidikannya.

Aceng menyatakan, pola pendidikan tahfiz al-Zamani masih bersandar pada konteks dasar tahfiz yakni murojaah atau mengulang dan jiyadah atau nambah ayat hafalan. “Untuk jiyadah tiap dimulai jam 16.00 hingga 17.30 petang,” kata dia.

Setelah para santri menambah ayat hafalan minimal 10 ayat per hari, baru setelah tarawih atau shalat isya pada hari biasa, melaporkan hasil hafalannya kepada ustad. “Kami mulai sekitar pukul 20.00 sampai pukul 22.00,” kata dia.

Rutinitas itu berlaku juga untuk murojaah atau mengulang hafalan. “Baru setelah selesai mereka istirahat untuk selanjutnya bangun sekitar pukul 02.30 dini hari,” kata dia.

Dengan pola seperti itu, hafalan para santri semakin terasah dan kemampuan hafiz al-quran  terus bertambah. “Untuk sementara baik murojaah atau jiyadah semuanya saya yang ajar, sebab belum ada dana untuk membayar guru baru,” kata dia sedikit membuka rahasia dapur lembaga pesnatren yang ia pimpin saat ini.

 

4 dari 4 halaman

Dana Terbatas

Di tengah keterbatasan yang dihadapi, Aceng tidak patah arang untuk melanjutkan niat mulia hatinya, untuk membesarkan pesantren tahfiz, sebagai ibadah mencetak generasi emas qurani penghafal Al-Quran.

"Ada juga yang membantu tiap bulan, asalkan konsen ngurus pesantren mereka mau membantu," ujarnya.

Bahkan dalam beberapa kesempatan Aceng mengaku kerap mendapatkan kiriman bantuan operasional dari orang para dermawan. “Ini juga sudah ada yang bantu kadang ada yang transfer Rp 1 juta, kita gunakan buat operasional pesantren,” kata dia.

Namun seiring bertambahnya santri, proses belajar pun mengalami peningkatan, hingga berpengaruh pada naiknya biaya operasional.

Aceng mengaku rutinitas mengajar santri terbilang padat, namun akibat minimnya dana, akhirnya seluruh kegiatan hanya diurus berdua bersama istri. “Ya bagaimana lagi belum ada dananya,” kata dia.

Dengan semakin bertambahnya para siswa, ia berharap banyak pihak lain yang mau mengulurkan tangannya untuk perkembangan pesantren ke depan. “Idealnya paling banyak 10 orang satu guru, ini kadang 35-50 orang sama saya sendiri,” kata dia.

Akhirnya dengan kekurangan Sumber Daya yang ada, tak jarang beberapa santri 'terpaksa' mendapat giliran melaporkan hasil hafalan hingga larut malam. “Hitung saja minimal satu juz setengah jam, kalau ada lima orang yang murojaah kan bisa 2,5 jam,” ujarnya.

Perlahan dengan pasti, sejumlah prestasi pun terus ditorehkan siswa didiknya, hingga akhirnya banyak lembaga pendidikan umum seperti SMP, SMA hingga perguruan tinggi (PT) menawarkan bantuan beasiswa pendidikan.

“Seperti Uniga minimal minta (hafalan) lima juz, maka siswa kami bisa dihandle (dibiayai) sampai lulus kuliah,” kata dia.

Bahkan untuk beberapa sekolah unggulan, mereka siap menampung santri didikan al-Zamani dengan testing berupa hafalan juz Al-Quran. “Beberapa pendidikan berbeda ada yang minta lima juz, ada yang tiga juz ada yang dua juz,” ujarnya.

Video Terkini