Sukses

Petani-Petani Milenial di Kota Batu Bertani dengan Gawai, Bagaimana Bisa?

Anak-anak muda dengan berbagai keahlian di Kota Batu merintis Akademi Petani Milenial.

Liputan6.com, Kota Batu Bertani tidak harus identik dengan orang tua, mencangkul di kebun, sawah dan ladang, maupun memasarkan hasil panen. Bagi para petani milenial, sektor pertanian bisa lebih mudah lagi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi.

Sekelompok pemuda di Kota Batu mengikis citra konvensional itu melalui Akademi Petani Milenial. Memadukan pola lama dengan memanfaatkan perkembangan teknologi. Sistem pertanian terpadu sekaligus menerapkan teknologi Internet of Things (IoT).

Anggota akademi ini memaksimalkan jejaring anak-anak muda dengan beragam keahlian. Tidak hanya berlatar belakang petani. Ada pula yang ahli di bidang teknologi informasi, bidang pemasaran, santri sampai penulis kreatif.

Sehingga, para petani milenial di Kota Batu tidak hanya budidaya pertanian. Tapi juga mampu memanfaatkan teknologi untuk memudahkan pertanian. Serta menghasilkan nilai tambah pasca panen sehingga jadi sumber penghasilan yang jauh lebih menjanjikan.

Rakhmad Hardiyanto, pendiri Akademi Petani Milenial Kota Batu mengatakan, akademi yang baru dirintis akhir Maret lalu ini memiliki 16 anggota. Menggarap sayuran holtikultura dengan sistem pertanian hidroponik.

“Mengarah ke konsep urban farming dengan memanfaatkan perangkat teknologi,” kata Hardiyanto di Kota Batu, Selasa, 21 Mei 2019.

Sistem pertanian hidroponik ini menerapkan teknologi IoT. Menggunakan pengendali mikro yang terhubung internet, untuk mendeteksi sensor dalam alat pengukur zat terlarut (TDS meter). Serta mekanisasi berupa aerator yang terhubung pada sensor pengatur waktu.

Rangkaian itu diprogram di aplikasi berbasis android. Sehingga petani milenial dapat menggunakan untuk melihat kelembaban tanah, suhu, mengontrol pengairan. Termasuk kebutuhan nutrisi tanaman dapat dipantau dari jarak jauh melalui gawai mereka.

“Masyarakat yang sibuk dengan berbagai aktivitas tetap bisa mengontrol tanaman lewat android. Bisa melihat tanaman sudah saatnya panen atau belum,” ujar Hardiyanto.

2 dari 3 halaman

Mengembangkan Inovasi

Dengan teknologi ini juga membuat pertanian lebih efektif. Sayuran selada dan kale yang ditanam dengan teknologi ini cukup 25 hari, lebih cepat dari biasanya 30 hari. Soal kualitas ada jaminan. Teknologi sederhana tapi sangat bermanfaat.

Hardiyanto mengatakan, teknologi yang dirintis ini masih berbasis kontrol elektronik atau e-control untuk tanaman pertanian holtikultura. Saat ini tim teknologi mereka sedang mengembangkan e-commerce untuk memasarkan hasil panen.

Dengan demikian, petani tidak lagi sekedar bercocok tanam, menjaga kualitas saja dan berpikir pasar. Tapi memfasilitasi distribusi produk pertaniannya melalui pasar daring. Secara bisnis pun dapat semakin berkembang agar angggotanya bekerja lebih profesional.

“Ada kebanggaan dengan cara baru ini. Pertanian harus jadi ekonomi kreatif, seperti memacul digital,” papar dia.

Akademi Petani Milenial terbuka pada siapa saja yang ingin bergabung dan belajar bersama. Syaratnya, mereka harus memiliki kemauan memperbaiki tata kelola pertanian, mau saling berbagi pengetahuan yang dimiliki. Soal usia, tidak boleh lebih dari 35 tahun.

“Kami mengharapkan anggota akademi ini punya kemampuan beragam, menarik semangat anak muda untuk bertani dengan jalan teknologi” tutur Hardiyanto.

Sektor pertanian harus sudah masuk dalam ranah inovasi teknologi. Kerjasama untuk mengembangkan pertanian tak cukup mengandalkan petani, birokrasi dan legislator. Tapi juga lintas bidang keahlian agar pertanian memiliki daya saing.

“Ada banyak pemuda di Kota Batu yang memiliki berbagai keahlian. Semua harus terintegrasi agar pertanian bisa berkembang,” ujar Hardiyanto.

3 dari 3 halaman

Menggeliatkan Pertanian

Akademi Petani Milenial Kota Batu sedang menyiapkan toko milik salah seorang anggotanya sebagai tempat menjual berbagai produk pertanian maupun olahannya. Rencananya, akhir Mei ini toko itu siap dibuka.

“Soal pertanian ada sendiri yang mengurus, saya di bidang penjualan produknya saja,” kata Dodi pemilik toko yang juga anggota Akademi Petani Milenial.

Toko menjual sayuran holtikultura mentah berikut produk olahannya. Seperti mie berbahan baku sayur sampai jus. Toko sekaligus jadi pusat pertukaran informasi antar anggotanya. Namun pengiriman hasil panen pertanian ke Surabaya dan Sidoarjo tetap berjalan.

Herman, salah seorang anggota Akademi Petani Milenial mengatakan, ada semangat memberdayakan di akademi ini. Sehingga keanggotaannya terbuka bagi para pemuda dari berbagai bidang keahlian.

“Kami menyasar anak – anak di setiap desa agar kreatif dalam menuliskan tentang pertanian di desa. Agar ada kabar baik ini bisa disampaikan ke siapa saja,” ujarnya.

Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kota Batu dari tahun ke tahun terus turun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2003 tercatat ada 19.326 rumah tangga. Pada 2013 turun menjadi 17.358 rumah tangga dan turun lagi menjadi 16.903 pada 2018.

Kementerian Pertanian sendiri tengah menggenjot motivasi generasi muda agar menjadi jutawan lewat sektor pertanian. Menteri Pertanian Amran Sulaiman dalam sebuah kesempatan menegaskan jika target di 2019 ini ada 1 juta petani milenial.