Liputan6.com, Kota Batu - Ladu, kudapan berbahan beras ketan dan gula pasir. Berukuran kecil dan berasa pecah saat digigit dengan tekstur lembut dan rasa manis. Bagi warga Desa Gunungsari, Kota Batu, kemunculan kudapan ini jadi pertanda sebentar lagi idul fitri.
Puluhan tahun silam, bila masuk ramadan hampir tiap rumah warga sibuk membuat ladu. Untuk melengkapi meja dan suguhan tamu maupun oleh-oleh. Tapi di era serba instan ini, hanya sedikit saja warga Kota Batu yang masih sudi membuat penganan ini.
"Proses pembuatannya lumayan lama. Sekarang jarang yang mau buat ladu," kata Sumani, warga Dusun Kandangan, Desa Gunungsari, Kota Batu, Kamis, 30 Mei 2019.
Advertisement
Baca Juga
Perempuan berusia 67 tahun ini bisa disebut jadi salah satu dari sedikit warga Gunungsari yang masih rutin membuat ladu bila ramadan tiba. Ia mengingat masa kecil, kala itu neneknya dan semua tetangga di desa selalu sibuk membuat ladu di momen ramadan.
"Saya ini meneruskan resep dari nenek buyut. Bahannya harus beras ketan kualitas terbaik," ujar Sumani.
Bila beras ketan bukan kualitas terbaik, pembuatan ladu bisa gagal. Komposisi bahannya, 2 kilogram beras ketan dan 9 ons gula pasir. Prosesnya, beras ketan direndam dalam air selama sehari semalam. Setelah itu, dikeringkan dan digiling hingga menjadi tepung.
Tahap berikutnya, tepung ditanak hingga matang dan ditumbuk di lumpang sampai halus. Di tahap ini sekaligus dicampur gula yang juga dimasak. Adonan itu kemudian tinggal dipipihkan, dipotong berukuran kecil lalu dijemur sampai kering selama sehari.
"Kalau sudah dijemur, harus didiamkan dulu. Setelah itu bisa masukkan dalam oven agar jadi ladu," tutur Sumani.
Keberadaan mesin pemanggang sebenarnya cukup memudahkan satu tahap pembuatan ladu, jajanan khas Kota Batuini. Menurut Sumani, dahulu ladu dipanggang dalam belanga tanah liat dengan bagian bawah diberi kerikil kecil yang lebih dulu dicuci bersih.
Langgeng Seduluran
Membuat kudapan ini bisa disebut gampang-gampang susah meski bahan bakunya hanya beras ketan dan gula pasir. Proses pembuatannya butuh setidaknya 4 hari. Karena itu pula diperkirakan generasi mudanya enggan susah payah bikin kue warisan turun temurun ini.
"Sekarang kan sudah gampang. Banyak pilihan kue untuk lebaran, cukup beli di toko," ujar Sumani.
Kudapan renyah nan manis ini biasa mengisi meja tamu di kala lebaran. Disimpan dalam blek atau kaleng, bersanding dengan penganan lebaran lainnya. Kerap pula jadi oleh-oleh sanak saudara yang datang bersilaturahmi saat lebaran.
Gondo Ismail, seorang warga Kandangan, Desa Gunungsari tak memungkiri ladu sekarang sudah jadi salah satu kue langka di desanya. Kakek berusia 70 tahun ini juga sudah tidak membuat penganan khas lebaran ini.
"Dulu tiap lebaran ya selalu bikin, sekarang sudah enggak. Ditaruh diblek sebagai suguhan tamu lebaran," ujar Gondo.
Konon, kata ladu akronim dari langgeng seduluran. Istilah jawa yang bermakna menyambung tali persaudaraan. Ladu jadi buah tangan, agar silaturahmi tidak putus dan persaudaraan selalu manis dan tetap terjaga.
"Kalau sekarang sering dikantong plastik untuk oleh-oleh saudara yang silaturahmi. Sekarang ya biasa pesan ke Sumani," ucap Gondo.
Banyak tetangga yang masih menyuguhkan ladu atau dikonsumsi sendiri. Tapi jika butuh banyak sebagai oleh – oleh kerabat, mereka biasa pesan ke Sumani. Sebab Sumani sendiri juga melayani pesanan ladu dari tetangga maupun sejumlah toko di Kota Batu dan Malang.
Advertisement
Tambahan Penghasilan
Keterampilan Sumani membuat ladu ini juga menjadi berkah. Sebab ia menerima cukup banyak pesanan ladu dari tetangga, toko oleh – oleh di Kota Batu maupun di Kota Malang. Bahkan sering kewalahan, alhasil sesekali menolak pesanan dalam jumlah banyak.
Dari 2 kilogram beras ketan, mampu menghasilkan setidaknya 3 kantong plastik ladu. Tiap kantong berisi sekitar 500 gram ladu. Sekantong ladu itu dijual seharga Rp 36 ribu. Khusus saat ramadan, ia hanya sanggup menghabiskan sekitar 5 kuintal beras ketan.
"Sekarang pembuatan hanya dibantu satu anak saya dan seorang tetangga saja. Sudah tidak kuat bikin banyak," tutur Sumani.
Dahulu di awal 2000 an, saat suaminya masih hidup serta anak dan menantunya masih lengkap di rumah, ia mampu menghabiskan 1,3 ton beras ketan hanya di momen ramadan saja. Pesanan berlimpah mampu dipenuhi karena tenaga yang membantu juga banyak.
Pernah pula ada sebuah pengelola toko oleh – oleh di Kota Batu bermitra dengannya. Menjual semua ladu yang diproduksi dari rumah Sumani. Pengelola toko itu turut belajar proses membuat penganan itu. Begitu sudah bisa, memutus kerjasama itu.
"Ya tidak apa-apa, rezeki ada yang mengatur. Terpenting ada anak muda yang mau belajar membuat jajanan ini," ucap Sumani.