Sukses

Tak Ada Mudik ke Madura

Menyelami Tradisi Toron, mudiknya orang Madura.

Liputan6.com, Bangkalan - Tak ada mudik di Madura. Yang ada adalah tradisi toron. Orang Madura tak menyebut tradisi pulang kampung setahun sekali sebelum lebaran itu dengan mudik. Mereka punya istilah sendiri yaitu toron.

Bila diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, kata yang terdiri lima huruf ini terasa ganjil karena sama sekali tak berkaitan dengan aktivitas pulang kampung, karena bermakna: turun.

Penyair dan budayawan Madura, D Zawawi Imron menerka-nerka makna di balik tradisi toron. "Kenapa harus disebut turun?

Menurut Zawawi, ini merupakan sikap rendah diri orang Madura. Orang Madura menganggap orang Jawa superior," kata Zawawi dikutip dari situs Plat-M.com. sebuah blog yang dikelola Mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura.

Dari empat kabupaten di Madura, istilah toron lazim digunakan warga Bangkalan, kabupaten paling dekat dengan kota Surabaya ini. Letak geografis ini, nantinya punya kaitan menjadi 'asbabun nuzulnya' tradisi toron.

Sebagai orang Sumenep, Mustafa (33) tak pernah mendengar kakek, nenek, orang tua dan tetangga juga sanak saudara menggunakan istilah toron untuk menyebut pulang kampung. Di Sumenep, aktivitas mudik disebut mole yang berati pulang dalam bahasa Indonesia. Di Pragaan, desa di Sumenep yang terkenal sebagai 'Kampung Pengemis' menyebut mudik dengan Detheng Alajer (pulang dari berlayar).

Ketika menikah dan lalu hijrah ke Bangkalan pada 2009. dia baru tahu, istilah itu identik dengan orang Bangkalan. Mereka memyebut mudik dengan toron dan arus balik dengan ongghe yang berarti naik.

2 dari 3 halaman

Beda Jarak Mudik, Beda Istilah

Namun nampaknya istilah tersebut bergantung jarak. Beda jarak mudik, beda pula istilah yang dipakai. Menurut Mustafa, Toron dan ongghe, dua istilah ini hanya khusus dipakai saat mudik jarak dekat: Surabaya-Madura dan sebaliknya.

Sementara bila tanah yang dirantau lebih jauh letaknya ketimbang Surabaya, umpamanya ke Malaysia, Jakarta, Kalimantan bahkan Malang yang janya berjarak 2 Jam dari kota pahlawan. Istilah toron dan ongghe tidak digunakan.

Diganti dengan kata Mangkat (berangkat) untuk balik ke rantau. Dan deteng (datang) kadang-kadang mole (pulang) untuk pulang kampung atawa mudik. Kesimpulan ini, sejalan dengan penjelasan Pak De, sapaan D Zawawi Imron, bahwa ist toron hanya dipakai orang Madura ketika pulang dari Jawa.

Dan bagi orang Bangkalan, Jawa adalah Surabaya. Dalam percakapan sehari-hari, kata Jebeh (Jawa) kerap digunakan sebagai nama ganti Surabaya. "Engkok ongghe'eh ka jebeh (saya mau (naik) ke Jawa)." Jawa yang dimaksud dalam kalimat ini adalah Surabaya.

Ada satu plesetan yang bisa memperkuat penjelasan ini. Surabaya dalam bahasa Madura disebut Sorbejeh. kadang diplesetkan menjadi Sorjebeh (sorjawa). Jawa dalam bahasa Madura disebut Jebeh.

 

3 dari 3 halaman

Mudik Lima Kali Setahun

Karena istilah toron digunakan untuk mudik jarak pendek, hanya dari Suramadu ke Madura. Maka, orang Bangkalan tidak toron (mudik) hanya sekali setahun, melainkan lima kali setahun.

Toron pertama adalah saat bulan Maulid (molot) Kedua saat malam 27 Ramadan (petto lekoran), ketiga saat hari raya Idul Fitri (tellasen), ke empat saat lebaran ketupat (tellasen pettok) dan ke lima saat hari raya kurban (Are Rajeh).

Tiap kali toron identik dengan syukuran. Saat Maulid misalnya mereka akan bikin acara selamatan, mengundang sanak saudara dan tetangga sekaligus merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Lama mudik pun bervariasi bergantung profesi yang ditekuni, juga pada momen apa mudiknya. Kalau mudik di bulan Maulid, paling lama cuma sehari semalam, namun kebanyakan langsung balik ke Surabaya begitu selametan selesai.

Sementara jika toron saat idul Fitri, paling lama tujuh hari sampai lebaran ketupat. Mereka yang full tujuh hari biasanya wirausahawan. Sedangkan bagi karyawan atau pegawai, lama toron menyesuaikan jatah libur masing-masing kantor.

Dan benarlah ketika Buya Hamka, salah satu ulama terkemuka Muhammadiyah, menyebut Madura sebagai pulau yang punya 'pribadi' sendiri. Karena budaya, bahasa dan adat istiadatnya memang khas, berbeda dan satu-satunya.