Liputan6.com, Aceh - Janggutnya terurai kaku, mengujung sebatas tulang selangka. Jubah dan peci yang dikenakannya berwarna selaras. Pembawaannya terlihat lebih tenang dari jemaah lain. Saat itu dia duduk menyandar di tiang tengah, berhadap-hadapan dengan mihrab. Matanya terpaku pada ayat-ayat Alquran mini yang tengah dibacanya.
Azan bersiponggang, pemuda itu pun berjalan keluar. Tak lama kemudian kembali lagi ke dalam, menuju deret paling depan, menghadap Yang Kuasa, sebaris dengan jemaah lain.
Celana yang dikenakannya saat itu terlihat berbeda. Ujungnya tak mencapai mata kaki, hanya sebatas betis.
Advertisement
Sengaja dibiarkan begitu biar tidak isbal. Isbal sebuah istilah dalam Islam yang berarti 'memakai celana melewati mata kaki'.
"Ada larangannya. Bernas. Dalam hadis riwayat Bukhari nomor 5787 kalau kain yang berada di bawah mata kaki itu berada di neraka," kutip pemuda yang belakangan mengenalkan diri bernama Rijal usai salat isya berjemaah, kepada Liputan6.com, Jumat malam (14/6/2019).
Rijal mengaku seorang Salafi. Yakni, orang-orang yang berminhaj salaf saleh atau 'para pendahulu yang saleh', merujuk tiga generasi terbaik umat Islam, yaitu sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin.
Saat itu, ia mengaku resah. Merasa keyakinan dan kebebasannya selaku muslim terkekang, padahal ia berada di Aceh, provinsi muslim mayoritas yang mendapat julukan Serambi Makkah.
Pemuda itu memperlihatkan video kerusuhan saat massa membubarkan pengajian yang diisi Ustaz Firanda Andirja Abidin di Masjid Al-Fitrah, Kecamatan Jaya Baru, Kota Banda Aceh, Kamis malam (13/6/2019).
"Sangat disayangkan. Saya memang tidak di lokasi. Kata saudara saya, jemaah perempuan sampai histeris. Berhamburan ke pekarangan masjid," ucapnya sambil menatap layar gawai.
Dalam video yang telah beredar luas itu terlihat massa menyemut di dalam masjid. Terdengar orang berselawat di antara riuh kerumunan.
Menurut seorang saksi mata, insiden tersebut sempat diwarnai kontak fisik antara jemaah pengajian dengan massa yang beringas.
Seorang jemaah sempat diseret-seret dan dipukuli. Tidak hanya itu, menurutnya massa juga naik ke mimbar lalu mencak-mencak dari atas panggung pengkhotbah itu.
"Ramai mereka. Sehingga mimbarnya, sandarannya itu sampai patah. Bicara macam-macam lah di atas mimbar," kata saksi mata yang tidak mau disebut identitasnya.
Massa tetap merangsek masuk ke dalam masjid walaupun Ustaz Firanda telah menghentikan tausiah. Sebagian massa memilih tidak ikut salat isya berjemaah dan tetap menyoraki jemaah yang sedang salat.
"Ketika kami semua salat, kami masih mendengar keributan-keributan yang seperti menyorak-nyorak," tuturnya.
Insiden tersebut terjadi usai Salat Magrib saat Ustaz Firanda baru beberapa menit membuka tausiah. Kekalutan mulai mereda saat Kapolresta Banda Aceh, Kombes Pol. Trisno Riyanto bersama pihak terkait datang menenangkan massa.
Petugas kemudian mengamankan Ustaz Firanda dari lokasi. Setelah melakukan pertemuan yang alot dengan panitia, diambil kesimpulan bahwa yang bersangkutan harus kembali ke Jakarta dengan menumpang pesawat jadwal pagi.
Penolakan dari Awal
Menurut Kapolresta Banda Aceh, Kombes Pol. Trisno Riyanto, penolakan sudah terjadi sebelum Ustaz Firanda mendarat di Aceh. Rencana kedatangan ustaz yang pernah mencecap pendidikan di Madinah itu rupanya terendus oleh pihak-pihak yang kontra.
Informasi pun ditembuskan pihak yang kontra ke Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. MPU menindaklanjutinya dengan menyurati wali kota Banda Aceh agar safari dakwah Ustaz Firanda--yang kabarnya akan digelar di beberapa masjid--dicekal, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Terjadi demonstrasi kecil-kecilan saat pesawat yang membawa Ustaz Firanda mendarat di Bandar Udara Sultan Iskandar Muda (SIM), Kamis siang. Cekcok sempat terjadi di lobi salah satu hotel Banda Aceh ketika rombongan Ustaz Firanda menggelar pertemuan dengan pihak terkait.Â
Pihak berwajib sebelumnya telah mewanti-wanti kemungkinan adanya pengerahan massa. Namun, semangat para jemaah untuk mengikuti tausiah sang ustaz berkata sebaliknya.
"Karena mungkin, masyarakat sudah datang, pihak panitia tetap melanjutkan kegiatan pengajian. Padahal, memang penolakan dari sebagian besar masyarakat di Banda Aceh. Sampai nungguin di bandara dan sebagainya, pertama, itu. Karena dilakukan kegiatan, ricuhlah sedikit, tadi malam," jelas Trisno, kepada Liputan6.com, Jumat malam (14/6/2019).
Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) sempat menggelar pertemuan setelah insiden itu. Namun, tidak diketahui apakah pertemuan itu membahas kebijakan jangka panjang mengenai keberadaan kelompok liyan yang bersifat tidak searus dengan kelompok Islam arus utama di Aceh.
Advertisement
Keberadaan Kelompok Islam Salafi Aceh
Pangkal masalah aksi pembubaran paksa tersebut hanyalah perbedaan sudut pandang menyangkut beberapa perkara ibadah dan akidah. Massa menuding isi pengajian tersebut bertolak belakang dengan pemahaman yang berlaku umum di Provinsi Aceh.
Pekik 'tolak Wahabi' sempat terdengar beberapa dari arah kerumunan saat massa menduduki Masjid Al Fitrah. Ustaz Firanda ditolak karena dinilai menyebarkan ajaran yang tidak 'sewarna'.
Ini bukan aksi pertama. Parade besar-besaran menolak keberadaan salafi yang dituding condong berpaham Wahabi pernah dilakukan di Aceh pada 2015 silam. Belum termasuk serentetan aksi lainnya.
Soal keberadaan kelompok Salafi di Aceh memiliki jalan cerita dan dinamika tersendiri. Dituding sesat di satu sisi, kian mendapat tempat di sisi lain.
Menapaktilasi keberadaan kelompok Salafi di Aceh, khususnya, atau Indonesia, umumnya, bisa dimulai dari jejak sejarah kemunculannya di Nusantara. Bahkan dunia.
Ada sumber menyebut bahwa gerakan dakwah Salafi telah ada sekitar abad ke-IV hijriah. Pelopornya ulama-ulama berhaluan Hanbali yang ingin menghidupkan kembali tradisi-tradisi ulama-ulama terdahahulu atau ulama salaf saleh.
Gerakan Salafi dihidupkan kembali oleh Ibnu Taymiah sebagai respons berkembangnya paham-paham rasional di kalangan umat Islam. Juga munculnya kecenderungan umat Islam terhadap filsafat dan ilmu kalam pada masa itu.
Ide-ide gerakan pemikiran Salafi di Nusantara telah berkembang sejak era kolonial. Salah satu pemikiran awal Salafi di Indonesia terdapat di Sumatera Barat, yang dipelopori Tuanku Nan Tuo, Tuanku Imam Bonjol dan tokoh Kaum Paderi dari Kota Tuo.
Tidak merayakan maulid, tidak membaca kunut pada salat subuh, tidak berzikir atau berdoa bersama usai salat berjemaah. Adalah beberapa hal yang menjadi ciri khas Salafi.
Aroma paham salaf di Aceh, setidaknya yang 'sewarna' dengan paham tersebut telah tercium sejak tahun 40-an. Dapat dibuktikan dengan dokumen sejarah berupa 'Maklumat Ulama Seluruh Aceh' pada 1948.
Salah satu ulama yang menandatangani maklumat tersebut adalah Tengku M. Daud Bereueh. Ulama fenomenal yang dikenang dengan gerakan Daulah Islamiyah-nya.
Hal yang dilarang berdasarkan maklumat tersebut termasuk menggelar kenduri maulid. Merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad dinilai tidak berdasarkan nas dan ijmak para ulama.
Sementara itu, seorang sumber mengungkap bahwa cikal bakal keberadaan kelompok Salafi di Serambi Makkah dipantik oleh kehadiran sejumlah syekh berpaham 'salaf' yang datang ke Aceh pascatragedi gempa dan tsunami 2004 silam.
Doktrin Salafi disebarluaskan oleh para syekh dari organisasi nonpemerintah asal Qatar bernama Sheikh Eid Charity. Mereka berdakwah didampingi beberapa relawan asal Jakarta dan Solo.
"Di samping memberi bantuan kemanusiaan, sering berdakwah dengan mengadakan taklim di beberapa masjid melalui syekh-nya yang dikirim langsung dari Qatar. Dari situ saya, dan termasuk juga beberapa rekan lainnya mulai mengenal sala," jelas sumber tersebut.
Beberapa ciri Salafi bisa dilihat dari penampilannya yang khas. Laki-laki lazimnya mengenakan jubah (jalabiyah), celana panjang di atas mata kaki, memelihara jenggot, mencukur kumis (lihyah). Memakai baju berwarna hitam yang menutupi seluruh tubuh kecuali mata (niqab) bagi kaum wanita.
Kitab yang menjadi rujukan yakni, kitab keempat Sunan: Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan beberapa kitab lain, terutama kitab-kitab karya Ibnu Taimiyah. Buku 'Sifat Shalat Nabi' karya Nashiruddin Al-Albani, dan 'Mulia Dengan Manhaj Salaf' karya Yazid bin Abdul Qadir Jawas menjadi salah satu buku yang--dapat dikatakan-wajib dibaca.
Konsep akidah dan ibadah menurut pemahaman Salafi yakni mengimani bahwa zat Allah hanya di atas langit atau 'arasy. Sementara yang ibadah seperti berniat salat di luar takbiratul ihram.
Melawan Stigma, Menyebar Dogma
Setelah para syekh dari Qatar berlalu, estafet dakwah yang dilakukan tentu saja tidak berjalan mulus karena harus melawan konsep Islam arus utama di Aceh. Perlahan tapi pasti, minhaj ini mendapat tempat dan tersebar luas di Aceh.
Para pendakwah salaf saleh di Aceh kebanyakan menimba ilmu dari luar daerah. Setelah dianggap mumpuni, kembali ke tanah asal lalu menyebarkan dakwah berpaham salaf.Â
Sementara itu, pesantren di Aceh kebanyakan mengajarkan paham yang lebih fleksibel. Cenderung mengajarkan paham yang bisa berafiliasi dengan adat dan budaya yang ada di provinsi paling barat itu.Â
"Salafi itu bukan sesat. Hanya beda pandang, dengan konsep umum di Aceh. Kalau tudingan Wahabi itu, bisa ditanya sendiri. Bisa jadi, yang menuding tidak bisa menjelaskan soal stigma tersebut," ujar salah seorang pemuda bernama Amri, di Meulaboh, kepada Liputan6.com, Sabtu sore (15/6/2019).
Amri mengungkap, Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Administrasi Jakarta Utara pernah mengeluarkan keputusan tentang Salafi. Keputusan itu dikeluarkan secara resmi dan ditandatangani oleh Ketua Umum Qoimuddin Thamsy pada 2009.
Salaf atau Salafi tidak termasuk dalam 10 kriteria 'sesat' seperti yang ditetapkan MUI. Masyarakat juga diajak tabayun, tidak memakan mentah-mentah hoaks 'sesat' yang disematkan kepada penganut minhaj salaf saleh.
Menurut Wakil Ketua MPU Aceh, Tengku Faisal Ali, paham salaf saleh belum bisa dipahami dan diterima oleh sebagian besar masyarakat di Aceh. Mengacu pada insiden 'Keutapang', Faisal mengatakan bahwa itu murni kesalahan panitia yang tetap menggelar kajian kendati sudah diberi peringatan.
"Panitia itu mendatangkan pendakwah yang kontroversi untuk masyarakat Aceh. Yang perlu disalahkan panitianya. Kalaupun beliau (Ustaz Firanda) sudah hadir, jangan mengisi pengajian. Tapi, upaya persuasif yang dilakukan oleh teman-teman yang menolak tidak diindahkan oleh panitia," jelas Faisal, kepada Liputan6.com, Jumat malam.
Faisal mengakui, apa yang disampaikan oleh Ustaz Firanda belum tentu salah. Hanya saja, sikap memaksa untuk menggelar tausiah saat ada yang menolak bisa berakibat fatal.
"Masyarakat kita, banyak yang tidak tahu. Seseorang itu akan arif, akan bijak, akan sangat memahami dalam konteks berdakwah adalah bumi dipijak, di situ langit dijunjung," kata Faisal.
Advertisement
Mengancam Keberagaman
Keberadaan Salafi serta insiden pembubaran paksa yang berakhir ricuh di Masjid Al Fitrah menurut pandangan pribadi Direktur Riset SETARA Institute, Halili, merupakan fenomena keberagaman yang dalam agama Islam dianggap sebagai rahmat.
"Secara pribadi, saya melihat fenomena itu dengan dua perspektif. Pertama, itu sebagai kebangkitan kelompok Islam rahmatan lil alamin. Kedua, sebagai fakta masih lemahnya peran aparat pemerintah dalam menertibkan kelompok-kelompok kontra Bhinneka Tunggal Ika," ujar Halili, menjawab Liputan6.com, Jumat malam.
Pernyataan serupa datang dari Direktur YLBHI-LBH Banda Aceh, Syahrul. Baginya, insiden 'Keutapang' menunjukkan bahwa negara masih lemah dalam melindungi dan menciptakan keamanan serta kenyamanan bagi warganya untuk beribadah sesuai keyakinan.
"Itu menjadi masalah baru tentang keberagaman di Aceh. Kalau kemarin-kemarin kita hanya berkonflik, misalnya antara muslim dan kristen, dan kelompok agama lain. Belakangan, kelompok muslim itu sendiri bertengkar," jelas Syahrul kepada Liputan6.com, Jumat malam.
Bagi Syahrul, fenomena ini harus dilihat sebagai masalah serius. Ia mengingatkan kembali insiden pembakaran balai istirahat pekerja dan cetak cor tiang Masjid At Taqwa Muhammadiyah di Desa Sangso, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen oleh massa pada 2017 silam.
"Beberapa bulan lalu, ada masalah pengusiran juga di Masjid Zainal Abidin. Nah, sekarang kembali terjadi. Ini akibat diamnya Pemerintah Aceh. Padahal, untuk mengatasi masalah tersebut, di Aceh sudah ada MPU, Kemenag, Dinas Syariat Islam, Majelis Adat Aceh, Wali Nanggroe. Mestinya, lembaga-lembaga ini berperan aktif," sebut Syahrul.
Masalah yang sama berpotensi kembali terjadi jika lembaga-lembaga tersebut tidak melakukan pembahasan serius dan menelurkan kebijakan yang bersifat jangka panjang. Kebijakan yang menjamin keberadaan dan kenyamanan kelompok liyan di Aceh.
"Sekarang makin nyata. Ketika ada postingan di media sosial, ada yang merespon pro dan kontra. Kemudian, menjadi lebih nyata di kehidupan. Ke depan, di warung kopi, jalan, bahkan sekolah, mereka akan bertengkar, dan berkelahi terus. Oleh karena itu, negara harus hadir.
Lebih jauh, terdapat instrumen hukum internasional yang menjamin keberadaan dan kenyamanan bagi kelompok tertentu untuk beribadah sesuai keyakinan. Indonesia adalah salah satu negara yang mengakui dan meratifikasi aturan tersebut.
Minoritas yang Sebenarnya Mayoritas
Dari kejauhan, Rijal tampak melaju di atas sepeda motornya. Belahan jubah yang dikenakannya berjuraian dihantam udara.
Ia berhenti di kiri pintu gerbang masjid. Menyapa seorang pria yang telah ubanan kemudian memberinya tumpangan.
Sebelum beranjak, Rijal bercerita bahwa dirinya mengenal minhaj salaf dari seorang teman. Rijal mengaku dulunya seorang berandalan yang pernah terperosok ke lubang hitam.
Salaf saleh memberinya harapan, sekaligus keresahan. Diberi cap 'Wahabi' dan sesat oleh orang sekitar sudah sering dialami, namun, yang paling ia takutkan ketika sekelompok massa berdatangan tanpa diberi hak untuk memverifikasi.
"Semoga saja. Ruang itu masih ada," ucapnya, diakhiri kata 'amin'.
Â
Simak juga video pilihan berikut ini:
Advertisement