Sukses

Nestapa Etnis Tionghoa Purbalingga pada Masa Orba dalam Bingkai Film

Film ini juga bercerita bagaimana negara, pada masa Orde Baru, memaksa etnis Tionghoa menganut agama yang diakui pemerintah.

Liputan6.com, Purbalingga - Etnis Tionghoa acap kali jadi objek perundungan. Ada saja bahan gunjingan, mulai ras, agama, hingga sosial ekonominya. Mereka seolah bukan merupakan bagian dari bangsa Indonesia.

Namun, pandangan bahwa etnis Tionghoa berbeda dengan suku-suku asli di Indonesia perlahan luntur. Kini mereka membaur dan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya.

Kesetaraan yang kini diperoleh bukan tanpa perjuangan berdarah-darah. Etnis Tionghoa, selama puluhan tahun menjadi kaum minoritas yang hak-haknya banyak dikebiri, termasuk di Purbalingga, Jawa Tengah.

Pesan itulah yang hendak disampaikan oleh siswa SMK Negeri 1 Purbalingga. Mereka membuat sebuah film dokumenter mengenai etnis Tionghoa.

Para pelajar mengangkat kisah-kisah perjuangan orang-orang Tionghoa di Purbalingga dalam melewati kekuasaan Orde Baru. Film ini diberi judul Orang-Orang Tionghoa.

Sutradara, Icha Feby Nur Futikha, mengatakan setelah riset, ia dan teman-temannya sepakat mengangkat tiga subjek dalam film. Tiga lakon ini dianggap mewakili masalah yang kerap dialami etnis Tionghoa pada masa Orde Baru.

"Subjek orang Tionghoa yang dari dulu tetap beragama Konghucu, yang beragama Katolik, dan yang beragama Islam," katanya, dikutip dari keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Selasa, 18 Juni 2019.

Film Orang-Orang Tionghoa bercerita soal bagaimana sejarah etnis Tionghoa di Indonesia wajib berganti nama Indonesia pada masa Presiden Soeharto bila ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia (WNI).

2 dari 3 halaman

Etnis Tionghoa Ganti Agama dan Nama demi KTP

Ketiga lakon ini juga mesti berganti nama sesuai dengan Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966 tentang peraturan ganti nama bagi Warga Negara Indonesia dan dilarang memakai nama China. Etnis Tionghoa, nyaris tercerabut dari akarnya.

Film ini juga bercerita bagaimana negara, pada masa Orde Baru, memaksa etnis Tionghoa menganut agama yang diakui pemerintah. Sebab, saat itu hanya ada lima agama yang diakui dan tercantum dalam KTP.

Salah satu lakon yang harus berganti KTP itu adalah Ambing Setiawan. Ambing yang semula beragama Konghucu mesti rela kolom agama di KTP-nya bertuliskan Kristen. Ia tak mau disebut melawan pemerintah.

"Pada tahun 1975, Om Ambing pernah rela KTP-nya ditulis Kristen di kolom agama. Ya, itu karena saat Orde Baru, hanya lima agama yang diakui negara," ucap periset, Rena.

Selain agama Konghucu yang saat itu tidak diakui negara, pada masa Orde Baru, kebudayaan Tionghoa juga turut diberangus. Orang tidak bebas menyaksikan kesenian Liong, Barongsai, dan Wayang Potehi.

"Baru setelah reformasi yang dimulai era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gusdur, agama Konghucu dan budaya Tionghoa mulai menghirup udara bebas hingga Presiden Joko Widodo sekarang," dia menerangkan.

Masih soal etnis Tionghoa dan keberagaman agama, Brankas Film sub-ekstrakulikuler Teater Brankas SMA Negeri 2 Purbalingga telah usai memproduksi film berjudul Tepa Selira, yang dalam bahasa Indonesia berarti toleransi.

 

3 dari 3 halaman

Kisah Toleransi Penganut Kepercayaan, Konghucu, dan Islam

Film yang produksinya difasilitasi CLC Purbalingga ini berkisah tentang tiga sahabat dengan latar agama berbeda. Amir beragama Islam, Kusno penganut kepercayaan, dan Ayong beragama Konghucu dan beretnis Tionghoa.

Kisahnya sederhana, tetapi begitu kuat pesan toleransinya. Syahdan, suatu hari, Ayong diperintah mamanya mencari buah Lamtorogung (petai cina) untuk jamu engkongnya. Dalam pencarian itu, ia dibantu dua sahabatnya.

Dalam perjalanan, terdengar suara azan Asar dari sebuah musala. Ayong mengingatkan Amir untuk salat, tetapi Amir tidak membawa sarung. Beruntung, Kusno yang memang sehari-hari memakai jarit, meminjaminya.

Sebelum sampai ke kebun milik orangtua Amir yang terdapat pohon Lamtorogung, mereka melewati sawah milik orangtua Kusno. Amir melihat sosok jubah putih yang sedang merusak sesajen. Dikejarlah sosok itu oleh tiga sahabat tersebut.

Pemeran Ayong, Nicholas Jason Sugiarto sempat kesulitan dalam berperan sebagai Ayong. Sebab, Ayong mesti berbahasa Banyumasan. Sedangkan Jason kesehariannya berbahasa Indonesia.

"Jadi sempat sulit saat membaca skenario memakai bahasa Banyumasan," ujar Jason, siswa kelas 5 SD Pius, Purbalingga.

Produser pelaksana Sekar Arum Pamularsi mengatakan awak Brankas Film memang sengaja membuat film bergenre anak-anak. Sebab, saat ini minim produksi film bergenre sejenis, terlebih yang mengangkat isu-isu sosial seperti toleransi.

Saksikan video pilihan berikut ini: