Sukses

Kisah Guru di Pedalaman Papua, Rogoh Kocek hingga Rp 5 Juta untuk Ongkos ke Kota

Bisa juga ke kota dengan ongkos Rp2 juta, tetapi membutuhkan waktu 5 jam, dengan 2 jam harus berjalan kaki.

Liputan6.com, Jayapura - Tak mudah mengabdi di pedalaman Papua. Diana Da Costa, guru muda 23 tahun menyebutkan tempat tugasnya di Kampung Kaibusene, Distrik Haju, pedalaman Kabupaten Mappi sangat sulit dijangkau dan membutuhkan dana yang tak sedikit.

Saat ini, Diana yang menjadi guru penggerak daerah terpencil di SD Inpres Kaibusene, Distrik Haju, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua menuturkan untuk tembus ke Kampung Kaibusene ada dua jalur yakni jalur dengan ongkos murah dan jalur dengan ongkos mahal.

Jalur dengan ongkos murah ditempuh dari Keppi, ibu kota Mappi melalui Pelabuhan Keppi ke Pelabuhan Pagai menggunakan speed boat dengan harga sewa Rp800 ribu yang ditempuh dengan waktu 1 jam. Lalu dari Pagai harus berjalan kaki ke Tamaripim 2 jam.

Setibanya di Tamaripim, dilanjutkan naik ketinting, atau perahu kecil dengan ongkos Rp750 ribu dengan jarak tempuh 2 jam ke Distrik Haju. Setibanya di Distrik Haju dilanjutkan naik ketinting lainnya dengan waktu 1 jam 30 menit dengan ongkos sewa Rp 300 ribu ke Kaibusene.

Ada juga alternatif lainnya ke Kaibusene dengan jalur darat dan ongkos yang mahal, yakni dengan sewa mobil Hilux Rp 3 juta dari Kota Keppi, ibu kota Kabupaten Mappi ke Distrik Asgon, distrik yang berbatasan dengan Distrik Haju. Setibanya di Distrik Asgon sewa speed boat ke Kaibusene Rp 1,5 juta.

"Semua biaya jika ingin ke kota, harus dikeluarkan sendiri dari kocek kami, pemerintah Kabupaten Mappi, Provinsi Papua tak menanggung apa pun, hanya diberikan gaji, tanpa insentif. Karena mahalnya ongkos ke kota, kadang kami titipkan laporan kepada kepala sekolah," ujar Diana.

Diana menyebutkan, karena Kabupaten Mappi adalah kabupaten rawa dan hampir sebagian besar rumah dan sekolah atau fasilitas lainnya dibangun di atas rawa.

Setiap harinya, Diana dan 2 guru lainnya yang tinggal sekitar 50 meter dari bangunan SD Inpres Kaibusene harus menggunakan katinting ke sekolah, karena bangunan berdiri di atas rawa. "Jika mau jalan kaki, berarti harus pakai sepatu boat, untuk menghindari lumpur," ujarnya.

2 dari 3 halaman

Satu Bungkus Mi Instan Dimakan Bersama

Karena sulitnya transportasi ke kota, untuk kebutuhan pokoknya, Diana dan guru lainnya hanya bisa berbelanja di Distrik Haju setiap sebulan satu kali.

Berbekal patungan antara guru, kadang dengan gaji yang dimilikinya, Diana dan guru lainnya masih harus membelikan makanan atau sekadar membuatkan kue dan teh untuk disantap bersama muridnya sebulan sekali. Hal ini dimaksudkan agar para murid memiliki niat belajar.

Diana tanpa lelah mengajar anak-anak di kampung itu, walau gaji yang ia terimanya sering terlambat hingga 3 bulan lamanya.

"Paling cepat, dua bulan sekali gaji kami baru cair. Bagaimana mau bertahan hidup di pedalaman dengan kondisinya seperti ini? Karena gaji kami tidak cair setiap bulan," katanya.

Kata Diana, jika keadaan sudah seperti ini, tak jarang guru lainnya harus rela berutang bahan makanan ke kios di distrik. Ia bahkan sering menelepon mamanya hanya untuk mengirimkan uang, karena gaji yang ia terima belum cair.

"Tak jarang kami makan 1 bungkus mi dibagi 3 orang. Kadang mi goreng juga bisa dijadikan me rebus, hanya untuk bisa bertahan hidup. Kadang sehari kami makan nasi, kadang makan sagu, semua kita selang-seling yang penting bertahan hidup, hingga menunggu gaji bisa cair," jelas Diana.

Untuk makanan sayur, kadang ia dan teman guru lainnya makan pucuk sagu. Ikan yang biasa didapat juga hanya bisa dibakar, tanpa bisa digoreng, karena tak ada minyak goreng.  "Bahkan, dapur rumah kami pun dibuat dengan menggunakan biaya patungan," ujarnya.

3 dari 3 halaman

Tak Sulit Mengajar Anak Papua

Sejak awal Diana mencintai Papua. Ia selalu berpikir ingin sekali ke Papua, hanya saja ia tak mengetahui bagaimana caranya.

Saat itu, kebetulan Pemerintah Kabupaten Mappi bekerjasama dengan gugus tugas Papua Universitas Gajah Mada (UGM) merekrut guru yang ingin bekerja di pedalaman Mappi. Maka kesempatan itu tak ia sia-siakan.

"Panitia dari UGM sempat terkesan dengan kisah hidup saya. Saya hanya berpikir niat dan kemauan kita yang tulus akan direstui alam dan diberkati Tuhan. Semua yang tak mungkin pasti akan terjadi," kata Diana anak pertama dari dua orang bersaudara.

Darah untuk melayani masyarakat di pedalaman memang sudah mengalir pada Diana. Sang ayah, warga Timor Leste dulunya bertugas di pedalaman. Bahkan, banyak orang yang menertawakan Diana lebih memilih bertugas di Kampung Kaibusene, sebab anak asli setempat pun meninggalkan kampungnya hanya untuk mendapatkan pekerjaan di kota.

"Mengabdi di pedalaman Papua bukan cita-cita saya, tapi saya mencintai Papua, apalagi dengan disiplin ilmu yang saya miliki, makin tertantang saya ke Papua dan bertugas di pedalaman.  Saya ingin menjadi PNS. Sayangnya, saat ini belum bisa karena masih terikat kontrak hingga Oktober 2020 dan saya patuh akan kontrak itu," jelasnya.

Diana selalu yakin dengan keterbatasan yang dimiliki di pedalaman bisa terwujud dengan dilakukan secara bersama. Walaupun hingga saat ini tak ada transparansi dana untuk operasional sekolah, karena kepala sekolah memiliki pribadi yang tertutup. "Dana-dana sekolah entah dikemanakan, kita tak pernah tahu," ujarnya.

Sementara itu, Diana mengakui untuk mengajarkan anak-anak di pedalaman Papua tak sulit. Kebanyakan anak di pedalaman Mappi 70 persen sudah bisa membaca. Pengetahuan umum juga sudah dimiliki anak-anak.

Diana mengibaratkan pisau yang tidak diasah akan tumpul dengan sendirinya. Itulah permasalahannya guru dan PNS malas datang ke pedalaman, dan banyak yang tertumpuk di kota. Jadi, sekolah ditinggalkan berbulan-bulan, siapa yang mau mengajar?

"Terpaksa banyak anak ikut orangtua ke hutan. Siapa yang mau disalahkan? Apakah anak didik? Miris sekali, mereka malaikat tak berdosa. Mereka hanya korban dari kemalasan orang serakah," Diana menandaskan.

 

Simak video menarik berikut ini: