Liputan6.com, Sumenep Cara keluarga Novil Alfarisi merawat rumah tradisional Madura bisa ditiru. Selain karena berbiaya murah, pengerjaannya juga simpel karena hanya memasang keramik agar lebih kekinian.Â
Bagian yang dipasagi keramik pun tak menyeluruh, hanya teras depan dan dinding, itu pun hanya setinggi posisi duduk orang dewasa. Renovasi semacam ini tak hanya membuat rumah tradisional madura yang keberadaannya kian langka itu menjadi lestari, tetapi juga nyaman dipandang mata dan layak sebagai hunian.Â
Advertisement
Satu-satunya yang diubah total adalah tiang penyangga teras bagian depan. Dari semula berupa kombinasi separuh bata separuh kayu, diganti dengan tiang semen cor.
"Agar lebih tahan lama," kata Novil kepada Liputan6.com, Minggu (30/6/2019)
Rumah Novil sebenarnya berupa dua bangunan berjejer menyamping. Di tengahnya ada ruangan kecil, yang oleh orang Sumenep disebut longellongan. Ruangan itu menyatukan kedua rumah yang dibangun sejak 1940an.
Novil yang jga berproofesi sebagai guru SD itu menempati rumah yang disebut Bengsal, rumah dengan wuwungan tinggi yang pada kedua ujungnya terdapat ukiran kepala naga. Sedangkan rumah yang satu lagi dinamai Pegun, nama rumah tradisional Madura yang bentuk wuwungannya lebih rendah dan rata.
Filosofi Rumah Satu Kamar
Perbedaan nama dan bentuk atap tak berpengaruh pada desain. Antara rumah Bengsal dan Pegun bentuk ruangan sama, yaitu satu teras dan satu kamar.
Model satu kamar itulah yang konon menjadi musabab banyak tetangga Novil di Desa Ganding Timur, Kecamatan Ganding, Kabupaten Sumenep, merenovasi total rumah tradisionalnya ke model rumah kekinian yang menampung lebih banyak kamar.
Mabruhah, ibu Novil, mengatakan konsep satu rumah satu kamar bertujuan agar anak-anak mandiri. Dia mencontohkan, rumah Pegun di pekarangannya, dulunya adalah rumah nenek mertua.Â
Ketika mertua Mabruhah menikah dibangunlah rumah Bengsal yang kini ia tempati. "Jadi orang tua dulu itu sangat kaya, tiap anak dibuatkan rumah bila tak mampu buat sendiri," tutur dia.
Advertisement
Rumah Belian
Rumah tradisional Madura baik Bengsal dan Pegun adalah rumah belian. Syahdan, rumah-rumah itu, termasuk rumah Novil, dibeli dari orang-orang Cina di pusat kota Kabupaten Sumenep.
Tak ada yang tahu berapa harga per unit saat dibeli. Namun bila harga deal, rumah itu dibongkar satu persatu. Mulai dari genting hingga batu pondasi. Lalu bongkahannya diangkut truk dibawa ke desa si pembeli.
Para tukang kemudian merangkai lagi rumah itu, dengan bahan yang sama seperti bentuk aslinya. Yang menarik, karena saat itu belum ada semen, luluh bangunan dibuat menggunakan campuran tiga bahan yaitu pasir sungai, bubuk batu kapur juga gula sebagai perekat.
"Tindak seperti sekarang, kalau bangun rumah, bahannya beli baru semua," kata Asyik, 60 tahun, Paman Novil.
Keunikan lain rumah khas madura adalah tak berpaku. Mulai dari rangkaian kayu penyangga wuwungan hingga daun pintu, semuanya dirangkai tanpa paku.
Teknik yang digunakan adalah teknik pasak. Bagian-bagian kayu yang hendak disambung di lubangi lebih dahulu, kemudian lubang itu ditutup dengan kayu. Dalam satu rumah, semua bahan menggunakan kayu jati.
"Mungkin kalau bukan kayu jati, sudah lama rumah ini runtuh dimakan rayap," ungkap Asyik.
Â
Strata Sosial
Rupanya bentuk rumah Madura antara Bengsal dan Pegun menyimpan makna lain. Menurut asyik, kondisi ekonomi para leluhur bisa dilihat dari bentuk rumahnya. Bila dalam satu pekarangan lebih banyak rumah bengsal, maka dipastikan leluhur mereka termasuk orang punya.
Sebaliknya, bila lebih dominan rumah bentuk Pegun, maka leluhurnya adalah kelas pekerja atau buruh pertanian. Ketika saya berkunjung ke desa pesisir Lobuk, Kecamatan Saronggih rumah tradisional di sana kebanyakan berbentuk Pegun.
"Rumah bengsal pun ada dilihat dari ukiran di ujung wuwungan. Apakah bentuk naga atau burung, lebih mahal naga," terang Asyik.
Harga rumah juga bisa ditinjau dari ukiran pada jendela dan pintu. Makin rumit bentuk ukirannya, bisa dipastikan kian mahal pula harga rumah tersebut.
Hubungan bentuk rumah dengan status sosial ini benar belaka. Dalam buku Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura yang ditulis Kuntowijoyo disebutkan bentuk umum rumah orang Madura kebanyakan, sebagaimana tertulis dalam dokumen-dokumen Pemerintah Hindia Belanda adalah beratap genting, namun bendinding anyaman bambu dan berlantai tanah.
Dan setelah puas menengok rumah tradisional Madura di Sumenep. Saya baru sadar ternyata semua rumah hunian utama menghadap ke selatan dan dapurnya menghadap utara. Sehingga posisi dapur pasti di depan rumah.
Sayang Asyik tak tahu makna filosofis dibalik posisi rumah itu. "Mungkin karena cuaca Madura panas. Kalau menghadap selatan rumah tetap teduh karena tidak menghadap terbit dan terbenam matahari," katanya menduga-duga.
Â
Simak juga video pilihan berikut ini:
Advertisement