Sukses

Mencari Untung dari Sampah, Awas Dampaknya

Sampah impor sedang marak dibicarakan. Belum lama ini tercatat Indonesia mengirim balik sampah impor di Batam. Namun sampah impor ternyata juga menjadi ladang rezeki sebagian orang.

Liputan6.com, Jakarta - Sampah impor sedang marak dibicarakan. Belum lama ini tercatat Indonesia mengirim balik sampah impor di Batam.

Namun sampah impor ternyata juga menjadi ladang rezeki sebagian orang. Banyak orang yang mencari keuntungan dari situ.

Sampah adalah benda-benda tidak terpakai. Namun banyak orang yang mencari keuntungan dari situ. Dari penelusuran Liputan6.com, di Mojokerto, Jawa Timur, misalnya, sebagian pemilah sampah rela mengeluarkan uang demi bisa membeli sampah impor dari berbagai negara.

Ada juga sebuah perusahaan yang membebaskan warga sekitar untuk memilah sampah-sampah impor tersebut dan memberikannya secara gratis.

Sampah impor ini memberikan banyak sekali keuntungan. Sebagian warga jadi bisa menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin dan dapat membuat hidupnya berkecukupan.

Sampah di sana dianggap semacam barang yang berharga, karena tidak semua warga memiliki pekerjaan maka banyak dari mereka yang memilih untuk menjadi pemulung dan pengepul sampah impor.

Warga menyortir sampah-sampah tersebut, kemudian memilih mana yang masih layak untuk dijual kembali, tentu untuk meraih keuntungan. Lalu dari sortiran itu ia sering menemukan benda-benda berharga seperti uang/sobekan uang dari berbagai negara, emas dan berlian serta barang lain sebagainya.

Namun jangan dilupakan akan dampak buruk sampah. Dampak buruk dari sampah tersebut pada lingkungan yaitu bisa terjadi polusi udara, yang kemudian membuat udara jadi terasa sesak dan panas, juga ada bau kurang sedap. Kualitas air juga dapat tercemar akibat dari sampah plastik yang ditimbun itu sudah masuk ke tanah yang ada di sekitarnya.

Sedangkan bagi kesehatan antara lain bisa terserang penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), stunting pada anak dan berbagai penyakit lainnya baik jangka pendek maupun jangka panjang. (Wiwin Fitriyani, mahasiswi Universitas Tarumanagara)