Sukses

Kisah Sadikin, Pelukis Difabel yang Rutin Gelar Pameran di Luar Negeri

Sadikin pelukis difabel asal Malang rutin menggelar pameran di luar negeri. Karyanya pernah dihargai ratusan juta rupiah.

 

Liputan6.com, Malang - Sadikin tepekur duduk menghadap gereja. Sejurus kemudian kakinya mulai bergerak. Kanvas yang tadinya polos kini mulai tergores, tergambar Gereja Kayutangan Malang yang bergaya gothic.  

Ia tidak sendirian. Beberapa rekan pelukis juga ada di bahu jalan itu. Tidak butuh waktu lama, Sadikin pelukis difabel di Kota Malang itu rampung melukis gereja lawas peninggalan kolonial Belanda.

"Ini aliran impresionisme, kecepatan menyelesaikan lukisan juga harus diperhatikan," kata Sadikin kepada Liputan6.com, Rabu (3/7/2019).

Sadikin bukan pelukis biasa. Ia sudah berkarya sejak puluhan tahun silam. Serta melalang buana ke berbagai belahan dunia. Lukisan bertema budaya termasuk bangunan bersejarah maupun lingkungan sekitar banyak jadi inspirasi lukisannya.

"Di luar negeri, karya seorang pelukis tentang kebudayaan bangsa sendiri itu jauh lebih diapresiasi," ujarnya.

Sadikin merupakan salah satu dari 9 pelukis difabel Indonesia yang tergabung dalam Association of Mouth and Foot Painting Artist (AMFPA) yang berbasis di Swiss. Sebuah perkumpulan pelukis berkebutuhan khusus, yang melukis dengan kaki dan tangan.

Setiap tahun, Sadikin harus menyelesaikan sedikitnya 12 lukisan untuk dikirim ke AMFPA. Lukisan Gereja Kayutangan adalah salah satu lukisan yang hendak dikirim ke perkumpulan para pelukis istimewa di eropa tersebut.

Setiap bulan ia menerima kiriman uang dari asosiasi dalam bentuk Euro. Saban tahun pula, Sadikin berangkat ke luar negeri. Menghadiri pertemuan internasional pelukis dengan mulut dan kaki. Tahun ini konvensi sekaligus pameran internasional direncanakan digelar di Brazil.

"Mungkin konvensi berikutnya digelar pada September mendatang," ucapnya.

Bukan perkara mudah sebuah karya bisa diterima AMFPA. Ada beberapa tahap yang harus dilalui agar bisa diterima jadi anggota asosiasi pelukis difabel ini. Jika lolos, tiap karya bakal dicetak ulang tapi tidak menjual karya aslinya.

"Ada hak cipta, kalau ada yang berminat membeli karya asli tetap akan dihubungkan ke pelukisnya," tutur Sadikin.

2 dari 3 halaman

Berbagi Ilmu

Sadikin terlahir berkebutuhan khusus. Ia sempat belajar ilmu psikologi hingga semester 8 di sebuah perguruan tinggi swasta di Malang pada 1989. Berhenti kuliah lantaran memilih fokus melukis dan menjadi aktivis.

"Saya melukis sejak kecil, berhenti kualiah biar tetap melukis. Kalau tidak begitu ya tak dapat uang," tutur dia.

Sejak itu pula ia menghasilkan berbagai karya. Namun baru diterima bergabung di AMFPA pada 1998. Karyanya dipamerkan di dalam dan luar negeri. Tidak sedikit dibeli penikmat karya seni. Lukisan paling mahal pernah dibeli seseorang senilai Rp 250 juta beberapa tahun silam.

"Lukisan ikan koi, kata pembeli suka dengan ikan itu mengandung hoki," katanya.

Ia membuka galeri lukis di rumahnya di Jalan Selat Sunda Raya D1/40B Kota Malang bernama Sadikin Art. Dari uang asosiasi maupun hasil menjual lukisan itu pula Sadikin mengembangkan galeri itu jadi lebih besar, jadi bangunan tiga lantai.

"Saya sendiri arsitek pembangunan galeri itu. Tinggal peresmian saja," ucapnya.

Galeri tidak hanya jadi tempat dia melukis seorang. Sekaligus jadi tempat berkumpul rekannya di Malang Suko, komunitas pelukis di Malang. Serta tempat belajar bagi siapa saja yang berminat mendalami seni lukis. Ia sendiri mengajar seni lukis di beberapa sekolah dan perguruan tinggi.

"Di Malang ini kan perhatian ke para pelukis masih sangat minim," tutur Sadikin.

3 dari 3 halaman

Mewariskan Bakat

Sadikin berpesan pada siapa saja, rekan-rekannya sesama penyandang disabilitas maupun yang biasa saja untuk pantang menyerah. Terus semangat mengejar apa yang ingin dicapai hingga berhasil.

"Saya saja yang begini bisa, apalagi yang normal. Tidak boleh patah semanga," katanya.

Keahlian Sadikin dalam melukis tampaknya turun ke putranya, Alrona Setiawan. Termasuk aliran impresionis dalam melukis turut melekat erat dalam setiap karya putranya.

"Sejak kecil melihat bapak melukis, mungkin itu pula karya saya selalu mirip," tutur Alrona.

Ia pernah mencoba sesuatu yang berbeda, tapi setelah selesai lukisan tetap nyaris serupa dengan karya bapaknya. Meski demikian, Alrona belum menjadikan aktivitas melukis itu sebagai profesi.

"Saya melukis hanya untuk hobi. Kalau sekarang membantu menjual lukisan bapak," tutur Alrona.

Â