Sukses

Siapa Bilang Penyandang Disabilitas Intelektual Tak Bisa Bermain Sepak Bola?

Sembilan anak yang tersebar di berbagai lokasi di Jawa Barat itu memanfaatkan lapangan stadion untuk berlatih agar menjadi salah satu andalan untuk mendulang prestasi internasional.

Liputan6.com, Bandung Sepak bola adalah cabang olah raga yang sangat populer di masyarakat. Namun, bagi penyandang disabilitas intelektual, nyaris tak ada ruang bersama untuk memainkan si kulit bundar. Jika pun ada, mereka kerap tersisih dari kalangan orang normal.

Namun di Kota Bandung, Jawa Barat, kesempatan kepada anak-anak disabilitas intelektual untuk merintis karier sebagai pesepak bola mulai menemui jalannya. Apalagi hal itu berdampak pada prestasi di bidang olahraga.

Seperti yang tampak pada lapangan Stadion Sport Jawa Barat, Jalan Arcamanik. Tak banyak yang mengetahui bila sejumlah atlet disabilitas intelektual sedang berlatih di lapangan hijau.

Mereka sejak berbulan-bulan lalu berlatih keras selama berjam-jam, dua kali seminggu. Sembilan anak yang tersebar di berbagai lokasi di Jawa Barat itu memanfaatkan lapangan stadion untuk berlatih agar menjadi salah satu andalan untuk mendulang prestasi internasional.

Anak-anak muda tersebut tampak serius berlatih. Mereka seolah tak peduli terhadap peluh keringat yang membasahi tubuh dan sengatan sinar matahari yang terik.

Maulana Adnan, pria yang melatih anak-anak disabilitas intelektual mengatakan, mereka merupakan hasil seleksi yang dilakukan Special Olympics Indonesia (SoINA) Jawa Barat.

Moel, sapaan akrabnya, mengatakan latihan yang dijalani sembilan anak tersebut dalam rangka pemusatan latihan untuk ajang Asia Pasific Special Olympic International Football Championship (SOIFC) 2019 di India.

"Kita sudah lakukan latihan dan seleksi pemain dari 8 Mei. Sekarang tinggal sembilan pemain dan rencana komposisi pemain berjumlah 8 orang sesuai regulasi," kata Moel saat ditemui Kamis (4/7/2019).

Asia Pasific SOIFC 2019 rencananya akan berlangsung pada 3 Agustus di Chimney, India. Kejuaraan itu diperuntukan untuk atlet penyandang disabilitas intelektual dan Jabar akan mewakili tim sepak bola putra.

Moel mengatakan, dipilihnya Jawa Barat untuk mewakili Indonesia karena mereka berhasil menyumbangkan prestasi di ajang Special Olympics World Summer Games (SOWSG) 2019 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Maret lalu.

"Kita memang menang emas di kategori futsal waktu itu. Karena itu setelah berprestasi, kita bentuk tim sepak bola putra yang diharapkan dapat bersaing kembali," ujarnya.

2 dari 3 halaman

Cara Melatih Disabilitas Intelektual

Hal yang menarik dalam melatih penyandang disabilitas intelektual adalah cara melatihnya. Moel menerapkan aturan unifit, yakni melibatkan pemain sepak bola nondisabilitas untuk mendampingi di dalam lapangan. Namun tetap, mereka yang disabilitas yang harus mencetak gol.

"Anak-anak ini kan dalam psikotesnya memiliki IQ di bawah 70. Mereka ini dilihat interaksinya terhadap lingkungannya kurang, sehingga untuk menyatukan mereka agak repot," kata Moel.

Meski repot, Moel mengajak unifit dan beberapa pemain nondisabilitas. Hal itu dilakukan untuk membantu para disabilitas mengembangkan permainan tim.

"Untuk itu saya minta bantuan unifit. Saat mereka bermain dicampurkan dengan nondisabilitas. Pernah kita coba sesama disabilitas bertanding dan hasilnya mereka kebingungan di lapangan," kata Mul.

Nantinya, pada saat bertanding, tim akan bermain dengan model Five a side game. Lapangan rumput tersebut lebih kecil dari lapangan sepak bola pada umumnya, yaitu 25 x 43 meter. 

"Kalau saat turnamen nanti murni pemainnya itu penyandang disabilitas intelektual. Unifit ini hanya saat latihan saja," kata Moel menjelaskan.

Salah satu pemain disabilitas, Yadis mengatakan senang bisa memperkuat tim yang akan dibawa ke India nanti.

Yadis, siswa kelas 1 SMK LB, mengaku hobi bermain bola sejak kecil. Dia menyukai futsal dan itulah yang melatarinya untuk ikut bermain sepak bola. Ia bercita-cita suatu saat nanti menjadi pemain profesional.

"Kalau cita-cotanya ingin jadi pemain sepak bola Indonesia," kata Yadis.

3 dari 3 halaman

Butuh Kesabaran Ekstra

Menjadi pelatih atlet difabel bukan hal mudah untuk dilakoni. Butuh kesabaran ekstra dan ketulusan hati untuk mencetak atlet disabilitas berprestasi.

Moel adalah pendiri Moel Futsal Academy. Sebagai pelatih, ia biasa memberikan taktik dan teknik dalam mengolah si kulit bundar terhadap para siswanya. Namun, untuk melatih anak disabilitas diakuinya tidak cukup sekadar memberi taktik dan teknik.

Moel menyadari karena keadaan dan keterbatasan, mereka kerap tersisihkan dalam pergaulan dan kehidupan sehari-hari. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang di sekitarnya mengabaikan hak-hak dan kewajiban mereka.

"Tantangannya luar biasa menghadapi mereka ini. Kita harus bersabar karena mereka ini harus diulang terus. Karena itu, dalam pertandingan itu harus ada pendamping. Dengan pola seperti ini daya ingatnya akan lebih lama dan tentunya harus terus dipantau. Kalau melakukan kesalahan, mereka jangan dimarahi," ujarnya.

Moel pernah mendapati anak asuhnya mendadak hilang dalam sesi latihan. Hal itu lantaran tidak adanya pendamping.

"Walau sebagai pelatih, mereka tetap harus diberi pendamping. Boleh gurunya, orang tuanya atau saudaranya. Makanya di setiap latihan para pendamping selalu berada di pinggir lapangan," ujarnya.

Moel tak menampik anggapan di masyakarakat jika penyandang disabilitas intelektual itu dianggap aneh atau sakit, sehingga harus diberikan ruang kepada mereka agar memberi penegasan di masyarakat bahwa mereka juga bisa bersaing. Caranya melalui prestasi di bidang sepak bola.

"Mudah-mudahan dengan ikut turnamen ini mereka bisa bersaing di sana. Kalau secara pelajaran di sekolah, mereka sulit mengikuti. Karena itu dengan ikut kejuaraan agar mereka tidak lagi minder dan dikucilkan," kata Moel.

Simak video pilihan berikut ini: