Sukses

Kekeringan Meluas, Ratusan Hektare Sawah di Banyumas Puso

Secara keseluruhan, di Banyumas sedikitnya 500 hektare tanaman padi terancam puso atau gagal panen

Liputan6.com, Banyumas - Seorang pria bercaping melintas pematang di persawahan Desa Cingebul, Lumbir, Banyumas. Tangannya menenteng sabit. Angin kering kencang meniup tanaman padi yang lunglai lantaran kekeringan.

Pria ini tak hendak memanen padi. Ia hendak mencari rumput untuk pakan ternak. Lazimnya sawah kekeringan, gulma begitu pesat tumbuh dan bahkan lebih tinggi dari tanaman utama yang kerdil.

Angin kencang yang kering mengabarkan tetes hujan masih jauh dari harapan. Juli, dalam perhitungan kalender musim adalah mangsa siji, atau musim pertama, di mana cekaman kemarau mulai menggit.

Sementara, padi yang ditanam petani baru berumur kisaran 60 hari setelah tanam. Naga-naganya, 48 hektare sawah di kompleks utara desa bakal puso.

Tanda-tandanya sudah terlihat. Di usia 60-an hari atau lebih, mestinya padi mulai bunting, atau bahkan berbunga. Tetapi, padi-padi petani itu tetap kerdil. Di beberapa bagian sawah yang lebih tinggi, bahkan padi mulai mati.

Cingebul hanya satu di antara puluhan desa lain yang sawahnya terancam puso. Secara keseluruhan, di Banyumas sedikitnya 500 hektare tanaman padi terancam puso atau gagal panen.

Bahkan, puluhan hektare di antaranya, dipastikan sudah puso. Salah satunya di Desa Cingebul ini. Seluruh tanaman padi itu berada di sawah tadah hujan.

Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Banyumas, Widiarso mengatakan sawah puso atau yang terancam puso tersebar merata mulai dari Banyumas sisi barat seperti Kecamatan Lumbir, tengah dan timur seperti Kecamatan Purwojati, Jatilawang, hingga Sumpiuh.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini

2 dari 2 halaman

Musim Tanam Padi yang Lambat

“Terutama di daerah tadah hujan ini sudah sekitar 500 hektare. Di spot-spot tertentu itu tidak ada irigasi. Hanya mengandalkan air hujan,” katanya, akhir Juni 2019 lalu.

Musim hujan tahun ini telat tiba sehingga sawah tadah hujan baru memulai musim tanam pada Januari. Akibatnya, panen masa tanam pertama baru dilakukan pada April 2019.

Lazimnya, petani melakukan tanam pertama pada November dan Desember. Pada Maret, petani panen raya yang lantas dilanjutkan dengan persiapan musim tanam kedua.

Tetapi, pada 2019 ini petani terlambat. Masa tanam pertama yang telat berimbas terlambatnya musim tanam kedua. Petani, baru mulai menanam padi pada Mei dan Juni 2019.

Sementara, Mei merupakan masa peralihan dan permulaan kemarau. Akibatnya, padi mulai kekeringan bahkan ketika baru saja tanam. Pasalnya, petani hanya mengandalkan pengairan sawahnya dari air hujan.

“Mei-Juni ini baru mulai tanam. Lha, kalau sekarang masih ada tanaman yang muda itu ya jelas pasti terancam kekeringan,” ujarnya.

Widiarso mengklaim Dinas Pertanian telah menerima permintaan bantuan mesin pompa air di wilayah-wilayah yang berdekatan dengan sumber air atau sungai. Namun, untuk daerah yang jauh dari sumber air atau sungai yang mengalir sepanjang tahun hampir dipastikan puso.

“Di wilayah yang berdekatan dengan sumber mata air bisa termanfaatkan. Tapi pasti ada yang puso, karena kalau tidak ada hujan sama sekali ya mereka tidak tertolong,” ujarnya.

Ada kemungkinan luasan sawah yang mengalami puso masih akan bertambah. Pasalnya, sekarang masih banyak padi berusia muda di daerah-daerah tadah hujan.

Namun begitu, Widiarso mengatakan luasan lahan yang mengalami puso tak akan berdampak signifikan pada ketahanan pangan Banyumas. Sebab, luasan lahannya hanya sekitar 1,5 persen dari keseluruhan sawah di Banyumas yang memiliki total luas sawah 32 ribu hektare.