Liputan6.com, Banyumas - Dingin menusuk-nusuk sumsum meski binar matahari mulai menguapkan embun musim kemarau awal Juli 2019. Jumat adalah hari yang baik mengawali sesuatu, tak terkecuali bagi empat bocah pinggir hutan Banyumas yang itu hari mendaftar sekolah.
Sekolah ini terletak di Dusun Pesawahan, Desa Gununglurah, Cilongok, Banyumas. Dari jalan raya utama, kampung Pesawahan berjarak kurang lebih 15 kilometer.
Jalan menanjak tajam. Sepanjang jalan berjejer-jejer pinus muda. Pinus lebih tua melingkupi lingkungan MTs Pakis, yang ditasbihkan sebagai sekolah alam.
Advertisement
Baca Juga
Pada Penerimaan Peserta Didik Baru atau PPDB 2019 ini, MTs Pakis kembali menerima siswa baru. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya daftar ulang sekolah ini menggunakan hasil bumi.
Kepala MTs Pakis, Isrodin mengatakan mendaftar sekolah menggunakan hasil bumi adalah upaya sekolah untuk memberi kesempatan kepada anak-anak pinggir hutan yang sebagian besar berasal dari keluarga miskin.
MTs Pakis, Cilongok, Banyumas tak membebani siswa dengan iuran apapun. Satu-satunya iuran adalah saat mendaftar, yakni dengan hasil bumi.
Hingga Minggu, 7 Juli 2019, baru ada empat siswa yang mendaftar sekaligus daftar ulang. Siswa dan orang tua membawa hasil bumi dari ladang orang tua siswa. Sebaliknya, siswa akan mendapat alat tulis dan kaos.
“Kita menerima empat orang, baru empat yang sudah mendaftar. Masih sama dengan hasil bumi,” kata Isrodin kepada Liputan6.com, Minggu, 7 Juli 2019.
Dia yakin siswa akan bertambah banyak seusai PPDB di sekolah negeri maupun swasta. Saat itu lah, pengajar atau pendamping MTs Pakis, menyisir bocah-bocah pinggir hutan yang belum mendaftar ke sekolah manapun.
Kopi dan Singkong untuk Daftar Sekolah
Pengajar atau disebut pendamping di MTs Pakis, akan menyisir desa Gununglurah, Desa Sambirata dan desa-desa pinggir hutan lainnya. Sangat mungkin masih banyak bocah pinggiran hutan yang belum mendaftar sekolah.
“Antara tanggal 15 sampai kurang lebih tanggal 20 Juli,” dia mengungkapkan.
Dalam pendaftaran sekaligus daftar ulang pada Jumat (5/7/2019) lalu, Radit siswa asal Desa Sambirata membawa talas dan singkong. Kemudian Sulis, warga Sambirata membawa ubi jalar. Dua siswa ini sama-sama berawal dari Dusun Karanggondang.
Tak kalah dengan Radit dan Sulis, Dandi, bocah asal Kampung Pesawahan Desa Gununglurah membawa kopi lima kilogram. Adapun Resa, siswa asal Gununglurah, membawa beras. Kopi dan beras adalah hasil bumi kali pertama yang dibawa siswa.
“Dandi adalah adiknya Tasripin,” ucap Isrodin.
Sekadar pengingat, Tasripin beberapa tahun lampau pernah bikin geger negeri ini. Ia menjadi perhatian nasional lantaran seorang diri mengurus tiga adiknya yang masih kecil-kecil.
Anak itu bertindak layaknya bapak dan ibu sekaligus dalam waktu bersamaan, mulai mencari kayu bakar, memasak, hingga memandikan adik-adiknya sebelum berangkat ke sekolah. Dan itu, dilakukan Tasripin sejak kelas 4 SD.
Ayah Tasripin, waktu itu merantau ke Kalimantan. Sementara, ibunya meninggal lantaran tertimpa longsor tebing batu sewaktu Tasripin kecil.
Tasripin lulus dari MTs Pakis tahun lalu. Mengikuti jejak sang kakak, Dandi bersekolah di sekolah alam ini. Sekolah ini hanya berjarak selemparan penggalah dari rumahnya di Dukuh Pesawahan.
Advertisement
Sekolah Alam ala Mts Pakis
Terkini, siswa MTs Pakis kelas 2 dan 3 berjumlah 21 anak. Sebelumnya, MTs Pakis meluluskan tujuh siswa.
“Ya kalau dengan sekarang berarti sementara 24 anak. Nanti kemungkinan besar bertambah,” ucapnya.
MTs Pakis, Gununglurah, Cilongok, Banyumas, memang beda dengan sekolah formal lainnya. Konsepnya adalah sekolah berbasis alam. Ini mempertimbangkan lokasi sekolah yang berada di perkampungan kaki Gunung Slamet dan benar-benar terpencil.
Di sekolah ini, siswa tak menghabiskan waktu sepanjang hari di kelas. Mereka membagi kegiatan akademik dan kegiatan pembelajaran alam, seperti bertani, beternak dan belajar mengenal alam sekitar.
Sekolah ini mungkin menjadi alternatif bagi anak-anak yang terpinggirkan karena kemiskinan dan fasilitas pendidikan yang tak merata. Bocah pinggir hutan jauh dari sekolah umum. Ekonomi keluarga tak mampu menopang biaya transportasi jika menempuh perjalanan jauh tiap hari.
Tak aneh jika di wilayah pinggir hutan masih banyak orang tua yang menganggap pendidikan tak begitu penting. Adakalanya, setelah lulus SD, anak-anak ini merantau. Jika tidak, mereka membantu orang tuanya di ladang.
“Saya yakin masih banyak yang belum mendaftar sekolah,” ujar Isrodin.
Isrodin menjelasan, konsep awal sekolah ini tak lepas dari muasal kegiatan sanggar belajar Paket C di Grumbul Pasawahan. Di kampung itu, sejak awal 2010-an lalu, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Argowilis membuka Paket C untuk masyarakat setempat.
Kesempatan Pendidikan untuk Anak Pinggir Hutan
Potret betapa terbelakangnya pendidikan di Dukuh Pesawahan, tempat MTs Pakis berdiri terlihat dari tingkat pendidikan warganya. Pada masa awal MTs Pakis berdiri pada 2013, dari sebanyak 111 keluarga dengan sekitar 500 jiwa, hanya ada satu orang yang lulus SLTA. Tetapi, orang itu bukan lah penduduk asli Pesawahan.
Ia adalah pendatang. Boleh dibilang, tak ada satu pun warga Pesawahan yang lulus SMA. Sementara, dari ratusan warga itu, saat itu hanya ada empat orang yang lulus SLTP.
“Warga yang lulusan SMA itu hanya satu. Itu pun pendatang. Berarti tidak ada. Yang SMP empat orang, setingkat SLTP,” ujarnya.
Saat itu, masyarakat dan relawan Yayasan Argowilis menggelar semacam Focus Gorup Discussion (FGD). Hasilnya adalah mereka membuka kelas paket C dan menginisiasi layanan pendidikan setingkat SLTP dan pesantren.
Itu sebabnya, sekolah ini berbasis pada potensi sekitar, yakni pertanian, hutan dan alam seisinya. Dia menyebutnya sebagai sekolah berbasis Agro forestry.
Seluruh siswa MTs Pakis berasal dari keluarga yang kurang mampu. Maka, sekolah benar-benar menggratiskan sekolah ini, mulai dari biaya pendaftaran, daftar ulang, hingga biaya bulanan.
Meski begitu, seringkali, orang tua siswa membawa hasil bumi, seperti beras, ketela pohon, pisang, ubi jalar, dan ayam meski tak diwajibkan. Itu adalah tanda kasih kepada para pengajar yang telah memberi kesempatan anak-anak mereka bersekolah di tengah keterbatasan ekonomi.
“Jadi ada yang bawa talas, pisang. Yang penderes ya bawa gula. Kemudian yang kemarin, bibit tanaman,” dia mengungkapkan.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement