Sukses

Tarik Ulur Hukuman Pelaku Asusila di Kota Malang, Denda Sejuta dan Bayar Bata

Pelaku asusila didenda Rp1,5 juta, pelaku kekerasan dalam rumah tangga didenda Rp1 juta. Serta Rp500 ribu untuk pelaku narkoba dan miras.

Liputan6.com, Malang - Hukuman membayar semen, pasir, sampai denda membayar bata sering diterapkan pada pelaku asusila dan pelanggar norma sosial di masyarakat. Yang paling ekstrim, pasangan zina bisa diarak keliling desa. Peristiwa itu pernah terjadi di RW 2, Mulyorejo, Kota Malang.

Sanksi itu umumnya tidak tertulis, tapi jadi kesepakatan bersama. Sekarang bisa jadi sangat sedikit kampung maupun desa yang menerapkan aturan itu. Begitu juga RW 2, Mulyorejo, Kota Malang, tidak lagi menggunakan hukum adat itu.

Kini pengurus RW 2 memilih sanksi baru, yakni memuat denda uang. Misal, pelaku asusila didenda Rp1,5 juta, pelaku kekerasan dalam rumah tangga didenda Rp1 juta. Serta Rp500 ribu untuk pelaku narkoba dan miras.

Ada aturan lainnya yang mensyaratkan warganya mengisi kas kampung dengan uang yang sudah ditentukan. Sejumlah aturan itu, khususnya denda duit bagi masalah asusila yang viral di media sosial. Namun aturan itu mendapat beragam respon warganet dan pada akhirnya dicabut.

Ketua RW 2 Mulyorezo, Azhari mengatakan, denda membayar 1 pikap penuh bata terakhir terjadi 5 tahun silam. Saat itu, ada pasangan bukan suami istri digerebek di rumah kontrakan dan didenda bata agar tak diproses ke polisi.

"Tapi kami malah tertipu. Setelah dilepas, dia memang benar mengirim bata tapi ternyata belum dibayar. Saat itu saya belum ketua RW," ujar Azhari di Malang, Jumat, 12 Juli 2019.

Sejak itu hukum adat itu tidak lagi dijalankan. Beberapa bulan lalu, seorang warga melapor istrinya kencan bersama pria lain di sebuah rumah. Kasus diselesaikan dengan damai, termasuk tidak mendenda pelaku asusila itu ataupun membawa ke Polres Kota Malang.

"Si pria tidak sampai melabrak dan tidak ada denda. Hukuman denda bata dan lainnya kan tidak tertulis, malah disebut pemerasan karena tidak ada dasarnya," tutur Azhari.

2 dari 3 halaman

Aturan Tertulis

Karena ingin membuat aturan yang dinilai bisa lebih mengikat, dibuatlah tata tertib tersebut. Setelah viral, Pemerintah Kota Malang mengundang pengurus RW. Pemkot meminta tata tertib itu direvisi serta menghapus denda uang.

Pengurus RW siap mematuhi permintaan itu. Prinsipnya, tata tertib tertulis itu dibuat agar warga turut serta bertanggungjawab menjaga lingkungan. Terutama mereka yang kontrak dan kos tidak bertindak yang tak sesuai norma. Di kampung dengan 12 rukun tetangga ini cukup banyak warga baru pindah.

"Kami tidak punya data persisnya, karena banyak kompleks perumahan baru. Karena itu harus ada tata tertib tertulis," kata Azhari.

Pernah ada kejadian penghuni kos meninggal dan baru diketahui 3 hari kemudian. Ada pula yang meninggal dunia tanpa memiliki alamat asal yang jelas. Sanksi bayar sejumlah uang agar muncul saling kesadaran lingkungan.

"Tata tertib seperti ugel – ugel, pengingat tertulis. Soal uang itu kan dibawa RT masing-masing. Tapi setelah ini direvisi, bagian bayar uang dihapus," ucap Azhari.

Kepala Bagian Humas Pemkot Malang, Nur Widianto mengatakan, pemkot tidak mempersoalkan ada tata tertib di tingkat RT dan RW dengan kesepakatan bersama. Namun sepatutnya tidak ada pembebanan biaya.

"Utamakan musyawarah mufakat dan kearifan lokal dalam membuat aturan di lingkungan masing-masing," ucap Nur Widianto.

3 dari 3 halaman

Paguyuban Memudar

Dosen Sosiolog Universitas Brawijaya Malang, Anif Fatma Chama menilai tata tertib di kampung dengan hukuman membayar uang menunjukkan terjadi perubahan sosial masyarakat. Ada perubahan bentuk kontrol sosial serta semakin berkurangnya nilai solidaritas sosial.

"Dulu kontrol sosial masyarakat cukup tegur sapa dan mengenal tetangga. Tapi sekarang bentuk norma sudah berubah," ujar Anif.

Contoh lain, dahulu poskamling di kampung secara bergiliran sudah cukup efektif. Tapi sekarang diganti dengan membayar uang untuk menyewa tenaga keamanan. Sehingga sistem kontrol sosial yang lama sudah dianggap tidak efektif.

"Karena itu ada sanksi yang bersifat memaksa dalam bentuk uang. Itu menyangkut legal formal dan tertulis," kata peraih doktor di Victoria University ini.

Pengajar di Program Doktoral Universitas Brawijaya Malang ini menambahkan, itu semua konsekuensi dari perubahan yang tidak terelakkan. Jika dulu masyarakat di Malang masih bersifat patembayan atau guyub, tapi sekarang sudah mulai memudar.

Apalagi di masyarakat perkotaan yang semakin banyak warga pendatang. Aturan sosial pun turut berubah. Sehingga pengawasan antar masyarakat tak bisa lagi seperti dulu. Perekat sosialnya yang sudah mulai memudar dan tak efektif itu pun diganti.

"Sekarang reward dan punishment dibikin lebih menekan dengan cara bayar uang seperti tata tertib itu," kata Anif.

Saksikan video pilihan berikut ini: