Sukses

Para Tengku dan Jejak Kejahatan Seksual Terhadap Anak di Negeri Syariat

Berdasarkan data dihimpun, kasus pelecehan seksual dan sodomi pada tahun 2018 lalu tidak sedikit melibatkan ustaz atau guru mengaji--di Aceh disebut 'tengku'--sebagai pelaku. Kasus ini terjadi antara Februari hingga November.

Liputan6.com, Aceh - Selama kuartal pertama tahun 2019 terjadi sebanyak 158 kasus kekerasan terhadap anak di Provinsi Aceh. Angka ini berdasarkan kasus yang terjadi di 23 kabupaten/kota serta yang ditangani oleh P2TP2A Aceh, Polda, dan LBH Apik.

Tindak kekerasan terhadap anak yang paling banyak terjadi pada 2019 yakni perkosaan, sebanyak 34 kasus. Menyusul pelecehan seksual 33 kasus, kekerasan psikis 22 kasus, fisik, dan penelantaran masing-masing 16 kasus, KDRT 11 kasus, ABH 9 kasus, hak asuh anak 4 kasus, incess dan sodomi 3 kasus, trafficking 2 kasus, eksploitasi ekonomi, dan seksual masing-masing 1 kasus, lain-lain 16 kasus.

Berdasarkan catatan P2TP2A Aceh, angka kasus kekerasan terhadap anak yang tertinggi dalam tiga tahun terakhir terjadi pada 2017, yakni sebanyak 1105 kasus. Pada 2016 terjadi sebanyak 937 kasus, dan pada 2018 terjadi penurunan menjadi 736 kasus.

Angka kasus pelecehan seksual termasuk tinggi dalam kurun waktu tiga tahun tersebut, pada 2016 terjadi sebanyak 177 kasus, 2017 sebanyak 240 kasus, dan 2018 sebanyak 203 kasus. Sementara kasus sodomi bertengger pada angka 47, 70, dan 8.

Berdasarkan data yang dihimpun, kasus pelecehan seksual dan sodomi pada tahun 2018 lalu tidak sedikit melibatkan ustaz atau guru mengaji--di Aceh disebut 'tengku'--sebagai pelaku. Kasus ini terjadi antara Februari hingga November.

Misal, kasus guru mengaji menyodomi 16 muridnya di Kabupaten Aceh Barat Daya. Selanjutnya, kasus guru mencabuli dua muridnya di Kabupaten Aceh Barat.

Kemudian, kasus guru mengaji sekaligus imam masjid mencabuli enam muridnya di Kabupaten Nagan Raya. Lalu, kasus guru mengaji mencabuli 12 muridnya di Kabupaten Aceh Tengah.

Terakhir, kasus guru mengaji mencabuli kakak beradik di Kabupaten Aceh Utara. Teranyar, adalah kasus pelecehan seksual dan sodomi yang menyeret nama pimpinan dan guru salah satu pesantren di Kota Lhokseumawe.

Santri yang teridentifikasi sebagai korban sebanyak 15 orang. Rata-rata korban merupakan anak di bawah umur di mana yang sudah diperiksa oleh polisi baru lima orang di antaranya.

Menurut Kapolres Lhokseumawe, AKBP Ari Lasta Irawan, kedua pelaku berinisial AL (45) dan MY (26) telah melakukan perbuatan 'bejat' mereka sejak September 2018. Modusnya menyuruh para korban membersihkan kamar atau dipaksa tidur ke kamar pelaku.

"Tersangka AI (45) kepada korban R sebanyak 5 kali, korban L sebanyak 7 kali, korban D sebanyak 3 kali, korban sebanyak 5 kali, korban A sebanyak 3 kali. Sementara MY (26), pelecehan seksual dilakukannya terhadap korban R sebanyak 2 kali," sebut Ari, dalam keterangan diterima Liputan6.com, Jumat (12/7/2019).

Pada Sabtu 29 Juni 2019, orangtua dari salah satu korban membuat laporan ke polisi. Beranjak dari laporan tersebut, polisi mulai menekuni kasus ini, menelusuri kemungkinan adanya korban lain, melakukan gelar perkara, dan akhirnya menahan kedua tersangka.

"Keduanya dikenakan Pasal 47 Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dengan ancaman hukuman cambuk 90 kali atau denda paling banyak 900 gram emas murni atau penjara paling lama 90 bulan," sebut Ari. 

2 dari 4 halaman

Qanun dan Undang-Undang

YLBHI-LBH Banda Aceh menilai pasal yang dipersangkakan terhadap kedua tersangka tidak tepat.

Kejahatan seksual terhadap anak masuk dalam kategori extraordinary crime (kejahatan luar biasa) yang memiliki sanksi tersendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Berbeda dengan Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, di dalam undang-undang tersebut, hukuman terhadap pelaku mencapai 15 tahun penjara, sementara di dalam qanun hanya 90 bulan atau 7,5 tahun penjara.

"Pasal 47 Qanun Jinayah adalah pelecehan seksual yang korbannya secara umum, yang kemudian jangan serta-merta pasal ini bisa dilekatkan kepada pelaku seksual yang korbannya adalah anak," ujar Direktur YLBHI-LBH Banda Aceh, Syahrul kepada Liputan6.com, Jumat sore (12/7/2019).

Cara pandang polisi memukulrata pemberian sanksi kasus kejahatan seksual terhadap anak dengan kasus pelecehan seksual secara umum seperti yang tertera di dalam qanun dinilai keliru.

Jika dipaksa hanya akan memunculkan persepsi bahwa penegak hukum tidak punya frame perlindungan terhadap anak.

"Kita khawatir, banyak hak anak yang menjadi korban sebagaimana yang telah diatur undang-undang perlindungan anak akan hilang. Hak untuk pemulihan, hak untuk mendapatkan restitusi atau ganti kerugian sebagai korban tindak pidana, dan hak hak lain," sebut Syahrul.

3 dari 4 halaman

Dalih Polisi

Kasat Reskrim Polres Lhokseumawe, AKP Indra Herlambang, membenarkan kalau polisi harusnya berpedoman kepada Undang-Undang Perlindungan Anak bukan qanun.

Namun, pihaknya tidak bisa melompati aturan yang berlaku khusus di Serambi Makkah.

"Di Aceh berlaku lex specialis. Yang harus kita dahulukan adalah undang-undang yang mengatur lebih khusus terkait dengan hal ini. Masalah yang diresahkan oleh LBH sudah kami pikirkan dan sudah pernah kami bahas dengan JPU dari Kejari Lhokseumawe. Semuanya berpendapat bahwa kasus ini diterapkan UUPA, hanya sistem hukumnya tidak mengatur hal tersebut," jelas Indra kepada Liputan6.com, Jumat malam (12/7/2019).

Indra mengatakan, kasus ini tetap akan dimejahijaukan di Mahkamah Syar'iyah bukan Pengadilan Negeri. Mahkamah Syar'iyah adalah salah satu pengadilan khusus yang merupakan pengembangan dari Peradilan Agama di Provinsi Aceh.

"Kalau dari saya, jika memang orang khawatir kalau hukumannya terlalu ringan, ya silahkan dikawal kasus ini nanti di MS," ujar Indra.

Syahrul menampik bahwa Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat merupakan aturan lex specialis seperti yang dimaksudkan oleh Indra. Karena qanun tersebut tidak berlaku khusus.

Dengan kata lain, pasal 47 dalam qanun yang dimaksud adalah pasal yang berlaku umum. Tidak secara khusus mengatur sanksi terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak, sebagai berikut:

"Setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah pelecehan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terhadap anak, diancam dengan ‘uqubat ta’zir cambuk paling banyak 90 kali atau denda paling banyak 900 gram emas murni atau penjara paling lama 90 bulan."

Jadi, pemberlakuan sanksi berdasarkan qanun bertentangan dengan fakta bahwa qanun tidak mengatur secara khusus sanksi terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Melainkan telah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak sebagai aturan lex specialis.

"Malah itu (pernyataan Indra) lebih tidak mampu memahami lex specialis derogat legi generali. Dalam hal ini, specialis untuk anak itu adalah undang-undang perlindungan anak di mana pun di Indonedia. Kecuali, Aceh punya qanun perlindungan anak sendiri," ketus Syahrul.

4 dari 4 halaman

Asmodeus dalam Diri Para Tengku

Jerat Asmodeus--sang penguasa birahi dalam mitologi Yunani--memang bisa menyasar siapa saja, tidak terkecuali seorang guru pesantren atau ustaz sekalipun.

Menurut Psikolog, Diah Pratiwi, ini terjadi karena hasrat biologis seseorang tidak pernah memandang status yang melekat padanya.

Hasil temuan Diah, kebanyakan ustaz atau guru mengaji yang melakukan kejahatan seksual terhadap muridnya memiliki kelainan atau kecenderungan seksual yang menyimpang. Sementara, banyak di antara korban yang memilih bungkam karena terancam atau takut.

"Bak fenomena gunung es. Ada yang awalnya mau mengungkapkan, namun belakangan tutup mulut. Bisa jadi karena posisi pelaku dan sebagainya, dan sebagainya," kata mantan Ketua P2TP2A Kabupaten Aceh Barat itu.

Fakta bahwa angka kasus kejahatan seksual terhadap anak termasuk melejit di Aceh, sedikit banyak mencoreng citra provinsi paling barat ini sebagai Serambi Makkah atau negeri syariat. Terlebih, para pelaku adalah orang-orang yang dianggap religius atau pemuka agama.

Wakil Ketua Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk. Faisal Ali, mengatakan bahwa fenomena ini tidak terlepas dari lemahnya regulasi di Provinsi Aceh yang dapat memfilterisasi mana tenaga pendidik yang memiliki kapasitas moral dan tidak.

"Misalnya, saat kita lihat ada seseorang yang bersuara bagus ketika membaca Alquran, langsung kita jadikan guru mengaji anak. Padahal, kapasitasnya sebagai tenaga pendidik tidak ada," kata Faisal diwawancari Liputan6.com.

Ia menyarankan pentingnya membuat rumusan tertentu yang bisa menjadi patokan. Rumusan yang menjadi pagar betis, menyaring para tenaga pendidik yang memiliki integritas guna meminimalisir kejadian serupa ke depannya.

"Perlu ada rumusan-rumusan tingkat desa atau kampung tidak mesti harus pakai qanun. Fasilitas yang ada di lembaga pendidikan, maupun pendidikan Alquran juga mesti di-support dan melibatkan semua pihak," cetusnya.

Terlepas dari itu, memulihkan kondisi psikis dan relasi sosial anak yang pernah menjadi korban adalah hal utama. Agar para korban dapat kembali hidup dan tumbuh berkembang, serta berpartisipasi tanpa dibayang-bayangi oleh pengalaman traumatis yang pernah dialaminya.

Saksikan video pilihan berikut ini: