Liputan6.com, Bandung Menginjakkan kaki di Kota Bandung, tak lengkap rasanya jika belum bernostalgia dengan suasana kehidupan masa lampau. Apalagi Kota Kembang punya deretan puluhan bangunan tua bercorakkan arsitektur masa lampau.
Dari sekian banyak bangunan lama di Bandung, masih ada sejarah yang belum dituliskan. Bagi yang meminati sejarah terutamanya perkembangan kota, menemukan artefak peninggalan manusia di masa lalu menjadi vitamin penambah wawasan yang akan berguna bagi kehidupan di masa depan.
Advertisement
Baca Juga
Barangkali itu yang terlintas di benak puluhan orang yang mengikuti tur jalan kaki bertajuk Jelajah Kawasan Babakan Ciamis, yang diadakan komunitas pencinta sejarah Heritage Lover.
Wadah penikmat sejarah yang didominasi kaum hawa ini berjalan menyusuri jalan hingga gang kecil yang berada di sekitaran Babakan Ciamis, Minggu (14/7/2019) pagi.
Babakan Ciamis termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Sumur Bandung. Selain menjadi tempat tinggal, daerah Babakan Ciamis terdapat Sungai Cikapundung yang merupakan sumber kehidupan warga sekitar.
Sungai Cikapundung ini dulunya memiliki air jernih dan sejuk. Karena kejernihan airnya, banyak warga Babakan Ciamis yang mengambil keuntungan dari kehadiran Cikapundung.
Tak jauh dari Cikapundung, kawasan Babakan Ciamis juga memiliki kisah sebuah bangunan tua yang menjadi saksi perjalanan bangsa meraih kemerdekaan. Ya, bangunan itu tak lain adalah Gedung Landraad yang dibangun pada 1900 dan kemudian diresmikan pada 1917.
Landraad adalah Gedung Pengadilan Kolonial setingkat Pengadilan Negeri. Di lokasi ini, empat tokoh nasional Indonesia, yaitu Gatot Mangkoepraja, Soepriadinata, Maskoen, dan Soekarno, pada 18 Agustus 1930 hingga 22 Desember 1930 disidang di pengadilan ini. Gedung bersejarah itu kini bernama Gedung Indonesia Menggugat.
Nama Indonesia Menggugat adalah sendiri diambil dari pidato pembelaan atau pledoi yang dibacakan oleh Soekarno pada persidangan di Landraad, pada tahun tersebut.
Pernah Menjadi Perkuburan Tionghoa
Penutur dari komunitas Heritage Lover, Dewi Diana Saraswati juga mengajak peserta ke tujuan lain yang jarang tersentuh oleh masyarakat. Dia mengajak mereka berjalan melalui gang Babakan Ciamis.
Mulainya dari samping Gedung Indonesia Menggugat. Tepat di belakang gedung, terdapat beberapa rumah tua yang khas. Seperti pada bagian genting, ornamen jengki dan bahkan ada yang masih menggunakan bilik.
Dalam kesempatan keliling itu, peserta memanfaatkan waktu melihat bangunan sambil berfoto.
Sementara itu, Dewi mengisahkan peristiwa meluapnya Sungai Cikapundung. Peristiwa itu terjadi November 1945. Akibatnya, rumah-rumah di bantaran Cikapundung habis tersapu derasnya air termasuk di antaranya Babakan Ciamis.
Selain peristiwa banjir, Babakan Ciamis juga pernah menjadi lokasi perkuburan masyarakat Tionghoa di Bandung. Sebelumnya, perkuburan yang juga disebut Sentiong ini berada di Banceuy sejak tahun 1856.
Di perkuburan itu, selain orang Tionghoa juga ada makam orang-orang Belanda. Seiring adanya Undang-Undang Pembangunan Kota Bandung tentang pemakaman jenazah, Sentiong dibongkar dan janazah-jenazah dipindahkan. Makam orang-orang Belanda dipindahkan ke Kebon Jahe, lalu dipindahkan lagi ke Pekuburan Pandu. Sedangkan orang Tionghoa dipindahkan ke Gang Babakan Ciamis pada 1890-an.
"Dari Babakan Ciamis lalu dipindahkan ke Cikadut sejak 1900-an hingga sekarang," ujar Dewi.
Dewi menjelaskan, adanya perkuburan Tionghoa menjadi tanda bahwa adanya peradaban masuknya mereka ke Bandung.
"Sejarah masuknya bangsa Tionghoa ke Bandung dalam buku Haryoto Kunto, pertama kali pada 1825. Mereka datang berombong, ada yang sebagian berjualan kayu. Tinggalnya di kawasan Tamblong hingga Suniaraja," kata Dewi.
Advertisement
Nisan Letnan Pertama di Bandung
Perjalanan jelajah Babakan Ciamis dilanjutkan sambil mengelilingi gang-gang yang semakin sempit. Bahkan, ada gang yang hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki saja.
Salah satu tujuan dari tur jalan kaki ini adalah lokasi batu nisan makam salah satu dari tiga letnan Tionghoa yang ada di Bandung. Letnan yang dimaksud tidak ada kaitan dengan jabatan militer. Sebab pada masa pemerintahan Hindia Belanda, posisi letnan diberikan sebagai seorang pemimpin masyarakat Tionghoa.
Rupanya nisan tersebut berlokasi di RT 05 RW 03. Sebuah batu sisa makam bertuliskan Luitenant Oeij Bouw Hoen ditemukan di sebuah tembok rumah milik warga.
Sayangnya, lokasi di sekitar batu nisan tersebut tampak tidak terawat. Makamnya sendiri tampak sudah tak ada, berganti dengan tumpukan berangkal. Bahkan tertutup dengan hidran pemadaman api.
Pada batu nisan terdapat tulisan Luitenant Oeij Bouw Hoen 1882. Dia menjabat letnan pada 1881-1882. Selanjutnya, jabatan tersebut diberikan kepada Chen Hai Long atau Tan Hai Long (1882-1888) dan dilanjutkan putranya yakni Tan Joen Liong (188-1917). Tan Joen Liong sendiri mendapat gelar kehormatan Kapitein Titulair Der Chineezeen.
Ketua Heritage Lover, Primastuti mengaku jelajah ini dilakukan karena ingin menggali suasana masa lalu terkait Babakan Ciamis. Pihaknya kerap mendengar cerita soal adanya makam orang Tionghoa dan peristiwa banjir Cikapundung.
"Awalnya kita menemukan informasi adanya bangunan di sekitaran Babakan Ciamis, dulunya di daerah situ ada sentiong. Terus setelah didatangi ke lokasi jadi tahu sekarang jadi apa. Misal, ternyata masih ada nisan yang berkaitan dengan kedatangan orang Tionghoa," kata Primastuti.
Menurutnya, dengan adanya permakaman, hal itu bisa membantu masyarakat menggali sejarah perkembangan sebuah kota.Â
"Jadi jalan-jalan ini tujuannya menyusuri sisa-sisa masa lalu. Apa yang bisa direkam sebelum itu (mungkin) hilang. Kadang-kadang kan perkembangan kota tidak bisa ditahan, jadi minimal direkam dulu," ujarnya.
Â
Simak video pilihan berikut ini: