Liputan6.com, Palembang - WK (14), salah satu siswa SMA Taruna Indonesia Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel), yang menjadi korban kekerasan saat Masa Orientasi Siswa (MOS) hingga saat ini masih belum sadarkan diri. Korban dirawat di ruang ICU lantai III di Rumah Sakit (RS) Charitas Palembang.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti turut menjenguk korban dan berbincang-bincang dengan orangtua WK.
Dari pengakuan ibu WK, Nurwanah, dia bersama suaminya Suwito mengantar anaknya ke SMA Taruna Indonesia Palembang pada hari Sabtu (6/7/2019) dalam keadaan sehat.
Advertisement
Baca Juga
Namun pada Sabtu (13/7/2019), mereka berdua mendengar kabar anaknya sudah mengalami luka-luka akibat kekerasan fisik.
“Sebelum koma, WK sempat cerita ke orangtuanya kalau korban dapat pukulan saat MOS,” katanya saat menggelar rapat di Dinas Pendidikan (Disdik) Sumsel, Rabu (17/7/2019).
Korban pun diduga mengalami trauma dan sempat berteriak-teriak agar jangan dipukuli. Orangtua korban juga sempat merekam cerita anaknya tersebut.
Setelah melakukan operasi, anaknya tidak sadarkan diri di RS Charitas Palembang. Hal ini semakin membuat orangtua korban semakin terpukul.
“Polisi masih menunggu sampai korban sadar,sekarang masih dalam keadaan koma. Tapi kita tetap praduga tak bersalah,” ujarnya.
Ketua KPAI ini juga sempat berbincang dengan dokter yang menangani korban. Dari pengakuan dokter, korban mengalami kerusakan organ yang parah, terutama di bagian ususnya.
Bahkan kemungkinan besar, korban tidak mempunyai harapan besar untuk bertahap hidup. Namun dia mengakui kondisi korban yang masih bertahan hidup ini merupakan suatu mukjizat.
“Di setiap kasus besar seperti ini yang heboh di media sosial (medsos) dan media massa, apalagi memakan korban jiwa. Kita baru tahu hari Minggu (14/7/2019), koordinasi dengan Kadis Sumsel di hari Senin (15/7/2019), baru hari ini bisa rapat di Palembang,” katanya.
Langgar Aturan Permendikbud
Kasus seperti ini diakuinya menjadi sesuatu yang mengejutkan, meskipun bukan kali pertama terjadi di Indonesia.
Meskipun sudah ada Peraturan Kementrian Pendidikan dan Budaya (Permendikbud) nomor 18 tahun 2016 tentang pedoman pelaksanaan masa pengenalan lingkungan sekolah, namun kasus seperti ini masih saja terjadi.
“Harusnya tidak boleh lagi ada unsur kekerasan, apalagi melibatkan siswa senoir dan alumni. Guru juga harus jadi panitia inti dan hanya boleh dilakukan selama 3 hari,” ucapnya.
Dari data yang diperoleh KPAI, MOS digelar lebih dari 3 hari dan kematian korban DE (14) dan tumbangnya WK terjadi pada hari Sabtu dini hari.
Penutupan MOS pun digelar pada hari Jumat (12/7/2019) malam sekitar pukul 21.00 WIB dan dilanjutkan dengan kegiatan longmarch.
“Dari informasi sekolah, longmarch dilakukan sepanjang 5 kilometer, tapi dari kepolisian mengukurnya sebenarnya sepanjang 14 kilometer,” ungkapnya.
Advertisement