Liputan6.com, Kutai Kartanegara - Pertengahan 1997, Darta termenung menatap pelita yang menerangi rumahnya. Rumah kayu ukuran 3x5 meter itu menjadi tempatnya beristirahat. Masih banyak cita-cita dan keinginannya merajut masa depan lebih baik. Mari kita simak kisah perjuangan guru di sekolah terpencil.
Darta berasal dari Lampung. Tahun itu ia baru saja menerima SK pengangkatan sebagai guru di Desa Tani Baru, Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Desa ini berada di tengah-tengah Delta Sungai Mahakam. Tak ada jalanan darat. Semua dihubungkan dengan perahu kecil. Sebuah desa terpencil
"Tempat tugas kami waktu itu tak ada listrik, tak ada air bersih karena sehari-hari mengandalkan air hujan. Rumah pun bekas kantor desa. Semuanya sangat terbatas," cerita Darta memulai kisahnya.
Advertisement
Baca Juga
Berawal ketika Darta dan istrinya merantau ke Kabupaten Kutai, Ketika di Lampung, keduanya selalu gagal ikut tes CPNS. Namun ketika di Kutai, nasib baik menghampiri. Mereka diterima sebagai guru dan harus ditempatkan di SD Negeri 014, Desa Tani Baru.
"Namanya kan Desa Tani Baru. Saya pikir itu pasti desa dengan mayoritas penduduknya petani. Perkiraan saya salah. Malah yang saya temukan areal tanpa lahan sama sekali. Semuanya tambak. Ini sebuah sekolah terpencil," kata Darta.
Menjalani beberapa saat, Darta dan istri berniat mundur dari tempat tugas. Kondisi desa dianggap tak bisa membuatnya bertahan.
"Ketika hendak pamitan, saya melihat wajah-wajah murid saya. Kasihan mereka karena tak punya guru sama sekali. Bahkan akhirnya warga memohon agar tetap mengajar di desa. Ternyata mereka sangat merindukan seorang guru," kata Darta dengan suara serak. Matanya sembab menyimpan bendungan air.
Tak berhenti mempermainkan perasaan Darta. Agar bersedia bertahan, warga berupaya membantu semua kebutuhan sehari-harinya. Mulai kebutuhan lauk pauk, minyak, hingga kebutuhan dasar lainnya, warga menyiapkan seadanya. Darta luluh, ia jadi makin termotivasi. Ia putuskan tetap mendai guru di sekolah terpencil.
Â
Mengajar Berdua Saja
Suatu senja Darta mendayung perahu kecil. Ia mendatangi rumah seorang warga. Di rumah itu ada seorang anak usia SD yang berhenti sekolah. Darta membujuk agar sang orangtua tetap mau menyekolahkan anaknya.
"Biasanya anak laki-laki diajak melaut atau mengurus tambak. Karena bisa menghasilkan uang. Kalau sekolah kan tidak," kata Darta.
Orangtua yang enggan menyekolahkan anaknya bukan tanpa alasan. Fasilitas sekolah yang tak memadai, hingga tak ada guru yang bersedia mengajar.
"Waktu saya datang pertama kali ke sini, gedung sekolah hanya satu lokal dengan kondisi tak layak. Atap bocor dan dinding mulai menghilang. Sementara ada 60 siswa di sekolah itu," katanya.
Darta dan istri hanya berdua mengajar enam kelas secara bergantian. Semua dilakukan di tengah keterbatasan. Awalnya mereka yang bertugas ke Desa Tani Baru, berjumlah enam orang. Namun semuanya mengundurkan diri.
"Ada yang hanya bertahan semalam dan langsung minta pulang," kata Darta.
 Simak video perjuangan Darta di tautan ini:
Advertisement
Mandi dengan Segayung Air
Hidup Darta dan istrinya di Desa Tani Baru benar-benar menyiksa. Tak ada akses ke pasar, apalagi ke pusat-pusat perekonomian. Untuk kebutuhan sehari-hari, Darta harus ke ibukota Provinsi yakni Kota Samarinda dengan perjalanan hampir 12 jam menyusuri Sungai Mahakam. Kalau tak sempat, dia tinggal menitipkan ke warga lain yang hendak berbelanja.
Darta mulai menjala ikan untuk bertahan hidup. Tiap menjala, ia mengaku karena Ikannya segar dan cukup untuk dua hari. Akhirnya ia juga menanam sayuran di polybag. Perlahan kebutuhan harian bisa teratasi.
"Bahkan saya sudah bisa mandi hanya dengan air satu gayung," katanya.
Suatu hari, Darta berangkat ke Samarinda. Sejumlah siswa titip dibelikan barang kebutuhan sekolah. Karena tak ingin kebutuhan siswanya hanya tergantung dari warga yang ke Samarinda, Darta berinisiatif membeli terlebih dahulu kemudian dijual kembali.
"Saya ingat dengan modal hanya Rp50 ribu. Saya belikan kebutuhan sekolah dan jual kembali. Rumah dijadikan koperasi. Sekarang malah jadi besar dan jadi toko sembako," kata Darta.
Dari koperasi, akhirnya Darta bisa membeli lahan tambak dan terus meluas. Udang menjadi komoditas utama. Tak hanya untuk kebutuhan domestik, udang dari tambak Darta malah sudah berkualitas ekspor. Perlahan perekonomian Darta meningkat dan makin membuatnya betah mengabdi di desa terpencil.
Untuk meningkatkan fasilitas sekolah Darta selalu mendapat ide. Perhatian pemerintah memang kurang atau telat. Tapi Darta bisa mengandalkan perusahaan migas di sekitar desa. Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan migas itulah yang kini menjadi gedung-gedung sekolah dan halaman.
Karena Desa Tani Baru berada di kawasan Delta Mahakam, maka tak ada daratan. Semua bangunan berdiri di atas air atau tambak. Tak heran jika sekolah ini sering disebut sebagai sekolah tanpa daratan. Halaman sekolah hingga tempat upacara semua terbuat dari kayu ulin.
Di Desa Tani Baru awalnya hanya ada SDN 014. Karena banyak anak tak sekolah, Darta dan istri berinisiatif membentuk SMP. Keinginan itu terwujud dan berdirilah SMP Negeri 4 Anggana di lokasi yang sama.
Saat ini, Darta bersama guru lainnya juga sudah mendirikan SMA filial yang menginduk ke SMA Negeri 1 Anggana. Semuanya berada dalam lingkungan yang sama, bahkan guru yang sama.
"Kami hanya ingin ada kisah wajib belajar 12 tahun di desa ini. Kami inisiatif dan akhirnya terwujud," kata Darta.
Â
Kuncinya Ikhlas
Saat ini, sekolah tersebut ada 142 siswa SD, 60 siswa SMA, dan 58 siswa SMA. Murid sebanyak itu hanya diajar oleh 14 guru, termasuk Darta. Guru akan secara bergantian mengajar sesuai kebutuhan mata pelajaran. Tentu saja kebutuhan guru sangat kurang. Namun hal ini tak membuatnya pantang menyerah. Soal tambahan guru dari pemerintah, Darta hanya bisa pasrah.
"Kalau dari analisis kebutuhan guru, harusnya pemerintah daerah segera tanggap. Namun kita harus tetap maksimalkan yang ada. Kalau dilihat kondisinya, jumlah guru saat ini sudah tak masuk akal dengan jadwal mengajar di tiga sekolah," kata Darta.
Banyak guru tak mau bertugas di sekolah ini karena memang tak ada rumah dinas. Jangankan rumah dinas, rumah kontrakan saja juga tidak ada. Beberapa guru bahkan harus tinggal di sebuah bangunan yang nyaris roboh. Atap dan dinding bocor.
"Inilah perjuangan kami hingga hari ini. Tugas saya harus memotivasi para guru agar bertahan dan tetap semangat mengajar. Saya bilang ke mereka, inilah sebenar-benarnya pengabdian," katanya.
Meski terpencil, SD Negeri 014 Anggana adalah sekolah berprestasi. Banyak penghargaan yang diterima sekolah ini, baik tingkat daerah maupun tingkat nasional. Pada tahun 2008, Darta mendapat penghargaan dari Menteri Pendidikan Nasional sebagai kepala sekolah berdedikasi di daerah khusus atau daerah terpencil.
Pada tahun 2018 lalu, SD yang dimpin Darta mendapat penghargaan Adiwiyata dari Pemerintah Provinsi Kaltim. Sementara untuk tahun ini akan masuk sebagai nominasi peraih adiwiyata tingkat nasional.
Adiwiayata adalah penghargaan yang diberikan kepada orang atau lembaga yang berhasil membangun lingkungan yang sehat dan asri. Sekolah yang dipimpin Darta kini berada di rerimbunan hutan mangrove. Kawasan tandus yang dulu mengelilingi sekolah, kini menjadi hutan mangrove.
Â
Advertisement
Darta Bisa Tersenyum
Tahun 2018, Darta menerima penghargaan Kalpataru. Sebuah penghargaan bergengsi di bidang lingkungan hidup. Revitalisasi Delta Mahakam kini menjadi isu penting yang sedang hangat dibahas karena pernah tandus.
Di halaman sekolah, Darta tersenyum. Dia tak akan pernah lupa sejarahnya datang ke tempatnya mengajar saat ini. Bahkan ia dengan gamblang menceritakan perjalanannya sampai ke Desa Tani Baru, hingga soal pernah putus asa.
"Kebahagiaan saya adalah bagaimana anak-anak di desa ini tetap sekolah," katanya.
Dia masih ingat, pernah ada 15 guru yang ditugaskan ke Desa Tani Baru, kemudian meminta dimutasi karena tidak tahan. Lebih banyak yang minta pulang dan saat ini hanya 14 orang yang masih bertahan, mengajar di tiga tingkatan sekolah. SD, SMP, dan SMA.
Puluhan tahun mengabdi di desa terpencil membuat Darta merasa sangat bermanfaat buat orang banyak. Inilah yang tidak dirasakan di tempat lain. Dia bahkan menyebut, mengajar di desa terpencil punya peluang besar berkarya dan berprestasi.
"Di tempat terpencil inilah pengabdian benar-benar dilakukan. Bagaimanapun juga masyarakat desa sangat memerlukan guru," kata Darta.
Hari menjelang senja. Matahari condong ke barat. Dari mata Darta tak lagi ada keraguan. Justru tarikan garis melengkung ada di bibirnya. Darta tersenyum. Ya, untuk tersenyum ternyata banyak liku-liku yang harus ia lalui.