Sukses

Imbas Bulu Mata 'Katy Perry' dan Bocah-Bocah Kerdil Purbalingga

Pemerintah Purbalingga juga menagih komitmen perusahaan bulu mata untuk memberi akses leluasa kepada para ibu menyusui dalam bentuk ruang laktasi

Liputan6.com, Purbalingga - Awal Millenium di Purbalingga, Jawa Tengah, ditandai dengan lahirnya pabrik-pabrik milik perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA). Beberapa tahun kemudian, Purbalingga dikenal dengan rambut dan bulu mata palsunya.

Puluhan ribu buruh terserap di pabrik-pabrik tersebut, dan sebagiannya adalah pekerja perempuan. Ribuan lainnya, menjadi pekerja lepas di mitra atau plasma pabrik yang bahkan tersebar hingga luar daerah.

Bulu mata Purbalingga sudah kesohor. Bulu mata Purbalingga menjadi langganan selebritas Hollywood mulai dari era Madonna hingga masa kini, Katy Perry.

Di satu sisi, keberadaan perusahaan ini dinilai menjadi pemantik bangkitnya ekonomi masyarakat. Tetapi, di sisi lain, ada fenomena baru yang rupanya mengubah peri kehidupan masyarakat.

Pasalnya, sebagian besar pabrik itu menyerap pekerja perempuan. Perempuan, secara kultural, dan diamini pendapat umum hingga saat ini, adalah manajer yang begitu mengerti soal keluarga, termasuk pengasuhan anak.

Ketimpangan kemudian muncul ketika perempuan-perempuan usia produktif itu mesti berjibaku di pabrik, dan meninggalkan keluarganya, setidaknya 10 jam per hari. Anak-anak lantas dititipkan kepada kakek-nenek atau bahkan suaminya yang tak memiliki pekerjaan tetap.

Masalah baru muncul, pola asuh yang berubah. Tentu saja, ada perbedaan besar antara bayi dan balita yang diasuh langsung oleh ibunya dengan diasuh oleh orang lain, meski keluarganya.

Ini bukan soal kasih sayang. Nenek-kakek terkadang justru lebih mencurahkan rasa sayang berlebih kepada cucunya dari pada bapak atau ibunya yang pekerja perempuan.

Tetapi, ini adalah soal akses kepada sumberdaya yang begitu diperlukan bayi dan balita pada masa awal kehidupannya di dunia. Misalnya, akses terhadap ASI.

 

2 dari 3 halaman

Perhatian untuk Pekerja Perempuan dan Bayinya

Celakanya, angka stunting di Purbalingga cukup tinggi. Tahun 2013, angka stunting di Purbalingga mencapai 36,7 persen. Kemudian angka ini turun menjadi 28 persen pada tahun 2016, dan kembali membaik pada 2018 dengan 26,4 persen.

Meski terus membaik, tetapi masalah bayi dan balita kuntet itu tetap saja masih tinggi. Karenanya, Pemerintah Kabupaten Purbalingga bertekad menurunkan angka stunting ini.

Tingginya angka stunting itu ditengarai tak hanya persoalan kemiskinan. Sebab, bisa saja, anak-anak stunting ada di keluarga berkecukupan.

Ini lebih pada pola asuh dan akses terhadap sumberdaya yang diperlukan bayi. Salah satunya, ASI.

“Jelas ada hubungannya. Makanya kita fokus pada bagaimana penanganan 1.000 hari pertama kehidupan bayi. Mulai empat bulan dalam kandungan, diembuskan napas,” ucap Kepala Dinas Kesehatan Purbalingga, Hanung Wikantono, Jumat, 26 Juli 2019.

Hanung menerangkan, salah satu yang amat diperhatikan Pemkab adalah para perempuan yang bekerja. Di antara mereka, ada yang tengah hamil, menyusui atau memiliki balita.

Karenanya, pemerintah mendorong agar perusahaan-perusahaan memberi keistimewaan kepada para ibu yang tengah hamil dan menyusui ini. Salah satunya, dengan ajakan untuk memberi makanan bergizi kepada ibu hamil dan menyusui.

Akan tetapi, jaminan itu nampaknya sulit dilakukan. Sebab, di Purbalingga jarang ada perusahaan yang menyediakan ransum untuk karyawan. Sebagian membawa bekal sendiri, atau bahkan jajan makanan sembarangan di luar pabrik.

Pemerintah juga menagih komitmen perusahaan untuk memberi akses leluasa kepada para ibu menyusui dalam bentuk ruang laktasi. Lemari pendingin untuk menyimpan ASI juga mesti disiapkan.

"Kita mendorong pemberian ASI eksklusif," ujarnya.

 

3 dari 3 halaman

10 Desa Prioritas Penanganan Stunting

“Kalau tidak salah sekarang sudah 42 perusahaan yang ada freezernya. Kita dorong terus agar semua perusahaan memberi akses,” Hanung menegaskan.

Di luar ibu yang bekerja, pemerintah juga terus mendorong agar terjadi perbaikan pola asuh, meski bayi dan balita tak diasuh langsung oleh ibunya. Para pengasuh dididik untuk terbiasa memberi makanan sehat dan bergizi. Sanitasi lingkungan juga menjadi prioritas penanganan selanjutnya.

“Nah, pola asuh itu bagaimana kita mendidik masyarakat untuk pemberian makanan yang bergizi untuk bayi dan anak. Itu kan spesifik,” dia menerangkan.

Tahun 2019 ini, sebanyak 10 desa di Kabupaten Purbalingga menjadi prioritas penanganan stunting. Sepuluh desa tersebut yakni Sangkanayu, Candinata, Kalitinggar Kidul, Bantarbarang, Pelumutan, Cilapar, Brecek, Sempor Lor, Kradenan dan Selaganggeng.

Ke-10 desa itu diprioritaskan untuk penanganan stunting dan menjadi pilot project untuk program serupa di desa-desa lainnya. Dalam penanganan stunting, Pemerintah Kabupaten Purbalingga melibatkan seluruh dinas.

Seluruh dinas akan bergotong royong membantu pemenuhan akses ibu hamil dan balita ke pemenuhan makanan bergizi, sanitasi, akses kesehatan hingga pendidikan pola asuh.

“Dinpermades bahkan langsung ada alokasi secara nasional. Karena stunting itu sudah menjadi isu yang ditangani dari pusat,” ucapnya.

Hanung mengungkapkan, kasus stunting tak hanya soal kesehatan tubuh, misalnya bobot tubuh dan tinggi tubuh yang kurang. Tetapi, stunting juga menyangkut kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di mana bayi atau balita stunting perkembangan otaknya lebih lamban dari sebayanya.

Yang perlu diwaspadai pula, saat dewasa, anak stunting cenderung akan terkena penyakit kronis dan kualitas hidupnya yang berkurang.

Saksikan video pilihan berikut ini: