Liputan6.com, Magelang - Temuan candi kuno di dusun Mantingan Kecamatan Salam Kabupaten Magelang seperti menelanjangi kegagalan logika berpikir barat dalam memahami kebudayaan Jawa. Tak jauh dari Candi Mantingan itu, ternyata ada sebuah kompleks candi kecil, Candi Losari.
Dalam penggalian Balai Arkeologi Yogyakarta (Sekarang Balai Pelestarian Cagar Budaya) yang dipimpin Baskoro Daru Tjahjono dari tanggal 8 – 31 Januari 2007, Candi Losari ternyata sezaman dengan candi Borobudur. Fakta itu menunjukkan bahwa ada dua agama besar yang hidup bersamaan.
Peneliti budaya Jawa dari Yayasan Cahaya Nusantara (YANTRA) Yogyakarta, Hangno Hartono menyebutkan bahwa pemahaman mengenai fakta adanya dua agama sering disalahartikan sebagai kompetisi atau perebutan pengaruh dua agama besar.
Advertisement
Baca Juga
"Pola akademis barat selalu menganalisa dengan perspektif konflik. Selalu dianalisa adanya dua kekuatan yang saling berebut pengaruh. Fenomena Jawa tak bisa dilihat dengan cara demikian," kata Hangno kepada Liputan6.com, Senin, 5 Agustus 2019.
Pertentangan Buddha dan Hindu pada masanya disebabkan karena di Magelang ada candi fenomenal, Borobudur. Namun di sekelilingnya bertebaran candi-candi bercorak Shiwa.
"Analoginya, di Jakarta ada masjid megah monunental. Tetapi di sekelilingnya bertebaran gereja-gereja. Apa ya bisa dibilang Jakarta ibu kota negara Islam? Tidak bukan? Karena sebaran artefak hampir semua gereja. Jadi memahami sebaran candi kuno berbeda corak ini perlu pendekatan lain," kata Hangno.
Simak video pilihan berikut:
Â
Tentang Candi Losari
Candi Losari dan temuan candi kuno di dusun Mantingan sesuai catatan Baskoro Daru Tjahjono dari BPCB menyebutkan bahwa saat itu Kerajaan Mataram Kuno pada masa pemerintahan Rakai Sumba berakhir dengan tiba-tiba. Letusan Gunung Merapi yang dahsyat menjadi penyebabnya.
Akibat letusan gunung tersebut, daerah di sekitar terkena lahar dingin, sehingga permukaan tanah semakin tinggi dan mengubur situs Candi Losari. Upaya penggalian dilakukan mulai 8 Januari – 1 Februari 2007, Balai Arkeologi Yogyakarta bekerjasama dengan Jurusan Arkeologi FIB UGM, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah, dan Balai Pengembangan Penyelidikan Teknologi Kegunungapian.
Struktur candi tersebut relatif utuh pada bagian tubuh hingga puncak candi, ditemukan hingga kedalaman lima meter di bawah permukaan tanah. Candi yang diperkirakan berasal dari abad ke-9 sampai 10 Masehi.
"Candi berukuran 2m x 2m pada bagian bilik candi. Total ada 4 candi, satu candi induk dan tiga candi perwara," demikian tulis Baskoro Daru Tjahjono.
Dalam penggalian itu ditemukan Candi Perwara oleh tim dari Balai Arkeologi Yogyakarta yang dipimpin Baskoro Daru Tjahjono dari tanggal 8 – 31 Januari 2007. Di sepanjang dinding candi terdapat hiasan ukiran bermotif, tumbuh-tumbuhan sangat indah, dan berbentuk sulur-suluran yang ukirannya relatif masih utuh. Ukiran tersebut sangat jelas dan pola goresan pahatannya sangat halus dan berseni tinggi.
Sedangkan tiga candi perwara berukuran 183 x 183 cm, dasar candi berukuran 250 x 250 cm. Bilik candi berukuran 97 x 97 cm, dan tingginya juga 97 cm. Pintu candi lebarnya hanya 49 cm, dan di bagian atas pintu candi terdapat hiasan kepala kala yang mempunyai taring dan berambut gimbal, dengan ukirannya yang masih utuh.
"Dinding-dinding candi berhiaskan ukiran bermotif tumbuh-tumbuhan, berbentuk sulur-suluran yang kelihatan indah, dan ukirannya relatif masih utuh. Tinggi candi ini kira-kira 3 meter, menghadap ke arah barat laut. Batu candi berjenis batu andesit, diperkirakan berasal dari letusan Gunungapi Merapi," demikian Baskoro.
Â
Advertisement
Gagapnya Analisa Barat
Dari kesimpulan itu Hangno menyebutkan bahwa jika dilihat sebaran candi di sekitar candi Borobudur yang bercorak buddha, masih terdata sekitar 20-an candi yang bercorak buddha juga. Seperti garis lurus imajiner Mendut, Pawon, Borobudur dan Candi Ngawen.
"Namun lainnya bercorak Hindu atau tepatnya Candi Siwa. Cara membaca fenomena ini bukan dengan cara saling mempertentangkan," kata Hangno Hartono.
Yayasan Budaya Nusantara, sejauh ini sudah meneliti ratusan situs purbakala. Mereka meneliti dengan metode perziarahan sehingga bisa mendapatkan sudut pandang berbeda dengan yang berkembang di dunia akademik yang selalu menempatkan konflik.
"Membaca Candi Borobudur harus dipahami bahwa candi ini bercorak atau base on human, dengan pijakan dasar manusia. Artinya pembentukan moralitas ke dalam diri manusia. Melalui meditasinya. Pola ritualnya adalah pradaksina yakni memutar searah jarum jam, artinya gerakan ke dalam," kata Hangno.
Pembentukan moral atau akhlak itu sangat khas Buddha. Akhlakul karimah ya Sidharta itu sendiri. Lalu bagaimana dengan candi-candi Siwa?
Percandian yang bercorak Hindu/Siwa memiliki basic ritual prasyawiya atau berlawanan jarum jam. Ini seperti tawaf. Memutar ke luar,atau naik yaitu ajaran ajaran tentang keilahian.
"Jadi sangat sempurna dua paket ajaran tersebut. Satu pembentukan moral dari Buddhis dan penghayatan Ilahiah bercorak Hindu/Siwa," kata pentolan Yayasan Cahaya Nusantara ini.
Dengan pola perziarahan itu, bahkan para peneliti dari Yayasan Cahaya Nusantara itu berhasil menemukan situs-situs kuno yang tidak ada dalam prasasti. Selama ini prasasti selalu dijadikan rujukan awal untuk mencari atau mempelajari sebuah situs.
Candi Losari dan candi di Mantingan hanya dua dari deretan situs-situs kuno di wilayah Magelang. Nyaris setiap desa memiliki situs bersejarah, yang sayangnya karena keterbatasan tenaga dan biaya, tidak seluruhnya bisa segera diekskavasi untuk melindungi.