Sukses

Membongkar Diskriminatif Atas Difabel ala Agam Inong Aceh

Agam dan Inong Duta Wisata Aceh Barat punya cara tersendiri untuk membongkar konstruksi inferoritas yang melekat pada difabel.

Liputan6.com, Aceh - Satu persatu bidang gambar yang kosong itu dibubuhinya dengan warna. Ujung krayon di tangannya bergerak konstan menghasilkan corak dengan komposisi sekenanya.

Sama seperti anak-anak lainnya yang merasa asyik sendiri. Ia terlihat larut dengan pekerjaannya sambil duduk merunduk melipat kedua lutut di atas lesehan.

Awalnya ia tampak telaten, namun tiba-tiba berhenti, lantas cemberut sambil manyun sesaat. Setelah itu kertas di depannya tak disentuh lagi.

Sejurus kemudian ia berdiri. Matanya terlihat lasak, mencari-cari sesuatu di antara kerumunan anak-anak lain.

Seseorang menghampirinya. Bocah perempuan mengenakan batik bercorak logo tut wuri handayani bernama Sinar (9), itu pun tersenyum, lantas keduanya bercengkrama.

Sinar sedang mengikuti kegiatan yang diinisiasi oleh Agam-Inong Duta Wisata Aceh Barat. Program itu diberi nama Jendela Edukasi Disabilitas (JEUT) itu dilaksanakan di kawasan pantai Batee Puteh Meulaboh, Kamis (8/8/2019).

"Nama sebenarnya bukan Sinar, Siti Nur gitu. Jadi dia salah satu siswa yang paling cerdas. Makna sinar, dia bisa menyinarinya teman-temannya," ujar Agam Duta Wisata Aceh Barat 2019, Riski Abdullah Saidi (22), kepada Liputan6.com, Kamis malam.

Bersama Sinar turut serta pula sembilan anak berkebutuhan khusus lainnya. Terdiri atas anak-anak tunawicara, tunarungu, dan tunagrahita, dari salah satu sekolah dasar luar biasa kabupaten itu.

Setelah lomba mewarnai, rombongan beranjak ke Tugu Teuku Umar. Jaraknya hanya terpaut sekitar 20 meter dari kafe tempat anak-anak tersebut mengorat-oret tadi.

Selain diberi edukasi mengenai sejarah, di lokasi Teuku Umar tertembak, itu mereka diberi pelajaran singkat cara menabuh rapa'i, yakni alat musik pukul tradisional khas Aceh.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Edukasi Budaya dan Pariwisata

Menurut Riski predikat difabel bukan berarti sekat yang membeda-bedakan. Terlebih melahirkan stigma dan diskriminasi.

Kegiatan JEUT yang rencananya digelar rutin, itu diharap menjadi salah satu gebrakan. Mencairkan kontruksi sosial masyarakat yang selama ini menempatkan disabilitas sebagai yang berbeda.

"Jadi tidak hanya wisatawan lokal yang menganggap diri normal saja yang bisa menikmati pariwisata. Bahkan anak disabilitas bisa menikmati pariwasata dan kami edukasi tentang budaya, tapi dengan cara-cara yang tidak bikin mereka bosan," jelasnya.

Niat tersebut terejawantah dalam bentuk petisi. Petisi ini ditandatangani di atas kain putih 50x40 sentimeter yang ditulis pada akhir kegiatan hari itu.

"Jadi petisi ini kita bawa ke provinsi nanti. Jadi kami ingin rencananya menyetarakan, tentang hak-hak edukasi pariwisata budaya," kata pasangan Inong Duta Wisata Aceh Barat 2019, Ana Sofiatul Juwinda itu. 

Â