Liputan6.com, Banyumas - Penganut Islam berpenanggalan Alif Rebo Wage atau Islam Aboge di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah baru akan merayakan Idul Adha pada Selasa, 13 Agustus 2019.
Selasa pekan ini jatuh di hari Pasaran Kliwon, tanggal 10 bulan Besar Kalender Aboge. Itu berarti, Lebaran Idul Adha Islam Aboge Desa Cikakak dirayakan selang sehari setelah ketetapan pemerintah, Minggu 11 Agustus 2019.
Imam Masjid Saka Tunggal, Cikakak, Sulam mengatakan penghitungan tibanya Idul Adha ini sudah bisa dipastikan dalam Almanak Aboge. Dalam Kalender Aboge, hari besar ditentukan bukan dengan tanggal, melainkan dengan hari dan pasarannya.
Advertisement
Tahun ini adalah Tahun Be Misgi atau Kamis pasaran Legi. Karenanya, lebaran Idul Adha Islam Aboge tiba di hari Kamis Kliwon.
Baca Juga
“Hitungan kalender Abogenya sudah pasti. Mau ratusan tahun juga sudah bisa ditentukan,” katanya, kepada Liputan6.com, Sabtu, 10 Agustus 2019.
Tak ada yang berbeda soal tata cara atau ritual salat Idul Adha Islam Aboge dengan umat Islam pada umumnya. Usai beribadah, penganut Islam Aboge juga akan memotong hewan kurban.
Sulam mengaku belum menerima laporan berapa ekor hewan kurban yang akan yang dipotong pada perayaan Idul Adha ini. Biasanya, penganut Aboge akan melaporkan sehari menjelang Idul Adha.
“Mungkin nanti sehari sebelum Ied. Atau kalau nggak ya mendadak,” ucap Juru Kunci Generasi ke-12 Masjid Saka Tunggal dan tetua Islam Aboge Cikakak ini.
Informasi yang diperolehnya, Idul Adha tahun ini di Cikakak setidaknya ada tiga ekor sapi kurban. Namun, pemotongan hewan kurban bersamaan dengan perayaan Idul Adha secara nasional atau Minggu 11 Agustus 2019.
Tata Cara Idul Adha Islam Aboge
Tempat pemotongan hewan kurban pun bukan di masjid Saka Tunggal melainkan di masjid depan. Adapun yang khusus di Masjid Saka Tunggal, belum ada laporan.
“Sama saja, yang kurban Aboge juga. Cuma ikutnya yang nasional,” dia menerangkan.
Diperkirakan jumlah jemaah Salat Idul Adha di Masjid Saka Tunggal tak sebanyak Jemaah Salat Idul Fitri. Jika Salat Idul Fitri lebih dari 500 orang, diperkirakan Idul Adha ini hanya berjumlah kisaran 100-an orang. Sebab, penganut Islam Aboge yang merantau tak mudik.
“Orang sini kan banyak yang merantau,” ujarnya.
Meski tata cara ibadahnya tak berbeda dari umat Islam pada umumnya, Sulam mengakui sistem penghitungan Kalender Aboge itu kerap kali membuat awam salah kaprah.
Tata cara ibadah penganut Islam Aboge dianggap berbeda dari umumnya. Padahal, nyaris seluruh syarat-rukun ibadah dilakan serupa.
“Ibadahnya juga sama. Perbedaan sedikit dalam pelaksanaannya itu biasa,” dia mengungkapkan.
Sulam mengemukakan, Almanak Aboge mendasarkan hitungan tahun yang jumlahnya hanya satu windu atau delapan tahunan. Tiap tahun memiliki nama, yakni Alif, He, Jim, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jim Akhir.
Tiap awal tahun, tibanya hari pertama atau 1 suro selalu berbeda. Tahun ini, misalnya, adalah tahun Be atau Be Misgi yang menunjukkan bahwa tahun Be dengan hari pertama Kamis Legi.
Advertisement
Sejarah Panjang Peradaban Islam di Cikakak
Rumus perhitungan yang mendasarkan pada jatuhnya 1 Suro juga bisa diterapkan dalam penghitungan hari besar lainnya, seperti lebaran Idul Fitri lalu. Rumusnya adalah Waljiro. Pada tahun Be ini, lebaran Idul Fitri tiba pada Kamis pahing.
Di Desa Cikakak ada sekitar 5.000 penduduk. Sebagian besar merupakan penganut Islam Aboge.
“Kalau tata cara ibadahnya tidak ada yang beda. Semuanya sama dari yang diajarkan secara turun temurun,” dia menerangkan.
Komunitas Islam Aboge di Cikakak beserta masjid Saka Tunggal menunjukkan usia peradaban Islam di tempat ini. Masjid Saka Tunggal diperkirakan dibangun pada tahun 1288 atau 1522 Masehi.
Bukti itu tercantum pada tiang utama atau saka tunggal masjid ini. Di situ tertera angka 1288 di muka tiang, dan angka 1522 di bagian muka samping tiang.
“Menurut saya itu tidak bisa dijadikan pegangan. Saya belum tahu pasti itu tahun untuk apa,” ucap Sulam.
Masjid ini didirikan oleh seorang tokoh penyebar agama Islam masa awal, Kiai Mustolih. Masyarakat Cikakak lazim menyebut Kiai Mustolih dengan sebutan Mbah Tolih.
Sebagai generasi ke-12 juru kunci, Sulam sendiri mengaku belum pernah sekali pun mendapat kepastian kapan masjid ini didirikan. Hanya saja, dari generasi ke generasi, juru kunci selalu berpedoman bahwa masjid ini ada sebelum Kesultanan Demak berdiri alias zaman akhir Kerajaan Majapahit.
“Dari orang tua saya, dari kakek saya dan kakek buyut saya, selalu mengatakan bahwa masjid ini didirikan sebelum Demak,” dia mengungkapkan.
Karakteristik masyarakat di sekitar masjid juga menunjukkan tuanya peradaban Islam di Cikakak. Masyarakat menggunakan kalender Aboge yang merupakan peninggalan Sayid Kuning, tokoh penyebar agama Islam di Banyumas pada masa lalu.
Saksikan video pilihan berikut ini: