Sukses

Walhi NTT Angkat Bicara soal Relokasi Warga Pulau Komodo

Gubernur NTT Viktor B Laiskodat akan merelokasi warga Pulau Komodo demi merevitalisasi kawasan wisata tersebut.

Liputan6.com, Kupang - Walhi NTT menilai wacana merelokasi warga yang mendiami Pulau Komodo merupakan kekeliruan besar. Mereka menganggap usulan Gubernur NTT, Viktor B Laiskodat, itu tidak punya alasan kuat untuk diterima publik.  

Sebelumnya, Viktor telah menutup Pulau Komodo selama setahun dengan tujuan merevitalisasi pulau tersebut demi pariwisata, sesuai dengan mimpi besar sang gubernur.

Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi, Direktur Walhi NTT, kepada Liputan6.com mengatakan, apa yang dilakukan Viktor B Laiskodat salah dan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

"Alasannya adalah berdasarkan Permen LHK No 07 Tahun 2016 dijelaskan bahwa unit pengelolaan penyelenggaraan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya berada di bawah dengan bertanggung jawab Direktorat Jendral Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem," ujarnya.

Permen itu jelas menyatakan, pemerintah daerah tidak dapat memustuskan apa yang akan terjadi pada Taman Nasional Komodo. Tujuan penutupan Pulau Komodo menurut Gubernur NTT untuk menata ketersediaan pangan komodo dan menata taman bunga agar terlihat lebih indah menurut dia, spirit-nya bukan untuk pelestarian komodo, tetapi bagaimana menyiapkan komodo sebagai objek yang punya nilai jual untuk kepariwisataan.

Ia menyesalkan pernyataan Gubernur NTT yang menyatakan penduduk Pulau Komodo merupakan penduduk liar. Jika diurutkan ke belakang, jelas bahwa sebelum penetapan TNK, Pulau Komodo merupakan hak ulayat masyarakat setempat.

"Setelah ditetapkan sebagai TNK, masyarakat yang menetap di Pulau Komodo dianggap sebagai penduduk liar. Ini tdak dapat dibenarkan. Masyarakat yang hidup di Pulau Komodo tentu tidak memiliki hak milik atas tanah, sebab Pulau Komodo telah ditetapkan sebagai TNK," ucapnya.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Pariwisata, Kawan atau Lawan?

Menurut Walhi, jika Gubernur NTT merasa masyarakat tersebut tidak punya hak atas tanah, maka negara sudah sepatutnya mencabut status kawasan Taman Nasional Komodo dari wilayah-wilayah yang selama ini menjadi permukiman warga.

Umbu menilai, pelestarian komodo tidak perlu dilakukan dengan cara merelokasi masyarakat yang hidup di dalam pulau tersebut. Sebaliknya, masyarakat harusnya menjadi benteng terdepan dalam upaya pelestarian komodo.

Hal ini penting, katanya, sebab NTT memang tidak punya ahli komodo. Namun, masyarakat setempat secara alamiah tahu bagaimana seluk-beluk kehidupan komodo, sehingga penting dalam peran pelestarian hewan langak tersebut.

"Untuk wacana relokasi masyarakat yang hidup di Pulau Komodo perlu dikaji lebih dalam. Sebab, hal-hal yang selama ini dapat mengganggu kelestarian komodo adalah hal-hal yang bukan berasal dari masyarakat. Justru hal-hal yang mengganggu kelesatarian komodo selalu datang dari luar," katanya.

Umbu menambahkan, maraknya pembangunan pariwisata dan target kunjungan wisatawan yang begitu tinggi berpotensi menggangu kehidupan komodo. Sebab, komodo memiliki sifat soliter yang selalu selalu ingin menjauhi keramaian atau dengan kata lain komodo akan merasa terusik jika ada keramaian.

Selain itu, maraknya penjualan komodo juga merupakan hal yang dapat menganggu kelestarian hewan itu. Praktik legal jual beli komodo yang disinyalir melibatkan jaringan internasional ini terjadi sudah lama. Ada kesan pembiaran terhadap aktivitas itu.

"Dalam hal ini tentu yang bertanggung jawab adalah TNK sebagai pengelola. Hal ini juga membuktikan bahwa pengelola TNK tidak serius mengurus TNK. Lalu, apa alasan yang kuat untuk merelokasi masyarakat dari Pulau Komodo? Tentu tidak ada alasan yang dapat kita jadikan sebagai dasar dari kebijakan merelokasi penduduk masyarakat yang hidup dalam Pulau Komodo," katanya.

Â