Sukses

Pameran Lukisan Merapi untuk Lelembut di Sungai Blongkeng

'Fakta sosial' bahwa erupsi Merapi sering dianggap bencana bagi sebagian masyarakat, berubah jadi 'fakta estetik' yang merupa dalam bentang kanvas Agus sekaligus sebagai protes kepada penambangan.

Liputan6.com, Magelang - Nama Agus Suyitno barangkali tak ada yang kenal. Namun ketika menyebut nama Agus Merapi, para pelaku seni lebih banyak yang mengetahui. Seorang perupa yang tinggal di sebuah dusun di Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang di kaki gunung Merapi.

Sejak lahir Agus memang sudah akrab dengan gunung Merapi. Berulang kali erupsi yang ia alami memberi ingatan kuat baginya. Seniman yang dihidupi olehtradisi Jawa pedusunan ini berkali-kali mengalami erupsi, dan dalam jarak kurang dari 10 km dari kawah Merapi.

Dalam lipatan waktu yang terus bergerak, erupsi Merapi tetap membekas dalam ingatan personalnya di tengah ingatan kolektif masyarakat. Perilaku manusia yang jauh dari Gunung Merapi yang begitu rakus menambang pasir dan batu dengan alat berat juga hilangnya fenomena interaksi manusia dengan lelembut, akhirnya menjadi sebuah katarsis baginya.

Sebagai seniman, peristiwa itu secara masif jadi inspirasi dan sumber ide karya-karya kreatifnya. 'Fakta sosial' bahwa erupsi Merapi sering dianggap bencana bagi sebagian masyarakat, berubah jadi 'fakta estetik' yang merupa dalam bentang kanvasnya. Bergesernya 'fakta sosial' menjadi 'fakta estetik' tidak banyak dilakukan oleh seniman yang kurang memiliki kesadaran sebagai homo socius sekaligus homo aestheticus.

Pameran tunggal yang benar-benar tunggal karena menyajikan hanya satu lukisan dan dipajang di dam penahan lahar di tengah sungai Blongkeng. (foto: Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Agus Suyitno atau Agus Merapi adalah sedikit seniman yang mampu menangkap dan mau merawat potensi nilai-nilai estetik di balik "fakta sosial" tergusurnya lelembut gunung Merapi. Tentu dengan segenap kelebihan dan kekurangannya.

Pada pameran tunggalnya kali ini, tema visual adalah eksplorasi keindahan Merapi. Disajikan dalam acrilyc diatas kanvas dengan bentang 200 x 150 cm. Benar-benar pameran tunggal karena lukisan yang dipamerkan juga hanya satu.

"Saya memilih berpameran di sungai Blongkeng. Selama ini kampung-kampung gaib di sepanjang sungai yang berhulu di Gunung Merapi sudah dirusak oleh manusia dengan buldozer dan alat berat lain," kata Agus kepada Liputan6.com, Rabu (14/08/2019).

Simak video Pameran Lukisan Merapi di bawah ini:

 

2 dari 2 halaman

Demit Yang Tergusur

Lukisan ini lebih kuat bercorak dekoratif meskipun tak bisa seratus persen dikategorikan sebagai lukisan dekoratif. Agus konsisten mengambil visual Merapi sebagai obyek artistiknya. Sejak pameran tunggal pertamanya tahun 2003 di rumah budaya Tembi Yogyakarta, Agus mengaku mendedikasikan semua lukisannya untuk para lelembut di Merapi.

"Mereka juga ciptaan Gusti Allah. Memiliki hak yang sama untuk saling bertegur sapa. Memiliki hak yang sama mendiami bumi Gusti Allah. Pameran saya yang pertama adalah hadiah saya kepada para penghuni alam gaib Merapi," katanya.

Pameran lukisan tunggal yang digelar di tengah sungai Blongkeng itu akhirnya benar-benar menjadi pameran tunggal. Tunggal pelukisnya, tunggal lukisannya, dan tunggal pula penontonnya.

"Ramai hanya pada saat pembukaan. Itupun teman-teman sendiri. Selebihnya ya saya nonton sendiri. Hahaha. Tapi saya yakin para lelembut pasti gembira dan berduyun-duyun ikut menonton," katanya sambil tertawa.

Lukisan itu meski digambar dekoratif, namun jelas menggambarkan kawasan Jurang Jero Srumbung yang hutan pinusnya sudah dirusak alat berat penambang galian C. Lukisan itu seakan diharapkan menjadi hiburan para lelembut setelah dusun dan tubuhnya dicabik-cabik dengan alat berat.

"Saya sebenarnya marah. Tapi saya hanya bisa melukis," katanya.