Sukses

Kesalahan yang Paling Sering Dilakukan Ketika Membangun Green Building

Kenyataannya, membuat green building atau bangunan ramah lingkungan tidak semudah mencontoh gambar-gambar bangunan hijau yang tersebar di internet.

Liputan6.com, Yogyakarta - Istilah green building atau bangunan ramah lingkungan yang sarat nilai ramah lingkungan dan hemat energi bukan hal baru di Indonesia. Tidak sedikit bangunan gedung maupun rumah yang menerapkan konsep ini.

Kenyataannya, membangun green building tidak semudah mencontoh gambar-gambar bangunan hijau yang tersebar di internet.

"Kesalahan terbesar yang kerap dilakukan orang saat membangun green building adalah banyak menggunakan kaca, kaca dipasang sangat luas," ujar Jatmika Adi Suryabrata, praktisi bangunan hijau sekaligus dosen Departemen Arsitektur dan Perencanaan UGM, dalam kuliah umum bertajuk The Future Is Green Are You Ready For It? di UGM, Rabu (14/8/2019).

Ia mengungkapkan penggunaan kaca yang berlebihan justru menyerap sinar matahari dan bangunan menjadi panas. Jika sudah demikian, orang akhirnya memutuskan untuk menggunakan AC. Padahal, AC menyumbang penggunaan energi terbesar sebuah bangunan.

Menurut Jatmika, penggunaan kaca diperbolehkan selama desainnya benar. Misal, penggunaan kaca shading atau high performance glasses.

Bangunan dengan ceiling tinggi juga tidak menjamin bisa dikategorikan green building. Jatmika menyebutkan ada faktor lain yang harus diperhatikan.

"Orientasi bangunan, misalnya, yang menghadap ke barat pasti lebih panas, ada cross ventilasi atau tidak, dan sebagainya," tuturnya.

Menentukan cross ventilasi juga tidak bisa sembarangan karena ada perhitungan khusus untuk menentukan penuruan pemakaian energi. Selain hemat energi, green building juga perlu memastikan kesehatan interior, seperti pemakaian cat yang ramah lingkungan.

Meskipun demikian, penekanan green building lebih ke penghematan energi listrik dan air sebab kedua hal itu yang secara langsung menguntungkan pemilik bangunan. Selama ini, tagihan biaya listrik menelan 20 persen dari pendapatan masyarakat.

 

2 dari 3 halaman

Alasan Green Building Susah Jadi Mainstream

Jatmika menuturkan green building masih sulit menjadi hal mainstream di masyarakat karena sejumlah alasan. Pertama, kemampuan arsitek masih minim.

"Karena dulu kita dimanjakan dengan energi yang murah, kalau desainnya salah, pasang AC, selesai. Tetapi sekarang harga energi sangat mahal, naik terus dan itu menuntut efisiensi energi dan air," ucapnya.

Kedua, masih sedikit dari arsitek yang punya kemampuan engineering. Padahal, kalau mendesain secara benar harus melakukan dengan engineering yang tepat dan mampu mengaplikasikan semua data.

Saat menggambar sebuah desain rumah, seorang arsitek harus mempu menunjukkan kepada kliennya perhitungan penghematan energi.

Jatmika menambahkan green building di Indonesia sangat besar sehingga para arsitek harus menguasai bidang ini. Pertumbuhan bangunan di Indonesia mencapai 10 persen per tahun.

"Bandingkan saja antara Sydney dan Jakarta dalam 15 tahun, tidak banyak perubahan di Sydney, tetapi di Jakarta cepat berubah," ujarnya.

 

3 dari 3 halaman

Modul untuk Kurikulum di Perguruan Tinggi

Green Buildings Program Leader International Finance Corporation (IFC) Indonesia Sandra Pranoto mengungkapkan telah membantu Indonesia sejak 2011 untuk mewujudkan bangunan hijau. Sebagai bagian dari Bank Dunia, IFC memiliki komitmen untuk membantu negara-negara mengurangi dampak perubahan iklim.

"Awalnya kami bantu rekomendasi sejumlah peraturan untuk green building dan aturan itu sudah diterapkan di Kementerian PUPR pada 2015, Jakarta pada 2012, dan Bandung pada 2016,” tuturnya.

Melihat kesiapan dari berbagai pihak, seperti pemerintah, swasta, dan perbankan, maka IFC merasa perlu untuk mendorong akademisi mendukung konsep ini.

"Kami membuat modul green building untuk mata kuliah bangunan gedung hijau," ucapnya.

Sandra meyebutkan modul itu diterapkan di UI, UGM, Undip, ITB, dan ITS. Kelima perguruan tinggi itu menjadi universitas pertama di dunia yang menerapkan modul ini.

Ia berencana menerapkan modul ini di 140 negara berkembang. Selain Indonesia, modul ini sudah diterapkan di Vietnam dan Kolombia.