Sukses

Alasan Pramoedya Sebut Indonesia dengan Kata 'Dipantara' dalam Bumi Manusia

Oleh Pram sapaan akrab Pramoedya Ananta Toer, nama Dipantara atau Nusantara-lah yang termaktub di tetralogi itu. Lalu, apa yang mendasari Pram lebih memilih kata 'Dipantara' atau nusantara ketimbang kata Indonesia ?

Liputan6.com, Blora - Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Bumi Manusia tak pernah menyebutkan kata Indonesia. Hal itu disampaikan Soesilo Toer atau Pak Soes yang tak lain adalah adik kandung dari sang maestro yang karyanya akan ditayangkan di film layar lebar pada 15 Agustus 2019.

Oleh Pram sapaan akrab Pramoedya Ananta Toer, nama Dipantara atau Nusantara-lah yang termaktub di tetralogi itu. Lalu, apa yang mendasari Pram lebih memilih kata 'Dipantara' atau nusantara ketimbang kata Indonesia?

"Indonesia itu barang impor," tegas Pak Soes kepada Liputan6.com pada Sabtu, 10 Agustus 2019.

Menurutnya, kata Dipantara dituangkan Pram karena kata itu dipandang lebih tepat mewakili Indonesia yang penjabarannya lebih luas, yakni artinya pulau-pulau. "Dipantara itu artinya pulau-pulau," beber Pak Soes mendefinisikan.

Pak Soes menerangkan, kolonial pada masa menjajah, menyebutkan istilah hindia muka dan hindia belakang. Indonesia pada masa itu lebih dikenal dengan sebutan hindia belakang. Setelah itu barulah nama Indunesia.

"Sebelumnya menjadi nama Indonesia, dulunya itu Indunesia (Kepulauan Hindia), kalau Malaysia itu Melayunesia (Kepulauan Melayu). Karena kata Indunesia bunyinya tak indah, oleh George kemudian Indunesia diubah menjadi Indonesia," ungkap Pak Soes.

Pak Soes memaparkan, usulan George waktu mengubah nama Indunesia menjadi Indonesia, kala itu didukung oleh seorang etnograf dari Jerman. Kemudian juga didukung oleh orang Belanda yang bernama Adolf Bastian. Dan barulah dari orang pribumi yang bernama Dewantoro (Ki Hajar Dewantoro) ikut mendukung.

Tulisan Pram begitu melekat kuat dalam karya tetralogi Bumi Manusia. Kata Dipantara yang tertulis, seolah mereka ulang kronik suatu tempat yang pernah terjadi pada masa lalu dengan menyesuaikan kenyataan sebagai bentuk resistensi terhadap kebusukan pada masa kolonial.

Dalam tetralogi itu, Pram sepanjang hidup mempertanyakan asal usul nama negaranya. Baginya, lebih cocok nama Dipantara atau Nusantara ketimbang Indonesia.

Buku Pram Bumi Manusia, maupun buku-buku Pram yang lainnya, menunjukkan sejarah panjang nusantara dari abad ke-11 hingga lahirnya Indonesia pada abad ke-20.

Tetralogi Bumi Manusia misalnya, menceritakan kisah yang sangat panjang. Bisa dikatakan memakan waktu lebih dari satu dekade. Banyak karakter dan tempat dilibatkan di buku tersebut. Tak asing lagi bagi yang hobi membaca, nama tokoh utama di buku itu adalah Minke.

2 dari 2 halaman

Siapakah Minke?

Pak Soes menyebut nama Minke dalam Bumi Manusia hanya sebatas nama ejekan yang disamarkan dari Monkey atau Monyet. Nama itu, kata Pak Soes, adalah nama dari tokoh nyata orang Blora.

"Ceritanya Minke itu panggilan ejekan saja. Minke itu dari kata monkey yang artinya Monyet. Saya tahu itu karena saya sendiri waktu di luar negeri orang-orang juga ngejek saya 'hitam kamu, negro kamu," ucap Pak Soes.

Pak Soes mengatakan, Minke itu adalah Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo, yang tak lain adalah seorang tokoh pers dan tokoh Kebangkitan nasional Indonesia yang lahir di Bumi Blora pada tahun 1880 Masehi dan wafat pada 1918 Masehi.

Kreatifnya Pram menulis tetralogi 'Bumi Manusia', sosok ejekan nama Minke itu untuk Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo yang digambarkan dengan dua karakter berbeda.

Pertama, Minke adalah remaja yang cengeng, suka main mata dengan perempuan bernama Annelis, dan masih diajari seorang yang bernama Nyai Ontosoroh.

Kedua, Minke sebagai sosok pribadi yang berurusan dengan kekuasaan dan melibatkan diri dalam kemelut pergerakan. Tetralogi 'Bumi Manusia' karya Pram, tak ubahnya sebuah pencahayaan yang dipantulkan pada cermin di kehidupan antara rakyat dan penjajah.

Dalam bukunya itu, Pram menggambarkan terjadinya dinamika abad ke-20. Minke memerankan tokoh awal kaum priyayi. Kemudian mendirikan Sarikat Priyayi yang akhirnya dalam buku itu menceritakan ketidakberhasilan dan kekalahan.

Selanjutnya, peran perubahan dilakukan oleh kelompok pedagang yang dianggap lebih leluasa dan kemudian berdiri Sjarikat Dagang Islamijah, sampai kemudian menjadi Sjarikat Islam. Di buku ini pula, Pram menulis kelompok Sjarikat Islam juga gagal dan mengalami kekalahan mengusir kolonial.

Menjadi teramat penting bagi yang penasaran tentang tetralogi 'Bumi Manusia' untuk membaca sampai khatam (selesai). Mendengarkan cerita-cerita sejarahnya pun dipandang perlu untuk mengetahui sosok Pram kelahiran Blora, Jawa Tengah yang memang layak menyandang sang Sastrawan dunia. Dalam tretalogi itu, Pram berusaha memahami bagaimana sebuah bangsa membentuk dirinya sendiri.

 

Simak video pilihan berikut ini: