Liputan6.com, Aceh - Suatu hari Jamaluddin disuruh memasang bom oleh pimpinan. Dia terlibat dalam operasi pemasangan ranjau di jalan yang menjadi lintasan truk Reo di Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara.
Kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), itu baru saja menyelesaikan latihan militer ketika diberi tugas tadi. Pria kelahiran 3 Juni 1982, warga Desa Gunci, Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara, itu masih tercatat sebagai murid sekolah menengah saat memangku senapan.
Singkat cerita, bom yang dipasang olehnya pun meledak. Setelah bom meledak, keberadaan Jamal tidak diketahui lagi oleh rekan-rekannya.
Advertisement
Sang pimpinan pasukan, Tengku di Lhokdrin Babah Buloh, saat itu merasa agak cemas. Ia pun menghubungi Jamal melalui radio handy talky (HT) untuk menanyai keadaannya.
Tengku di Lhokdrin akhirnya dapat berlega hati karena Jamal menjawab panggilannya. Namun, ia heran, bukan hanya suara Jamal saja yang terdengar melalui sambungan radio, akan tetapi, juga suara anak ayam sedang menciap-ciap.
Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba Jamal sudah meromok di dalam kandang ayam milik warga. Orang-orang pun terkekeh mengetahui apa yang telah dialaminya, dan, sejak saat itu, Jamal pun mendapat panggilan ciep-ciep.
"Kira-kira seperti itu," tutur pria yang belakangan menjadi dosen tetap Universitas Teknologi Nusantara Cilegon kepada Liputan6.com, Minggu malam (18/8/2019).
Panggilan tersebut belakangan menjadi sandi saat berkomunikasi melalui HT. Memakai nama samaran atau nama alias menjadi syarat mutlak, agar identitas terjaga dari musuh.
Akhir 2014 lalu, nama Din atau Abu Minimi berseliweran di media daring. Pria bernama panjang Nurdin Ismail, itu diburu karena beberapa kasus kriminal yang dialamatkan kepadanya.
Din Minimi dan kelompoknya 'turun gunung' setelah difasilitasi oleh Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Sutiyoso. Dia meletakkan senjata pada Desember 2015.
Panggilan Minimi melekat karena menguasai senapan mesin mini produksi FN Herstal. Tidak sembarang orang bisa menjadi operator senjata yang didesain oleh Maurice Bourlet tersebut.
"Susah karena rantai (sabuk peluru) panjang. Dalam konflik dulu memang itu yang saya pegang. Dari kecil, itu kelas 6 sekolah dasar, lah," ujar Din, kepada Liputan6.com, Minggu malam.
Senjata mesin yang digunakan Din Minimi pada masa itu merupakan peninggalan orang tuanya. Pria kelahiran Julok, Kabupaten Aceh Timur, itu sudah bergerilya pada waktu tragedi Arakundo, di Idi Cut, terjadi.
"Minimi itu (ditentengnya) sejak dari Pasee, tembus ke sana Panton, tembus ke sana Peureulak. Ayah saya dulu ambil dari tentara," sebutnya.
Lain lagi dengan Azhari. Lelaki yang menjabat sebagai Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), itu mendapat panggilan Cagé, berarti 'beruang'.
Kepada Liputan6.com, Azhari menjelaskan bahwa panggilan 'beruang' didapat setelah dirinya berhasil menyelesaikan misi. Ia bahkan membubuhi nama alias tersebut di belakang nama aslinya waktu mengikuti kontestasi politik.
"Saya mulai dipanggil dengan sandi Cage pada tahun 1999 karna berhasil menjalankan misi, yaitu peledakan bom, pelemparan granat dan misi menggunakan senjata," tutur pria yang lahir tepat pada tahun Aceh-Sumatera National Liberation Front (ASNLF) didengungkan Hasan Tiro.
Beruang memang cukup ditakuti di Provinsi Aceh. Hewan bernama latin Herlatos Malayanus, itu dipercaya mampu mengoyak-ngoyak tubuh mangsanya.
Â
Simak juga video pilihan berikut ini:
Raja Rimba
Beda pula dengan Nurdin. Julukan Raja Rimba disematkan kepada ekskombatan wilayah Kabupaten Aceh Barat, itu karena dirinya menguasai belantara 'pertempuran' yang ada di wilayahnya.
Sekitar 1997, Nurdin memutuskan ikut kelompok separatis. Sebelum menjadi bagian dari GAM, Nurdin terlebih dahulu diwawancarai oleh Panglima GAM masa itu, yakni, Abdullah Syafi'i.
"Saya ditanyai silsilah keluarga, dan apa pekerjaan saya dan orang tua saya. Saya jawab, mulai dari kakek saya orang yang hidup atau cari ekonomi di hutan. Memotong kayu, membuka lahan," tutur Ketua Satuan Tugas Partai Aceh (PA) wilayah Kabupaten Aceh Barat tersebut.
Mendengar penjelasan Nurdin, sang panglima pun memutuskan memberi sandi Raja Rimba kepadanya. Cambang yang menutupi wajahnya menambah kesan sangar dan berwibawa.
"Berarti, Tengku Din, jangan kita beri nama Tengku Din, dalam bahasa sandinya. Kita beri nama Tengku Din Raja," Nurdin mengulang ucapan Abdullah Syafi'i.
Panggilan-panggilan yang awalnya merupakan kode dalam berkomunikasi via udara, itu menjadi julukan yang melekat di dalam kehidupan 'pascadamai' para ekskombatan. Banyak di antara mereka yang disapa dengan nama alias daripada nama sebenarnya.
Taruh saja Irwandi Yusuf yang akrab disapa dengan sebutan Tengku Agam, atau Muzakir Manaf dengan sebutan Mualem. Julukan-julukan ini bisa diambil dari nama wilayah, tokoh, sifat, benda, bahkan hewan, yang dianggap mencerminkan kepribadian mereka.
"Memang, yang ada jabatan, tetap ada sandi semua. Ada juga Abu Khaidir, Abu Arafah. Tapi, kalau prajurit dulu sudah diberikan oleh mereka sendiri. Misal ada yang sandi di radio, dua ribee (dua ribu), dan lain-lain," Nurdin memungkasi.
Advertisement